Selasa, 08 Oktober 2013

AKHLAK, ETIKA DAN MORAL

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Pendidikan Islam pada intinya adalah sebagai wahana pembentukan manusia yang berbudi pekerti yang mulia. Di dalam ajaran Islam moral atau akhlak tidak dapat dipisahkan dari keimanan. Keimanan merupakan pengakuan hati. Akhlak adalah pantulan iman yang berupa perilaku, ucapan, dan sikap atau dengan kata lain akhlak adalah amal saleh. Iman adalah maknawi (abstrak) sedangkan akhlak adalah bukti keimanan dalam bentuk perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran dan karena Allah semata.
            Berkaitan dengan pernyataan di atas bahwa akhlak tidak akan terpisah dari keimanan, dalam Al-Qur'an juga sering dijelaskan bahwa setelah ada pernyataan “orang-orang yang beriman,” maka langsung diikuti oleh “beramal saleh.” Dengan kata lain amal saleh sebagai manifestasi dari akhlak merupakan perwujudan dari keimanan seseorang. Pemahaman moralitas dalam bahasa aslinya dikenal dengan dua istilah yaitu al-akhlaq al-karimah dan al-akhlaq al-mahmudah. Keduanya memiliki pemahaman yang sama yaitu akhlak yang terpuji dan mulia, semua perilaku baik, dan terpuji keduanya adalah perbuatan-perbuatan yang diridhai oleh Allah SWT.
            Disamping itu, pentingnya akhlak dalam praktek-praktek kehidupan juga ditegaskan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadis yang artinya: ”Sesungguhnya aku (Rasul) diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia” (H.R. Bukhari dan Muslim). Pernyataan langsung dari Rasulullah ini, menjelaskan bagaimana pentingnya akhlak dalam kehidupan ini, baik dalam hubungannya dengan Sang Khaliq maupun dengan sesama makhluk.     
            Mempelajari akhlak menjadikan seseorang mampu untuk menempatkan sesuatu pada posisi dan proporsi yang sebenarmya serta mengetahui batas mana yang baik dan buruk. Selain itu, budi pekerti yang mulia juga membuat seseorang mendapat tempat yang tinggi di dalam masyarakat, disenangi orang dalam pergaulan dan terhindar dari sanksi-sanksi, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
           


B.     Tujuan
            Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Akhlak, dan yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana kita bisa memahami konsep etika, moral dan akhlak serta mampu mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Akhlak, Etika dan Moral
1.      Akhlak
v  Etimologi
            Kata akhlak berasal dari bahasa Arab yang merupakan jama’ dari khuluq dan mengandung beberapa arti, antara lain:
·         Tabiat, yaitu sifat dalam diri yang terbentuk oleh manusia tanpa dikehendaki dan tanpa diupayakan.
·         Adat, yaitu sifat dalam diri yang diupayakan manusia melalui jalan latihan, yakni berdasarkan keinginan
·         Watak, cakupannya meliputi hal-hal yang menjadi tabiat dan hal-hal yang diupayakan hingga menjadi adat. Kata akhlak juga bisa berarti kesopanan dan agama.[1]

v  Terminologi
            Dari segi terminologi, akhlak didefinisikan secara beragam oleh para tokoh yang ahli dibidangnya. Namun, diantara banyaknya perbedan pendapat tentang pengertian akhlak ini,  dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya mereka semua menonjolkan tiga aspek yang sama yakni:
Ilmu kebaikan dan keburukan, artinya akhlak merupakan ilmu yang membahas tentang kebaikan, keburukan, yang pantas dan yang tidak pantas.
Ilmu manusia, artinya ilmu ini membahas tentang perbuatan manusia.
Ilmu tentang kewajiban, maksudnya akhlak itu menunjukkan manusia kepada apa-apa yang harus ia kerjakan dan apa-apa yang harus ditinggkalkan. Yakni segala sesuatu yang perlu ia jauhi agar selamat dari siksa Rabbnya.
Untuk lebih jelasnya, definisi akhlak ini dapat dilihat dari beberapa pendapat tokoh, diantaranya:
a)      Menurut Imam Abu Hamid Al-Ghazali
            Kata al-khalq (fisik) dan al-khuluq adalah dua kata yang sering dipakai bersamaan. Seperti redaksi bahasa Arab ini, fuulan husnu al-khalq wa al-khuluq yang artinya “sifulan baik lahirnya dan batinnya”.
            Atas dasar itu, kata al-khuluq diartikan sebagai suatu sifat yang terrpatri dalam jiwa, yang darinya terlahir perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memikirkan dan merenung terlebih dulu. Jadi, al-khuluq adalah suatu sifat jiwa dan gambaran batinnya. Dan sebagaimana halnya  keindahan bentuk lahir manusia secara mutlak tak dapat berwujud hanya dengan keindahan dua mata, dengan tanpa hiudng, mulut dan pipi. Sebaliknya, semua unsur tadi harus indah sehingga tewujudlah keindahan lahir manusia itu. Demikian juga, dalam batin mansusia ada emapt rukun yang terpenuhi seluruhnya sehingga terwujudnya keindahan al-khuluq. Keempat rukun itu antara lain:
o   Kekuatan ilmu
o   Kekuatan marah
o   Keuatan syahwat
o   Kekuatan mewujudkan keadilan diantara tiga kekuatan tadi.

b)      Menurut Muhammad bin Ali Asy-Syariif Al-Jurjani
            Dalam kitabnya at-ta’rifat, Ia mendefinisikan mendefinisikan akhlak sebagai istilah bagi sesuatu sifat yang tertanam kuat dalam diri, yang darinya terlahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan ringan, tanpa perlu berpikir dan merenung. Jika dari sifat tersebut terlahir perbuatan-perbuatan yang indah menurut akal dan syari’at, dengan  mudah, maka sifat tersebut dinamakan dengan akhlak yang baik. Sedangkan jika darinya terlahir perbuatan-perbuatan buruk, maka sifat tersebut dinamakan dengan akhlak yang buruk.

c)      Menurut Ahmad bin Mushthafa
            Menurutnya akhlak adalah ilmu yang darinya dapat diketahui jenis-jenis keutamaan. Dan keutamaan itu adalah terwujudnya keseimbangan antara tiga kekuatan, yaitu: kekuatan berppikir, kekuatan marah, kekuatan syahwat.
d)      Menurut Muhammad bin Ali Al-Faaruqi At-Tahanawi
            Ia berkata bahwa akhlak adalah keseluruhan kebiasaan , sifat alami, agama dan harga diri. Kemudian ia membagi akhlak menjadi, keutamaan (yang merupakan dasar bagi yang sempurna), kehinaan (yang merupakan dasar bagi apa yang kurang) dan selain keduanya --yang menjadi dasar-- bagi kedua hal itu.[2]
e)      Menurut Ibnu Maskawaih
            Dalam kitabnya, tahdzib al akhlaq menyebutkan bahwa akhlak adalah suatu keadaan dalam diri yang mengajaknya kepada berbagai tindakan tanpa perlu berpikir dan pertimbangan. Kemudian ia menjelaskan bahwa keadaan tersebut terbagi dua, yang menjadi suatu tabi’at sejak lahir seperti yang tergerak bangkit karena hal sepele lalu marah. Yang diperoleh melalui pembiasan, latihan, pikiran dan pertimbangan. Tindakan ini dilakukan terus menerus hingga menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi akhlak.[3]
            Drs. Damanhuri, M. Ag dalam bukunya yang berjudul Akhlak Tasawuf  juga menjelaskan bahwa akhlak secara bahasa adalah tingkah laku, perangai atau tabi’at, sedangkan menurut istilah akhlak adalah pengetahuan yang menjelaskan tentang baik dan buruk, mengatur pergaulan manusia dan menentukan tujuan akhir dari usaha dan pekerjaannya.[4]

2.      Etika
            Istilah etika berasal dari bahasa Yunani yakni etos yang berarti kebiasaan (costum), adat. Istilah etika pertama kali dipopulerkan oleh seorang filsuf dari Yunani yaitu Aristoteles melalui karyanya yang berjudul Etika Nicomachiae. Jika ditinjau dari sudut asal katanya, etika adalah studi terhadap kebiasaan manusia. setelah melalui perkembangan etika mulai menyelidiki kebiasaan-kebiasaan dalam arti moral (kesusilaan). Oleh karena itu, etika sering dikatakan sebagai studi tentang benar atau salah dalam tingkah laku manusia.
            Secara definitif, banyak pengertian yang tentang etika yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya, Ahmad Amin yang mengatakan bahwa etika adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh sebagian manusia kepada yang lainnya, menyatakan tujuan yang harus dicapai oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan apa yang harus diperbuat.[5] Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang tingkah laku manusia dilihat dari baik dan buruknya.
            Ibnu Maskawaih yang merupakan Bapak Etika Islam dengan Gelarnya Al-Mu’allimal-Tsalits (guru ketiga) setelah Al-Farabi dan Aristoteles, menjelaskan bahwa khuluq adalah peri keadaan jiwa yang mendororngnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya. Dengan kata lain, khuluq adalah keadaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan-perbuatan secara spontan. Keadaan jiwa itu dapat berupa fitrah sejak kecil, dapat pula hasil latihan membiasakan diri.[6]
            Ia menetapkan kemungkinan manusia mengalami perubahan-perubahan khuluq, dan dari segi inilah maka diperlukan adanya aturan-aturan syari’at, diperlukan adanya nasihat-nasihat dan berbagai macam ajaran tentang adab sopan santun. Dengan adanya itu semua memungkin manusia dengan akalnya untuk memilih dan membedakan mana yang seharusnya dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan. Dari sini pula Maskawaih memandang penting arti pendidikan dan lingkungan bagi manusia dalam hubungannnya dengan pembinaan akhlak.[7]

3.      Moral
            Moral berasal dari bahasa latin ‘mos’ (jamak: mores) yang berarti kebiasaan.[8] Kata mos dalam bahasa latin sama artinya dengan kata etos dalam bahasa Yunani. Dari kata mos timbul kata mores dan moral merupakan kata sifat yang semula berbunyi moralis. Dalam dunia ilmu kata moralis dihubungkan dengan kata scientiea menjadi kata scientiea moralis atau pholosophia moralis.[9] Di dalam bahasa Indonesia kata moral diterjemahkan dengan susila. Adapun yang dimaksud dengan moral adalah ide-ide yang diterima umum tentang tindakan manusia, yaitu yang berkaitan dengan makna yang baik dan wajar. Dengan kata lain, moral adalah suatu kebaikan yang disesuaikan dengan ukuran-ukuran yang diterima oleh umum, meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Kata moral selalu mengacu pada baik dan buruknya perbuatan manusia sebagai manusia.

B.     Persamaan dan Perbedaan Antara Akhlak, Etika dan Moral
            Secara substansial akhlak, etika dan moral adalah sama, yakni ajaran tentang baik dan buruk perilaku manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia dan lingkungan sekitar. Yang menjadi faktor pembeda antara yang satu dengan yang lainnya adalah dasar atau ukuran baik dan buruk itu sendiri.
            Etika merupakan ajaran yang berbicara tentang baik dan buruk dengan akal sebagai ukurannya, karena etika merupakan bagian dari filsafat. Moral adalah segala tingkah laku manusia yang mencakup sifat baik dan buruk dari tingkah laku itu dan yang menjadi ukurannya adalah tradisi yang berkembang pada suatu kelompok masyarakat. Sedangkan akhlak adalah ajaran yang berbicara tentang baik dan buruk yang ukurannya adalah wahyu Allah yang universal.[10]
            Istilah etika tidak dihubungkan dengan perbuatan manusia atau sifat perbuatan susila itu sendiri, tetapi istilah etika berkaitan dengan ihwal pemberian tanggapan-tanggapan kesusilaan secara kritis. Dengan kata lain, etika dipandang sebagai filsafat atau pemikiran kritis mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika dipandang sebagai ilmu untuk memahami mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab ketika berhadapan dengan berbagai ajaran moral.[11]
            Etika pada hakikatnya mengamati realitas system moral secara kritis. Ia hendak memelihara kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma, dan pandangan-pandangan moral secara kritis dan melatih bertanggung jawab kepada seseorang terhadap pendapat-pendapat moralnya. Jadi, etika berusaha untuk menjernihkan permasalahan moral.
            Berbeda dengan istilah moral, etika lebih terfokus maknanya pada keadaan, watak, dan sifat yang melekat atau dilekatkan pada susila. Sedangkan istilah moral berisi ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan, kumpulan peratuaran dan keteapan baik lisan atau tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik yang bersumber dari  tradisi, adat istiadat, agama atau ideology tertentu. Moral mengatakan bagaimana kita harus hidup. Sedangkan etika mengatakan mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu atau bagaimana bersikap yang bertanggung jawab ketika berhadapan dengan berbagai ajaran moral. Jika dilihat dari sumbernya, moral dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, moral yang bersumber dari agama (wahyu). Kedua, moral yang bersumber dari adat istiadat, tradisi, atau ideology tertentu. Nilai moral ini adalah hasil dari kristalisasi kecenderungan pribadi-pribadi yang disepakati sehingga menjadi sebuah kesepakatan kelompok tertentu di daerahh tertentu pula.
            Istilah lain yang perlu dijelaskan adalah akhlak. Dari beberapa pengertian yang ada tentang akhlak dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah tabi’at atau sifat seseorang, yakni keadaan jiwa yang telah terlatih sehingga di dalam jiwa tersebut benar-benar telah melekat sifat-sifat-sifat yang melahirkan perbuatan yang mudah dan spontan tanpa terpikirkan atau diangan-angan lagi. Jadi, akhlak haruslah bersifat konstan, spontan, tidak temporer tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan, serta dorongan dari luar.[12]
            Dari penjelasan diatas, istilah moral, etika dan akhlak sama-sama membicarakan nilai-nilai baik dan buruk, sikap dan perbuatan manusia. Perbedaannya terletak pada standarnya masing-masing. Bagi akhlak standarnya dalah Al-Quran dan Hadis, bagi etika standarnya pertimbangan akal pikiran, sedangkan bagi moral standarnya adat kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat.[13]

C.    Karakteristik Etika Islam
            Akhlak merupakan ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk terpuji atau tercela, menyangkut perilaku manusia yang meliputi perkataan, pemikiran dan perbuatan manusai lahir dan batin. Pada dasarnya akhlak adalah sifat hati, bisa baik bisa buruk yang tercermin dalam perilaku.[14]
            Etika adalah sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu sistem tata nilai suatu masyarakat tertentu. Moral adalah secara etimologis berarti adat kebiasaan,susila. Jadi moral adalah perilaku yang sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan yang oleh umum di terima, meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Sedangkan akhlak adalah ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk tentang perkataan, pemikiran dan perbuatan manusia lahir dan batin.
            Didalam islam, etika yang diajarkan dalam islam berbeda dengan etika filsafat. Etika Islam memiliki karakteristik sebagai berikut:
·         Etika Islam mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk.
·         Etika Islam menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran baik dan buruknya perbuatan seseorang didasarkan kepada al-Qur’an dan al-Hadits.
·         Etika Islam bersifat universal dan komprehensif, dapat diterima dan dijadikan pedoman oleh seluruh umat manusia kapanpun dan dimanapun mereka berada.
·         Etika Islam mengatur dan mengarahkan fitrah manusia kejenjang akhlak yang luhur dan mulia serta meluruskan perbuatan manusia sebagai upaya memanusiakan manusia.[15]

D.    Tujuan dan Peran Etika dalam Islam
            Menurut para filosof etika Muslim, tujuan dari etika adalah memperoleh kebahagiaan[16], seperti tercermin dalam karya al-Farabi, Tahshil al-Sa‘adah. Mengkaitkan etika dengan kebahagiaan merupakan hal yang penting, karena setiap orang mengenyam kebahagiaan, dan etika bisa membawanya menuju kebahagiaan. Etika terkait dengan  masalah baik dan buruk, benar dan salah.  Etika ingin agar manusia menjadi baik,  karena hanya dengan menjadi baiklah seseorang akan menjadi bahagia. Alasannya, orang baik adalah orang yang sehat mentalnya, dan orang sehat mentalnya bisa mengenyam pelbagai macam kebahagiaan rohani. Sama halnya, orang yang sehat fisiknya bisa mengenyam segala macam kesenangan  jasmaninya, seperti merasakan pelbagai macam rasa makanan atau minuman yang disantapnya. Terkadang kita  mengalami “mati rasa”, tidak bisa membedakan rasa manis, asin atau pahit ketika kita flu atau menderita penyakit sejenisnya. Itu terjadi karena fisik kita sakit.
            Sebaliknya, bila fisik kita sehat, maka bukan saja kita bisa membedakan aneka rasa, bahkan dapat membedakan tingkat rasa, seperti kemanisan, kurang manis, atau tidak manis. Demikian pula, kalau jiwa kita sakit, misalnya ketika kita mengidap penyakit iri. Kita yang biasanya merasa bahagia dengan penghasilan kita yang biasa, tiba-tiba, karena rasa iri, kita tidak merasa bahagia kala tetangga kita lebih beruntung dari kita. Jadi, dalam hal ini penyakit iri (hasad) bisa menghapus rasa bahagia yang selama ini kita rasakan. Dengan ilustrasi di atas, mudah-mudahan menjadi jelas betapa kalau jiwa kita sehat ––dengan kata lain kita baik dan berakhlaq karimah–– maka kita akan merasakan dan mencapai kebahagiaan yang kita dambakan.
            Sementara itu, ilmu dan rasionalitas juga memainkan peranan penting dalam etika, terutama dalam upaya kita mencapai kebahagiaan. Rasionalitas atau “akal” menempati  posisi yang krusial dalam etika Islam. Nashir al-Din al-Thusi (w.1274), menyebut rasionalitas sebagai  kesempurnaan (entelechy) manusia. Dalam rasionalitas terdapat perbedaan esensial antara manusia dan hewan;[17] dan rasionalitas jualah yang dapat menghantar manusia menuju kebahagiaan. Adalah keliru, menurut Miskawayh (w.1030), untuk berasumsi bahwa manusia bisa memperoleh kebahagiaan dan kebaikan tanpa memperhatikan fakultas kognitif, mengesampingkan prinsip rasionalitas (akal), dan berpuas diri dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan akal.
            Akal biasanya hanya dipandang memiliki fungsi kognitif belaka. Tetapi, menurut visi etika yang benar (seimbang), akal atau rasionalitas manusia juga punya fungsi manajerial (tadbir). Dengan fungsi kognitifnya, akal mampu membangun ilmu pengetahuan teoritis yang  sangat diperlukan untuk menerangi jalan hidup manusia. Tetapi, akal juga mempunyai fungsi mengatur. Al-Razi (w. 925), dalam bukunya al-Thibb al-Ruhani (Pengobatan Rohani), mengatakan bahwa “akal bukan saja merupakan daya yang memungkinkan seseorang memahami dunia sekelilingnya (memiliki ilmu pengetahuan), tetapi juga merupakan “prinsip yang mengatur” pada jiwa, yang berkat keunggulannya dapat menjamin terkekangnya hawa nafsu dan penyempurnaan akhlak.”[18]
            Nafsu yang mampu dikekang keekstrimannya oleh keunggulan akal —atau yang dalam termonologi psikologi modern disebut mental faculties—terdiri dari tiga: (1) al-nafs al-syahwiyah (nafsu sahwat); (2) al-nafs al-ghadlabiyah (nafsu kemarahan) dan (3) al-nafs al-nuthqiyah (nafsu rasional). Para pemikir etika Muslim percaya bahwa kebahagiaan atau kesempurnaan bisa dirasakan ketika terjadi keseimbangan (equilibrium) di antara ketiga fakultas (al-nafs) tersebut. Tetapi, karena keseimbangan ini baru bisa tercapai, bila akal telah melaksanakan peran “manajerial”nya, yakni telah melaksanakan fungsi kontrolnya terhadap nafsu-nafsu manusia, maka akal atau  prinsip rasionalitas ini merupakan syarat yang paling fundamental bagi tercapainya tujuan etika yaitu “kebahagiaan” atau yang sering juga disebut  “kesempurnaan” manusia.
            Kini, kita beralih menuju ilmu dan kaitannya dengan etika. Etika, menurut para filosof Muslim, merupakan salah satu bagian filsafat praktis, seperti halnya ekonomi dan politik.[14] Sebagai ilmu praktis, etika merupakan aplikasi dari ilmu-ilmu teoritis atau yang biasanya kita sebut ilmu pengetahuan (‘ilm). Dikatakan bahwa ilmu berkenaan dengan pengetahuan tentang sesuatu  sebagaimana adanya (obyektif), sementara filsafat praktis (termasuk etika) berkenaan dengan pengetahuan tentang tindakan-tindakan voluntir, sejauh mereka mendorong tercapainya kebahagiaan manusia.
            Dengan bentuk yang sederhana, hubungan ilmu dan etika  (‘amal) dapat dianalogikan dengan relasi mutualistik antara “pelita” dan pejalan kaki. Ilmu, kata Nabi, adalah cahaya (al-‘ilm nur) dan tentunya seredup apapun, cahaya sangat diperlukan oleh pejalan kaki yang sedang melakukan  perjalanan tertentu di malam hari yang gelap. Sebagaimana cahaya bisa membuat bagian-bagian yang gelap dan remang-remang menjadi terang, dapat dilihat dengan jelas. Demikian juga, ilmu dapat menerangi jalan yang sedang ditempuh oleh si pejalan kaki. Dengannya si pejalan kaki dapat mengetahui lubang-lubang atau jurang yang dijumpai dalam perjalanannya, sehingga ia dapat menghindari, supaya tidak terjerembab dan selamat sampai tujuan. Tetapi, kalau cahaya rembulan saja tidak diperolehnya, kunang-kunang pun tidak menunjukkan jalan, sedangkan malam sedang selap gulita, maka siapa yang akan menjamin bahwa ia akan sampai di tempat tujuan dengan selamat.
            Kedua aspek ini, yaitu intelektualitas (‘ilmu) dan moral ethic (amal) tak dapat dipisahkan dalam Islam, orang yang mempunyai kapabelitas tinggi dalam keilmuan belum tentu akan membikin ia menjadi baik, jika ia tidak dipergunakan (al-‘ilm bila ‘amal), begitu pula sebaliknya ia tidak akan bisa mengetahui dan mencapai hakikat moral ethic (‘amal) tanpa mengetahui ilmunya. Jadi seharusnya ilmu dan amal dalam Islam adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Karena kebenaran kognitif akan kurang berarti tanpa pencapaiannya dalam segi aveksi dan psikomotorik. Sekalipun si pejalan kaki memiliki senter, tetapi kalau tidak digunakan, maka keberadaan senter (simbol ilmu) tersebut tidak ada gunanya. Itulah barangkali mengapa Nabi kita mengatakan bahwa ilmu yang tidak diamalkan, tidak ada gunanya, seperti pohon yang tidak berbuah.[19] Demikian juga, amal saja tanpa ilmu, tidak akan tercapai tujuan yang diharapkan. Karenanya Al-Farabi (w. 950) mengatakan bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa dicapai ketika terjadi perpaduan antara ilmu-ilmu teoritis dan ilmu-ilmu praktis, dengan kata lain antara ilmu dan amal. Pernyataan ini sekaligus merupakan kritik al-Farabi  terhadap Aristoteles yang percaya bahwa ilmu dapat membawa manusia menuju kebahagiaan.[20]


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa:
v  Akhlak adalah Ilmu tentang kebaikan dan keburukan, membahas tentang perbuatan manusia serta mengkaji tentang apa-apa yang harus ia kerjakan dan apa-apa yang harus ditinggkalkan demi tercapainya kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat.
v  Istilah etika berasal dari bahasa Yunani yakni etos yang berarti kebiasaan (costum), adat. Jika ditinjau dari sudut asal katanya, etika adalah studi terhadap kebiasaan manusia setelah melalui perkembangan etika mulai menyelidiki kebiasaan-kebiasaan dalam arti moral (kesusilaan). Oleh karena itu, etika sering dikatakan sebagai studi tentang benar atau salah dalam tingkah laku manusia.
v  Sedangkan kata Moral berasal dari bahasa latin ‘mos’ (jamak: mores) yang berarti kebiasaan. Jadi, moral adalah tingkah laku manusia yang bersandarkan pada kebiasaan, adat-istiadat suatu kelompok tertentu di daerah tertentu.
v  Secara substansial akhlak, etika dan moral adalah sama, yakni ajaran tentang baik dan buruk perilaku manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia dan lingkungan sekitar. Yang menjadi faktor pembeda antara yang satu dengan yang lainnya adalah dasar atau ukuran baik dan buruk itu sendiri.
v  Etika menjadikan pertimbangan pemikiran (akal) sebagai ukurannya, moral merujuk pada kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat, sedangkan akhlak didasarkan pada kebenaran-kebenaran dalam nash agama (Al-Quran dan Hadis).
v  Konsep akhlak memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan ajaran etika atau moral. Hal ini terjadi karena teori akhlak dalam Islam bersifat universal dan komprehensif. Artinya akhlak tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Ia bisa digunakan oleh siapapun yang ingin mencapai kebahagian.
v  Akhlak berperan dalam kehidupan sebagai alat untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Akhlak yang baik (akhlak mahmudah) menjadi salah satu sarana yang logis dan layak untuk mewujudkannya.

B.     Saran
            Banyaknya konsep dan teori dalam memahami apa itu akhlak, kadang-kadang bisa membuat kita bingung untuk menentukan mana yang lebih baik, benar dan cocok. Namun, sebagai pribadi yang punya intelektualitas tentunya kita tidak akan mempermasalahkan hal-hal yang bersifat tekhnis seperti itu. Sebab, hal terpenting yang harus dilakukan bukanlah sekedar memahami sebuah teori, melainkan bagaimana kita juga mampu mengaplikasikan konsep-konsep itu dalam realitas kehidupan. Jadi, ciptakanlah keseimbangan diantara keduanya. Agar kita menjadi pribadi-pribadi yang memiliki intelektualitas tinggi serta budi pekerti yang mulia.










Daftar Pustaka

Sa’aduddin, Iman Abdul Mukmin, Meneladani Akhlak Nabi (membangun kepribadian muslim), Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.
Mahmud, Ali Abdul halim, Akhlak mulia, Jakarta: Gema Insani Press, cet. I, 2004.
Damanhuri, Akhlak Tasawuf, Banda Aceh: Yayasan Pena Banda Aceh, cet. II, 2010.
Amin, Ahmad, Etika (ilmu akhlak), Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Mustofa, H.A, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, cet. IV, 1997.
M. Yusuf Musa, Falsafah Al-Akhlaq Fi Al-Islami, Cairo, 1963, hal. 81-84
Bertens, K. Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Makmurtomo, Agus dan B. Soekarno, Etika Filsafat dan Moral, Jakarta: Wonosari, 1989.
Wahyuddin, dkk, Pendidikan Agama Islam untuk perguruan tinggi, Surabaya: grasindo, 2009.
Suseno,Franz Magnis, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Yogjakarta: Kanius, 1991.
Thusi, Nashir al-Din, The Nasirean Ethics, terj. G. M. Wickens, London: George Allen dan Unwin Ltd. 1964.
Al-Razi, Muhammad bin Zakaria, Pengobatan Rohani, Bandung: Mizan, 1995.
Sukardi, Imam dkk, Pilar Islam Bagi Pluralisme Agama, Solo: Tiga Serangkai, cet. I, 2003.
Ilyas, H. Yunahar, Kuliah Akhlak, Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Kertanegara, Mulyadi Membangun Karakter Keilmuan IAIN, dipubilkasikan di: http://www.ditpertais.net/artikel/mulyadi01.asp
http://makalahfaiuir09.wordpress.com/2009/11/13/karakteristik-etika-islam/ 00:17, 26/3/2012
http://students.sunan-ampel.ac.id/bahauddin/2010/04/27/urgensi-moral-intelektual-di-eratransisi/




[1] Iman Abdul Mukmin Sa’aduddin, Meneladani Akhlak Nabi (membangun kepribadian muslim), (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal. 15
[2] Ali Abdul halim Mahmud, Akhlak mulia, (Jakarta: Gema Insani Press, cet. I, 2004) Hal. 26-35
[3] Iman Abdul Mukmin Sa’aduddin, Meneladani Akhlak Nabi (membangun kepribadian muslim), …, hal. 17
[4] Damanhuri, Akhlak Tasawuf, (Banda Aceh: Yayasan Pena Banda Aceh, cet. II, 2010), hal. 168
[5] Ahmad Amin, Etika (ilmu akhlak), (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hal. 3
[6] H.A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, cet. IV, 1997), hal. 177
[7] M. Yusuf Musa, Falsafah Al-Akhlaq Fi Al-Islami, Cairo, 1963, hal. 81-84
[8] K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hal. 5
[9] Agus Makmurtomo dan B. Soekarno, Etika Filsafat dan Moral, (Jakarta: Wonosari, 1989), hal. 9
[10] Wahyuddin, dkk, Pendidikan Agama Islam untuk perguruan tinggi, (Surabaya: grasindo, 2009), hal. 52
[11] Franz Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogjakarta: Kanius, 1991), hal. 14
[12] Imam Sukardi, dkk, Pilar Islam Bagi Pluralisme Agama, (Solo: Tiga Serangkai, cet. I, 2003), hal. 81-82
[13] H. Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hal. 2
[14] Wahyuddin, dkk, Pendidikan Agama Islam untuk perguruan tinggi,… hal. 53
[15] http://makalahfaiuir09.wordpress.com/2009/11/13/karakteristik-etika-islam/  00:17, 26/3/2012
[16] Mulyadi Kertanegara, Membangun Karakter Keilmuan IAIN, dipubilkasikan di: http://www.ditpertais.net/artikel/mulyadi01.asp
[17] Nashir al-Din Thusi, The Nasirean Ethics, terj. G. M. Wickens. (London: George Allen dan Unwin Ltd. 1964), hal. 49.
[18] Muhammad bin Zakaria al-Razi, Pengobatan Rohani, (Bandung: Mizan, 1995), hal. 30
[19] Hadits tersebut berbunyi: “al-Ilm bila ‘amal ka al-Syajar bila Tsamar” (ilmu tanpa amal ibarat pohon tak berbuah)
[20] http://students.sunan-ampel.ac.id/bahauddin/2010/04/27/urgensi-moral-intelektual-di-era-transisi/ 01:41 26/3/2012