BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan Islam pada intinya adalah
sebagai wahana pembentukan manusia yang berbudi pekerti yang mulia. Di dalam
ajaran Islam moral atau akhlak tidak dapat dipisahkan dari keimanan. Keimanan
merupakan pengakuan hati. Akhlak adalah pantulan iman yang berupa perilaku,
ucapan, dan sikap atau dengan kata lain akhlak adalah amal saleh. Iman adalah
maknawi (abstrak) sedangkan akhlak adalah bukti keimanan dalam bentuk perbuatan
yang dilakukan dengan kesadaran dan karena Allah semata.
Berkaitan dengan pernyataan di atas
bahwa akhlak tidak akan terpisah dari keimanan, dalam Al-Qur'an juga sering
dijelaskan bahwa setelah ada pernyataan “orang-orang yang beriman,” maka
langsung diikuti oleh “beramal saleh.” Dengan kata lain amal saleh sebagai
manifestasi dari akhlak merupakan perwujudan dari keimanan seseorang. Pemahaman
moralitas dalam bahasa aslinya dikenal dengan dua istilah yaitu al-akhlaq
al-karimah dan al-akhlaq al-mahmudah. Keduanya memiliki pemahaman yang sama
yaitu akhlak yang terpuji dan mulia, semua perilaku baik, dan terpuji keduanya
adalah perbuatan-perbuatan yang diridhai oleh Allah SWT.
Disamping itu, pentingnya akhlak
dalam praktek-praktek kehidupan juga ditegaskan oleh Nabi Muhammad SAW dalam
sebuah hadis yang artinya: ”Sesungguhnya
aku (Rasul) diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia” (H.R. Bukhari dan
Muslim). Pernyataan langsung dari Rasulullah ini, menjelaskan bagaimana
pentingnya akhlak dalam kehidupan ini, baik dalam hubungannya dengan Sang Khaliq maupun dengan sesama makhluk.
Mempelajari akhlak menjadikan seseorang
mampu untuk menempatkan sesuatu pada posisi dan proporsi yang sebenarmya serta
mengetahui batas mana yang baik dan buruk. Selain itu, budi pekerti yang mulia
juga membuat seseorang mendapat tempat yang tinggi di dalam masyarakat,
disenangi orang dalam pergaulan dan terhindar dari sanksi-sanksi, baik di dunia
maupun di akhirat kelak.
B.
Tujuan
Makalah ini dibuat dengan tujuan
untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Akhlak, dan yang tidak kalah pentingnya
adalah bagaimana kita bisa memahami konsep etika, moral dan akhlak serta mampu
mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Akhlak, Etika dan Moral
1.
Akhlak
v Etimologi
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab
yang merupakan jama’ dari khuluq dan
mengandung beberapa arti, antara lain:
·
Tabiat, yaitu sifat
dalam diri yang terbentuk oleh manusia tanpa dikehendaki dan tanpa diupayakan.
·
Adat, yaitu sifat
dalam diri yang diupayakan manusia melalui jalan latihan, yakni berdasarkan
keinginan
·
Watak, cakupannya
meliputi hal-hal yang menjadi tabiat dan hal-hal yang diupayakan hingga menjadi
adat. Kata akhlak juga bisa berarti kesopanan dan agama.[1]
v Terminologi
Dari segi terminologi, akhlak
didefinisikan secara beragam oleh para tokoh yang ahli dibidangnya. Namun,
diantara banyaknya perbedan pendapat tentang pengertian akhlak ini, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya mereka
semua menonjolkan tiga aspek yang sama yakni:
Ilmu
kebaikan dan keburukan, artinya akhlak
merupakan ilmu yang membahas tentang kebaikan, keburukan, yang pantas dan yang
tidak pantas.
Ilmu
manusia, artinya ilmu ini membahas tentang
perbuatan manusia.
Ilmu
tentang kewajiban, maksudnya akhlak itu
menunjukkan manusia kepada apa-apa yang harus ia kerjakan dan apa-apa yang
harus ditinggkalkan. Yakni segala sesuatu yang perlu ia jauhi agar selamat dari
siksa Rabbnya.
Untuk
lebih jelasnya, definisi akhlak ini dapat dilihat dari beberapa pendapat tokoh,
diantaranya:
a)
Menurut Imam Abu Hamid Al-Ghazali
Kata al-khalq (fisik) dan al-khuluq
adalah dua kata yang sering dipakai bersamaan. Seperti redaksi bahasa Arab
ini, fuulan husnu al-khalq wa al-khuluq
yang artinya “sifulan baik lahirnya dan batinnya”.
Atas dasar itu, kata al-khuluq diartikan sebagai suatu sifat
yang terrpatri dalam jiwa, yang darinya terlahir perbuatan-perbuatan dengan
mudah tanpa memikirkan dan merenung terlebih dulu. Jadi, al-khuluq adalah suatu sifat jiwa dan gambaran batinnya. Dan
sebagaimana halnya keindahan bentuk
lahir manusia secara mutlak tak dapat berwujud hanya dengan keindahan dua mata,
dengan tanpa hiudng, mulut dan pipi. Sebaliknya, semua unsur tadi harus indah
sehingga tewujudlah keindahan lahir manusia itu. Demikian juga, dalam batin
mansusia ada emapt rukun yang terpenuhi seluruhnya sehingga terwujudnya
keindahan al-khuluq. Keempat rukun itu antara lain:
o Kekuatan ilmu
o Kekuatan marah
o Keuatan syahwat
o Kekuatan mewujudkan keadilan diantara
tiga kekuatan tadi.
b)
Menurut Muhammad bin Ali Asy-Syariif Al-Jurjani
Dalam kitabnya at-ta’rifat, Ia
mendefinisikan mendefinisikan akhlak sebagai istilah bagi sesuatu sifat yang
tertanam kuat dalam diri, yang darinya terlahir perbuatan-perbuatan dengan
mudah dan ringan, tanpa perlu berpikir dan merenung. Jika dari sifat tersebut
terlahir perbuatan-perbuatan yang indah menurut akal dan syari’at, dengan mudah, maka sifat tersebut dinamakan dengan
akhlak yang baik. Sedangkan jika darinya terlahir perbuatan-perbuatan buruk,
maka sifat tersebut dinamakan dengan akhlak yang buruk.
c)
Menurut Ahmad bin Mushthafa
Menurutnya akhlak adalah ilmu yang
darinya dapat diketahui jenis-jenis keutamaan. Dan keutamaan itu adalah terwujudnya
keseimbangan antara tiga kekuatan, yaitu: kekuatan berppikir, kekuatan marah,
kekuatan syahwat.
d)
Menurut Muhammad bin Ali Al-Faaruqi At-Tahanawi
Ia berkata bahwa akhlak adalah keseluruhan
kebiasaan , sifat alami, agama dan harga diri. Kemudian ia membagi akhlak
menjadi, keutamaan (yang merupakan dasar bagi yang sempurna), kehinaan (yang
merupakan dasar bagi apa yang kurang) dan selain keduanya --yang menjadi
dasar-- bagi kedua hal itu.[2]
e)
Menurut Ibnu Maskawaih
Dalam kitabnya, tahdzib al akhlaq menyebutkan bahwa akhlak
adalah suatu keadaan dalam diri yang mengajaknya kepada berbagai tindakan tanpa
perlu berpikir dan pertimbangan. Kemudian ia menjelaskan bahwa keadaan tersebut
terbagi dua, yang menjadi suatu tabi’at sejak lahir seperti yang tergerak
bangkit karena hal sepele lalu marah. Yang diperoleh melalui pembiasan,
latihan, pikiran dan pertimbangan. Tindakan ini dilakukan terus menerus hingga
menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi akhlak.[3]
Drs. Damanhuri, M. Ag dalam bukunya
yang berjudul Akhlak Tasawuf juga menjelaskan bahwa akhlak secara bahasa
adalah tingkah laku, perangai atau tabi’at, sedangkan menurut istilah akhlak
adalah pengetahuan yang menjelaskan tentang baik dan buruk, mengatur pergaulan
manusia dan menentukan tujuan akhir dari usaha dan pekerjaannya.[4]
2.
Etika
Istilah etika berasal dari bahasa
Yunani yakni etos yang berarti
kebiasaan (costum), adat. Istilah
etika pertama kali dipopulerkan oleh seorang filsuf dari Yunani yaitu
Aristoteles melalui karyanya yang berjudul Etika
Nicomachiae. Jika ditinjau dari sudut asal katanya, etika adalah studi
terhadap kebiasaan manusia. setelah melalui perkembangan etika mulai
menyelidiki kebiasaan-kebiasaan dalam arti moral (kesusilaan). Oleh karena itu,
etika sering dikatakan sebagai studi tentang benar atau salah dalam tingkah
laku manusia.
Secara definitif, banyak pengertian
yang tentang etika yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya, Ahmad Amin yang
mengatakan bahwa etika adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk,
menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh sebagian manusia kepada yang
lainnya, menyatakan tujuan yang harus dicapai oleh manusia dalam perbuatan
mereka dan menunjukkan jalan apa yang harus diperbuat.[5]
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa etika adalah suatu ilmu yang
membahas tentang tingkah laku manusia dilihat dari baik dan buruknya.
Ibnu Maskawaih yang merupakan Bapak Etika Islam dengan Gelarnya Al-Mu’allimal-Tsalits (guru ketiga)
setelah Al-Farabi dan Aristoteles, menjelaskan bahwa khuluq adalah peri keadaan
jiwa yang mendororngnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan
dan diperhitungkan sebelumnya. Dengan kata lain, khuluq adalah keadaan jiwa
yang mendorong timbulnya perbuatan-perbuatan secara spontan. Keadaan jiwa itu
dapat berupa fitrah sejak kecil, dapat pula hasil latihan membiasakan diri.[6]
Ia menetapkan kemungkinan manusia
mengalami perubahan-perubahan khuluq, dan dari segi inilah maka diperlukan
adanya aturan-aturan syari’at, diperlukan adanya nasihat-nasihat dan berbagai
macam ajaran tentang adab sopan santun. Dengan adanya itu semua memungkin
manusia dengan akalnya untuk memilih dan membedakan mana yang seharusnya
dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan. Dari sini pula Maskawaih memandang
penting arti pendidikan dan lingkungan bagi manusia dalam hubungannnya dengan
pembinaan akhlak.[7]
3.
Moral
Moral berasal dari bahasa latin ‘mos’ (jamak: mores) yang berarti kebiasaan.[8]
Kata mos dalam bahasa latin sama
artinya dengan kata etos dalam bahasa
Yunani. Dari kata mos timbul kata mores dan moral merupakan kata sifat yang semula berbunyi moralis. Dalam dunia ilmu kata moralis dihubungkan dengan kata scientiea menjadi kata scientiea moralis atau pholosophia moralis.[9]
Di dalam bahasa Indonesia kata moral diterjemahkan dengan susila. Adapun yang
dimaksud dengan moral adalah ide-ide yang diterima umum tentang tindakan
manusia, yaitu yang berkaitan dengan makna yang baik dan wajar. Dengan kata
lain, moral adalah suatu kebaikan yang disesuaikan dengan ukuran-ukuran yang
diterima oleh umum, meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Kata
moral selalu mengacu pada baik dan buruknya perbuatan manusia sebagai manusia.
B.
Persamaan dan Perbedaan Antara Akhlak, Etika dan
Moral
Secara substansial akhlak, etika dan
moral adalah sama, yakni ajaran tentang baik dan buruk perilaku manusia dalam hubungannya
dengan Tuhan, sesama manusia dan lingkungan sekitar. Yang menjadi faktor
pembeda antara yang satu dengan yang lainnya adalah dasar atau ukuran baik dan
buruk itu sendiri.
Etika merupakan ajaran yang
berbicara tentang baik dan buruk dengan akal sebagai ukurannya, karena etika
merupakan bagian dari filsafat. Moral adalah segala tingkah laku manusia yang
mencakup sifat baik dan buruk dari tingkah laku itu dan yang menjadi ukurannya
adalah tradisi yang berkembang pada suatu kelompok masyarakat. Sedangkan akhlak
adalah ajaran yang berbicara tentang baik dan buruk yang ukurannya adalah wahyu
Allah yang universal.[10]
Istilah etika tidak dihubungkan
dengan perbuatan manusia atau sifat perbuatan susila itu sendiri, tetapi
istilah etika berkaitan dengan ihwal pemberian tanggapan-tanggapan kesusilaan
secara kritis. Dengan kata lain, etika dipandang sebagai filsafat atau
pemikiran kritis mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral.
Etika dipandang sebagai ilmu untuk memahami mengapa kita harus mengikuti ajaran
moral tertentu atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab
ketika berhadapan dengan berbagai ajaran moral.[11]
Etika pada hakikatnya mengamati
realitas system moral secara kritis. Ia hendak memelihara kebiasaan-kebiasaan,
nilai-nilai, norma-norma, dan pandangan-pandangan moral secara kritis dan
melatih bertanggung jawab kepada seseorang terhadap pendapat-pendapat moralnya.
Jadi, etika berusaha untuk menjernihkan permasalahan moral.
Berbeda dengan istilah moral, etika
lebih terfokus maknanya pada keadaan, watak, dan sifat yang melekat atau
dilekatkan pada susila. Sedangkan istilah moral berisi ajaran-ajaran,
wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan, kumpulan peratuaran dan
keteapan baik lisan atau tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan
bertindak agar menjadi manusia yang baik yang bersumber dari tradisi, adat istiadat, agama atau ideology
tertentu. Moral mengatakan bagaimana kita harus hidup. Sedangkan etika
mengatakan mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu atau bagaimana
bersikap yang bertanggung jawab ketika berhadapan dengan berbagai ajaran moral.
Jika dilihat dari sumbernya, moral dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, moral yang bersumber dari agama
(wahyu). Kedua, moral yang bersumber
dari adat istiadat, tradisi, atau ideology tertentu. Nilai moral ini adalah
hasil dari kristalisasi kecenderungan pribadi-pribadi yang disepakati sehingga
menjadi sebuah kesepakatan kelompok tertentu di daerahh tertentu pula.
Istilah lain yang perlu dijelaskan
adalah akhlak. Dari beberapa pengertian yang ada tentang akhlak dapat
disimpulkan bahwa akhlak adalah tabi’at atau sifat seseorang, yakni keadaan
jiwa yang telah terlatih sehingga di dalam jiwa tersebut benar-benar telah
melekat sifat-sifat-sifat yang melahirkan perbuatan yang mudah dan spontan
tanpa terpikirkan atau diangan-angan lagi. Jadi, akhlak haruslah bersifat
konstan, spontan, tidak temporer tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan,
serta dorongan dari luar.[12]
Dari penjelasan diatas, istilah moral,
etika dan akhlak sama-sama membicarakan nilai-nilai baik dan buruk, sikap dan
perbuatan manusia. Perbedaannya terletak pada standarnya masing-masing. Bagi
akhlak standarnya dalah Al-Quran dan Hadis, bagi etika standarnya pertimbangan
akal pikiran, sedangkan bagi moral standarnya adat kebiasaan yang umum berlaku
di masyarakat.[13]
C.
Karakteristik Etika Islam
Akhlak merupakan ilmu yang
menentukan batas antara baik dan buruk terpuji atau tercela, menyangkut
perilaku manusia yang meliputi perkataan, pemikiran dan perbuatan manusai lahir
dan batin. Pada dasarnya akhlak adalah sifat hati, bisa baik bisa buruk yang
tercermin dalam perilaku.[14]
Etika adalah sebuah tatanan perilaku
berdasarkan suatu sistem tata nilai suatu masyarakat tertentu. Moral adalah
secara etimologis berarti adat kebiasaan,susila. Jadi moral adalah perilaku
yang sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan yang oleh umum di terima, meliputi
kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Sedangkan akhlak adalah ilmu yang
menentukan batas antara baik dan buruk tentang perkataan, pemikiran dan perbuatan
manusia lahir dan batin.
Didalam islam, etika yang diajarkan
dalam islam berbeda dengan etika filsafat. Etika Islam memiliki karakteristik
sebagai berikut:
·
Etika
Islam mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan
menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk.
·
Etika
Islam menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran baik dan buruknya
perbuatan seseorang didasarkan kepada al-Qur’an dan al-Hadits.
·
Etika
Islam bersifat universal dan komprehensif, dapat diterima dan dijadikan pedoman
oleh seluruh umat manusia kapanpun dan dimanapun mereka berada.
·
Etika
Islam mengatur dan mengarahkan fitrah manusia kejenjang akhlak yang luhur dan
mulia serta meluruskan perbuatan manusia sebagai upaya memanusiakan manusia.[15]
D. Tujuan dan Peran Etika dalam Islam
Menurut
para filosof etika Muslim, tujuan dari etika adalah memperoleh kebahagiaan[16], seperti
tercermin dalam karya al-Farabi, Tahshil al-Sa‘adah. Mengkaitkan etika dengan
kebahagiaan merupakan hal yang penting, karena setiap orang mengenyam
kebahagiaan, dan etika bisa membawanya menuju kebahagiaan. Etika terkait
dengan masalah baik dan buruk, benar dan
salah. Etika ingin agar manusia menjadi
baik, karena hanya dengan menjadi
baiklah seseorang akan menjadi bahagia. Alasannya, orang baik adalah orang yang
sehat mentalnya, dan orang sehat mentalnya bisa mengenyam pelbagai macam
kebahagiaan rohani. Sama halnya, orang yang sehat fisiknya bisa mengenyam
segala macam kesenangan jasmaninya,
seperti merasakan pelbagai macam rasa makanan atau minuman yang disantapnya.
Terkadang kita mengalami “mati rasa”,
tidak bisa membedakan rasa manis, asin atau pahit ketika kita flu atau
menderita penyakit sejenisnya. Itu terjadi karena fisik kita sakit.
Sebaliknya,
bila fisik kita sehat, maka bukan saja kita bisa membedakan aneka rasa, bahkan
dapat membedakan tingkat rasa, seperti kemanisan, kurang manis, atau tidak
manis. Demikian pula, kalau jiwa kita sakit, misalnya ketika kita mengidap
penyakit iri. Kita yang biasanya merasa bahagia dengan penghasilan kita yang
biasa, tiba-tiba, karena rasa iri, kita tidak merasa bahagia kala tetangga kita
lebih beruntung dari kita. Jadi, dalam hal ini penyakit iri (hasad) bisa menghapus
rasa bahagia yang selama ini kita rasakan. Dengan ilustrasi di atas,
mudah-mudahan menjadi jelas betapa kalau jiwa kita sehat ––dengan kata lain
kita baik dan berakhlaq karimah–– maka kita akan merasakan dan mencapai kebahagiaan
yang kita dambakan.
Sementara
itu, ilmu dan rasionalitas juga memainkan peranan penting dalam etika, terutama
dalam upaya kita mencapai kebahagiaan. Rasionalitas atau “akal” menempati posisi yang krusial dalam etika Islam. Nashir
al-Din al-Thusi (w.1274), menyebut rasionalitas sebagai kesempurnaan (entelechy) manusia. Dalam
rasionalitas terdapat perbedaan esensial antara manusia dan hewan;[17] dan
rasionalitas jualah yang dapat menghantar manusia menuju kebahagiaan. Adalah
keliru, menurut Miskawayh (w.1030), untuk berasumsi bahwa manusia bisa
memperoleh kebahagiaan dan kebaikan tanpa memperhatikan fakultas kognitif,
mengesampingkan prinsip rasionalitas (akal), dan berpuas diri dengan tingkah
laku yang tidak sesuai dengan tuntutan akal.
Akal
biasanya hanya dipandang memiliki fungsi kognitif belaka. Tetapi, menurut visi
etika yang benar (seimbang), akal atau rasionalitas manusia juga punya fungsi
manajerial (tadbir). Dengan fungsi kognitifnya, akal mampu membangun ilmu
pengetahuan teoritis yang sangat
diperlukan untuk menerangi jalan hidup manusia. Tetapi, akal juga mempunyai
fungsi mengatur. Al-Razi (w. 925), dalam bukunya al-Thibb al-Ruhani (Pengobatan
Rohani), mengatakan bahwa “akal bukan saja merupakan daya yang memungkinkan
seseorang memahami dunia sekelilingnya (memiliki ilmu pengetahuan), tetapi juga
merupakan “prinsip yang mengatur” pada jiwa, yang berkat keunggulannya dapat
menjamin terkekangnya hawa nafsu dan penyempurnaan akhlak.”[18]
Nafsu
yang mampu dikekang keekstrimannya oleh keunggulan akal —atau yang dalam
termonologi psikologi modern disebut mental faculties—terdiri dari tiga: (1)
al-nafs al-syahwiyah (nafsu sahwat); (2) al-nafs al-ghadlabiyah (nafsu
kemarahan) dan (3) al-nafs al-nuthqiyah (nafsu rasional). Para pemikir etika
Muslim percaya bahwa kebahagiaan atau kesempurnaan bisa dirasakan ketika
terjadi keseimbangan (equilibrium) di antara ketiga fakultas (al-nafs)
tersebut. Tetapi, karena keseimbangan ini baru bisa tercapai, bila akal telah
melaksanakan peran “manajerial”nya, yakni telah melaksanakan fungsi kontrolnya
terhadap nafsu-nafsu manusia, maka akal atau
prinsip rasionalitas ini merupakan syarat yang paling fundamental bagi
tercapainya tujuan etika yaitu “kebahagiaan” atau yang sering juga disebut “kesempurnaan” manusia.
Kini,
kita beralih menuju ilmu dan kaitannya dengan etika. Etika, menurut para
filosof Muslim, merupakan salah satu bagian filsafat praktis, seperti halnya
ekonomi dan politik.[14] Sebagai ilmu praktis, etika merupakan aplikasi dari
ilmu-ilmu teoritis atau yang biasanya kita sebut ilmu pengetahuan (‘ilm).
Dikatakan bahwa ilmu berkenaan dengan pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya (obyektif), sementara
filsafat praktis (termasuk etika) berkenaan dengan pengetahuan tentang
tindakan-tindakan voluntir, sejauh mereka mendorong tercapainya kebahagiaan manusia.
Dengan
bentuk yang sederhana, hubungan ilmu dan etika
(‘amal) dapat dianalogikan dengan relasi mutualistik antara “pelita” dan
pejalan kaki. Ilmu, kata Nabi, adalah cahaya (al-‘ilm nur) dan tentunya seredup
apapun, cahaya sangat diperlukan oleh pejalan kaki yang sedang melakukan perjalanan tertentu di malam hari yang gelap.
Sebagaimana cahaya bisa membuat bagian-bagian yang gelap dan remang-remang
menjadi terang, dapat dilihat dengan jelas. Demikian juga, ilmu dapat menerangi
jalan yang sedang ditempuh oleh si pejalan kaki. Dengannya si pejalan kaki
dapat mengetahui lubang-lubang atau jurang yang dijumpai dalam perjalanannya,
sehingga ia dapat menghindari, supaya tidak terjerembab dan selamat sampai
tujuan. Tetapi, kalau cahaya rembulan saja tidak diperolehnya, kunang-kunang
pun tidak menunjukkan jalan, sedangkan malam sedang selap gulita, maka siapa
yang akan menjamin bahwa ia akan sampai di tempat tujuan dengan selamat.
Kedua
aspek ini, yaitu intelektualitas (‘ilmu)
dan moral ethic (amal) tak dapat
dipisahkan dalam Islam, orang yang mempunyai kapabelitas tinggi dalam keilmuan
belum tentu akan membikin ia menjadi baik, jika ia tidak dipergunakan (al-‘ilm bila ‘amal), begitu pula
sebaliknya ia tidak akan bisa mengetahui dan mencapai hakikat moral ethic (‘amal) tanpa mengetahui ilmunya. Jadi
seharusnya ilmu dan amal dalam Islam adalah satu kesatuan yang tak dapat
dipisahkan. Karena kebenaran kognitif akan kurang berarti tanpa pencapaiannya
dalam segi aveksi dan psikomotorik. Sekalipun si pejalan kaki memiliki senter,
tetapi kalau tidak digunakan, maka keberadaan senter (simbol ilmu) tersebut
tidak ada gunanya. Itulah barangkali mengapa Nabi kita mengatakan bahwa ilmu
yang tidak diamalkan, tidak ada gunanya, seperti pohon yang tidak berbuah.[19] Demikian juga,
amal saja tanpa ilmu, tidak akan tercapai tujuan yang diharapkan. Karenanya Al-Farabi
(w. 950) mengatakan bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa dicapai ketika terjadi
perpaduan antara ilmu-ilmu teoritis dan ilmu-ilmu praktis, dengan kata lain
antara ilmu dan amal. Pernyataan ini sekaligus merupakan kritik al-Farabi terhadap Aristoteles yang percaya bahwa ilmu
dapat membawa manusia menuju kebahagiaan.[20]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa:
v Akhlak adalah Ilmu tentang kebaikan dan
keburukan, membahas tentang perbuatan manusia serta mengkaji tentang apa-apa
yang harus ia kerjakan dan apa-apa yang harus ditinggkalkan demi tercapainya
kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat.
v Istilah etika berasal dari bahasa Yunani
yakni etos yang berarti kebiasaan (costum), adat. Jika ditinjau dari sudut
asal katanya, etika adalah studi terhadap kebiasaan manusia setelah melalui
perkembangan etika mulai menyelidiki kebiasaan-kebiasaan dalam arti moral
(kesusilaan). Oleh karena itu, etika sering dikatakan sebagai studi tentang
benar atau salah dalam tingkah laku manusia.
v Sedangkan kata Moral berasal dari bahasa
latin ‘mos’ (jamak: mores) yang berarti kebiasaan. Jadi,
moral adalah tingkah laku manusia yang bersandarkan pada kebiasaan,
adat-istiadat suatu kelompok tertentu di daerah tertentu.
v Secara substansial akhlak, etika dan
moral adalah sama, yakni ajaran tentang baik dan buruk perilaku manusia dalam
hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia dan lingkungan sekitar. Yang menjadi
faktor pembeda antara yang satu dengan yang lainnya adalah dasar atau ukuran
baik dan buruk itu sendiri.
v Etika menjadikan pertimbangan pemikiran
(akal) sebagai ukurannya, moral merujuk pada kebiasaan-kebiasaan yang berlaku
di tengah-tengah masyarakat, sedangkan akhlak didasarkan pada
kebenaran-kebenaran dalam nash agama (Al-Quran dan Hadis).
v Konsep akhlak memiliki beberapa
kelebihan jika dibandingkan dengan ajaran etika atau moral. Hal ini terjadi
karena teori akhlak dalam Islam bersifat universal dan komprehensif. Artinya
akhlak tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Ia bisa digunakan oleh siapapun
yang ingin mencapai kebahagian.
v Akhlak berperan dalam kehidupan sebagai
alat untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Akhlak yang baik
(akhlak mahmudah) menjadi salah satu sarana yang logis dan layak untuk
mewujudkannya.
B.
Saran
Banyaknya konsep dan teori dalam
memahami apa itu akhlak, kadang-kadang bisa membuat kita bingung untuk
menentukan mana yang lebih baik, benar dan
cocok. Namun, sebagai pribadi yang punya intelektualitas tentunya kita tidak
akan mempermasalahkan hal-hal yang bersifat tekhnis seperti itu. Sebab, hal
terpenting yang harus dilakukan bukanlah sekedar memahami sebuah teori,
melainkan bagaimana kita juga mampu mengaplikasikan konsep-konsep itu dalam
realitas kehidupan. Jadi, ciptakanlah keseimbangan diantara keduanya. Agar kita
menjadi pribadi-pribadi yang memiliki intelektualitas tinggi serta budi pekerti
yang mulia.
Daftar Pustaka
Sa’aduddin,
Iman Abdul Mukmin, Meneladani Akhlak Nabi
(membangun kepribadian muslim), Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.
Mahmud,
Ali Abdul halim, Akhlak mulia, Jakarta:
Gema Insani Press, cet. I, 2004.
Damanhuri,
Akhlak Tasawuf, Banda Aceh: Yayasan
Pena Banda Aceh, cet. II, 2010.
Amin,
Ahmad, Etika (ilmu akhlak), Jakarta:
Bulan Bintang, 1993.
Mustofa,
H.A, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka
Setia, cet. IV, 1997.
M.
Yusuf Musa, Falsafah Al-Akhlaq Fi
Al-Islami, Cairo, 1963, hal. 81-84
Bertens,
K. Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2000.
Makmurtomo,
Agus dan B. Soekarno, Etika Filsafat dan
Moral, Jakarta: Wonosari, 1989.
Wahyuddin,
dkk, Pendidikan Agama Islam untuk
perguruan tinggi, Surabaya: grasindo, 2009.
Suseno,Franz
Magnis, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok
Filsafat Moral, Yogjakarta: Kanius, 1991.
Thusi,
Nashir al-Din, The Nasirean Ethics,
terj. G. M. Wickens, London: George Allen dan Unwin Ltd. 1964.
Al-Razi,
Muhammad bin Zakaria, Pengobatan Rohani,
Bandung: Mizan, 1995.
Sukardi,
Imam dkk, Pilar Islam Bagi Pluralisme Agama,
Solo: Tiga Serangkai, cet. I, 2003.
Ilyas,
H. Yunahar, Kuliah Akhlak, Yogjakarta:
Pustaka Pelajar, 2000.
Kertanegara,
Mulyadi Membangun Karakter Keilmuan IAIN,
dipubilkasikan di: http://www.ditpertais.net/artikel/mulyadi01.asp
http://makalahfaiuir09.wordpress.com/2009/11/13/karakteristik-etika-islam/
00:17, 26/3/2012
http://students.sunan-ampel.ac.id/bahauddin/2010/04/27/urgensi-moral-intelektual-di-eratransisi/
[1] Iman Abdul Mukmin Sa’aduddin, Meneladani
Akhlak Nabi (membangun kepribadian muslim), (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2006), hal. 15
[2] Ali Abdul halim Mahmud, Akhlak
mulia, (Jakarta: Gema Insani Press, cet. I, 2004) Hal. 26-35
[3] Iman Abdul Mukmin Sa’aduddin, Meneladani
Akhlak Nabi (membangun kepribadian muslim), …, hal. 17
[4] Damanhuri, Akhlak Tasawuf,
(Banda Aceh: Yayasan Pena Banda Aceh, cet. II, 2010), hal. 168
[5] Ahmad Amin, Etika (ilmu
akhlak), (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hal. 3
[6] H.A. Mustofa, Filsafat Islam,
(Bandung: Pustaka Setia, cet. IV, 1997), hal. 177
[7] M. Yusuf Musa, Falsafah
Al-Akhlaq Fi Al-Islami, Cairo, 1963, hal. 81-84
[8] K. Bertens, Etika,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hal. 5
[9] Agus Makmurtomo dan B. Soekarno,
Etika Filsafat dan Moral, (Jakarta: Wonosari, 1989), hal. 9
[10] Wahyuddin, dkk, Pendidikan
Agama Islam untuk perguruan tinggi, (Surabaya: grasindo, 2009), hal. 52
[11] Franz Magnis Suseno, Etika
Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogjakarta: Kanius, 1991),
hal. 14
[12] Imam Sukardi, dkk, Pilar
Islam Bagi Pluralisme Agama, (Solo: Tiga Serangkai, cet. I, 2003), hal.
81-82
[13] H. Yunahar Ilyas, Kuliah
Akhlak, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hal. 2
[14] Wahyuddin, dkk, Pendidikan
Agama Islam untuk perguruan tinggi,… hal. 53
[15] http://makalahfaiuir09.wordpress.com/2009/11/13/karakteristik-etika-islam/ 00:17, 26/3/2012
[16] Mulyadi Kertanegara, Membangun
Karakter Keilmuan IAIN, dipubilkasikan di: http://www.ditpertais.net/artikel/mulyadi01.asp
[17] Nashir al-Din Thusi, The
Nasirean Ethics, terj. G. M. Wickens. (London: George Allen dan Unwin Ltd.
1964), hal. 49.
[18] Muhammad bin Zakaria al-Razi, Pengobatan
Rohani, (Bandung: Mizan, 1995), hal. 30
[19] Hadits tersebut berbunyi: “al-Ilm bila ‘amal ka al-Syajar bila Tsamar”
(ilmu tanpa amal ibarat pohon tak berbuah)
[20] http://students.sunan-ampel.ac.id/bahauddin/2010/04/27/urgensi-moral-intelektual-di-era-transisi/
01:41 26/3/2012