BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
“Lain
lubuk lain ikannya”, merupakan sebuah peribahasa yang sering digunakan untuk mendeskripsikan
akan adanya perbedaan atas dasar daerah atau wilayah yang dihuni. Kenyataan
akan ‘perbedaan’ tersebut—berdasarkan konsep biologi—mengharuskan setiap
makhluk hidup untuk mampu beradaptasi dengan habitat barunya ketika tidak
berada di tempat asalnya. Tingkat kemampuan dalam usaha untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan baru tentu akan menjadi faktor yang sangat vital bagi
keberlangsungan hidupnya kelak. Jika ia mampu beradaptasi dengan baik, tentu
akan berkembang dengan baik pula, bahkan bisa berada satu level lebih tinggi
dibandingkan ketika hidup ditempat asalnya. Sebaliknya, jika ia gagal atau
tidak mampu beradaptasi dengan habitat barunya tersebut, maka ia akan tertindas
hingga tidak mampu untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Hal ini
merupakan konsep alami yang akan berlangsung terus-menerus dengan merujuk pada
situasi dan kondisi yang berlaku pada zamannya.
Narasi diatas
ternyata tak berbeda jauh dengan konsep yang berlaku dalam sejarah perjalanan
ilmu pengetahuan. Hanya saja dalam ranah ilmu lebih kompleks lagi. ‘Perbedaan’nya
tidak saja terletak pada faktor lingkungan, tapi juga dipengaruhi oleh
faktor-faktor seperti sosial budaya, agama atau ideologi yang dianut oleh suatu
kelompok masyarakat.
Pada
saat ilmu yang berasal dari daerah tertentu masuk ke daerah lain, maka disitu
perlu adanya proses adaptasi agar sesuai dengan konsep ilmu yang lebih dulu
berkembang di daerah tersebut. Tanpa proses ini, maka ilmu baru tersebut tidak
akan mampu berkembang atau bahkan tidak hidup sama sekali. Sama dengan makhluk
hidup yang tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya, sehingga tidak
sanggup mempertahankan kelangsungan hidupnya. Kemudian, dalam perjalanan
dimensi historis ilmu pengetahuan, proses penyesuaian diri atau adaptasi ini
dikenal dengan istilah Naturalisasi Ilmu, yang akan dibahas pada Bab
selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Naturalisasi Ilmu
Naturalisasi
ilmu menurut Prof. Sabra di pakai untuk merujuk pada proses alkulturasi dari
sebuah ilmu yang datang dari luar terhadap budaya yang berlaku di ranah baru.
Melalui proses inilah ilmu tersebut kemudian menjadi terasimilasi secara penuh
pada tuntutan-tuntutan kebudayaan negeri tersebut, termasuk agamanya. Oleh
karena itu, Naturalisasi bisa dipakai dalam arti ‘mempribumikan’ ilmu asing
sehingga cocok dengan nilai-nilai budaya atau pandangan keagamaan sebuah negeri
atau peradaban.[1]
Mulyadi
Kartanegara sendiri mendefinisikan istilah naturalisasi ilmu sebagai proses
adaptasi dan akulturasi terhadap nilai-nilai religius dan budaya yang
berkembang disana.[2]
Dengan kata lain, naturalisasi ilmu merupakan langkah-langkah yang harus
diambil dalam rangka menjadikan ilmu sinkron dengan pola pikir yang
berkembang dalam suatu kelompok masyarakat.
B. Dimensi Historis Naturalisasi Ilmu
Perjalanan ilmu dalam usahanya untuk
beradaptasi berdasarkan ideologi yang berlaku di suatu wilayah, telah berhasil dinaturalisasikan
kedalam beberapa khazanah keilmuan. Seperti yang dinyatakan oleh Mulyadhi
Kartanegara, seorang Doktor filsafat dari Chicago University, tentang
ketidaknetralan ilmu. Menurutnya, salah jika ada orang yang berasumsi bahwa
ilmu bebas nilai. Ilmu di setiap peradaban selalu mengalami naturalisasi.
Seperti yang terjadi pada masa kejayaan Yunani, di mana ilmu dan filsafat
mengalami helenisasi (peng-Yunani-an), lalu Kristenisasi pada
masa Romawi, Islamisasi pada masa-masa kejayaan umat Islam, dan kemudian
Sekularisasi setelah masa Renaisans. Sebagai pembuktiannya, kenapa para
ilmuwan besar seperti Laplace, Darwin, dan Freud, dengan pengetahuan mereka
yang mendalam tentang fenomena alam, justru menolak keberadaan Tuhan. Padahal
menurut pengalaman Mulyadhi, penemuan-penemuan ilmiah tersebut justru
memperkuat keyakinan akan keberadaan dan kebijaksanaan Tuhan.[3]
Berikut akan dijelaskan sejarah
perjalanan naturalisasi ilmu yang telah berhasil mewarnai khazanah keilmuan
dari Kristenisasi, Sekulerisasi hingga Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
1. Kristenisasi Ilmu
Sejarah
persinggungan antara peradaban Islam dan Kristen Eropa abad pertengahan
merupakan fenomena yang menarik untuk dipelajari. Menarik karena pada periode
inilah terjadi pertukaran ilmu yang intens antara keduanya.
Ide-ide
para filsuf muslim diadopsi ke Eropa memang mendorong tumbuhnya pola berpikir
rasional, terutama Ibnu Rusyd. Kuatnya pengaruh pemikiran Ibnu Rusyd bahkan
menimbulkan golongan yang dinamakan Averroisme (al-Rusydiyyah). Walaupun pada
periode selanjutnya, gagasan-gagasan yang diusung Averroisme tidak selalu
mencerminkan pendapat Ibnu Rusyd, tapi pengaruh Ibnu Rusyd masih sangat kental.
Dalam menanggapi filsafat Ibnu Rusyd, para pendeta dan filsuf Kristen tidak
serta-merta menerimanya. Ada bagian-bagian tertentu yang ditolak dan dimodifikasi.
Beberapa
abad kemudian, tepatnya pada akhir abad keduabelas, Eropa kembali memalingkan
perhatiannya kepada filsafat Aristoteles. Namun kali ini, filsafat tersebut
tidak disambut dengan hangat. Karena pada pandangan Aristoteles mengenai alam
dan metafisika mengandung beberapa poin yang bertentangan dengan Bibel dan
pendapat Gereja. Sampai abad keduabelas, Gereja menganut pandangan St.
Agustinus dalam masalah epistemologis. Sebabnya, St. Agustinus dianggap dapat
“mendamaikan” antara dogma Kristiani dan rasionalitas filsafat.
Diantara
ide yang diusung St. Agustinus adalah “aku beriman untuk berpikir” (Credo ut
intelligas). Dengan kata lain, dalam usahanya untuk memasukkan unsur teologis
Kristen dalam epistemologi, St. Agustinus mendahulukan iman daripada akal. Artinya,
akal baru difungsikan setelah iman untuk memahami apa yang ia imani. Kedudukan
iman lebih tinggi dari akal, dan konsekuensinya, apa yang dihasilkan akal tidak
boleh bertentangan dengan apa yang dinyatakan oleh iman (baik melalui Bibel
ataupun Gereja).
Sekilas
pendapat Agustine berhasil memadukan antara akal dan iman, tapi sebenarnya iman
yang dimaksud oleh Agustine masih bersifat dogmatis. Karena iman tersebut tidak
dilandasi oleh keyakinan-keyakinan yang bersifat logis. Tapi berkat ini pula, konsep-konsep
dasar dalam Kristen seperti trinitas dan penebusan dosa dapat “diamankan” dari
jangkauan akal. Tak heran apabila kemudian konsep ini dipertahankan Gereja
hingga sekitar delapan abad.
Yang
perlu diperhatikan dalam penolakan di atas adalah dalam menghadapi tantangan
filsafat di masanya, Kristen berusaha untuk menyerap unsur-unsur filsafat dari
Yunani sembari memodifikasinya agar tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran
Bibel. Dimulai dari kritik St. Agustinus terhadap konsep alam Aristoteles, hingga
penolakan Thomas Aquinas terhadap Averroisme.
Kegagalan
Kristen dalam naturalisasi filsafat Yunani mengakibatkan dogma kristen
berhadap-hadapan dengan akal secara diametral. Konsekuensinya, umat Kristen
kemudian dihadapkan pada dua opsi yang saling bertolak-belakang, agama atau
ilmu, bibel atau akal. Walaupun belakangan, ditempuh jalan keluar berupa
pemisahan agama dari unsur-unsur keduniaan (mis. sains, ilmu, politik, ekonomi)
dan penyingkiran agama dari ruang publik (sekularisasi).
Akhirnya,
proses naturalisasi atau penyesuaian unsur-unsur yang diserap dari peradaban
lain merupakan mekanisme yang wajar dan lumrah bagi setiap peradaban untuk
mempertahankan identitasnya. Tak terkecuali peradaban Islam sekarang di tengah
hegemoni pandangan hidup barat yang dihembuskan lewat globalisasi.[4]
2. Sekularisasi Ilmu
Istilah
Sekularisasi berakar dari kata sekuler yang berasal dari bahasa latin Seaculum
artinya abad (age, century), yang mengandung arti bersifat dunia, atau
berkenaan dengan kehidupan dunia sekarang. Dalam bahasa Inggris kata secular
berarti hal yang bersifat duniawi, fana, temporal, tidak bersifat spiritual,
abadi dan sakral serta kehidupan di luar biara.[5]
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sekularisasi diartikan segala hal-hal yang
membawa ke arah kehidupan yang tidak didasarkan pada ajaran agama.[6]
Makna
Sekularisasi itu sendiri, menurut Norcholis Madjid mengartikannya sebagai
proses penduniawian atau proses melepaskan hidup duniawi dari kontrol agama.[7]
Dari
berbagai pengertian yang dikemukakan di atas
menunjukkan bahwa makna Sekularisasi Ilmu Pengetahuan adalah suatu proses
pelepasan atau pembebasan ilmu dari setiap pengaruh agama sebagai landasan
berpikir.
Sekularisasi
berasal dari dunia Barat Kristiani, yang muncul dengan diserukan oleh para pemikir
bebas agar mereka terlepas dari ikatan gereja, para pemuka agama dan
pendetanya. Pada awalnya agama Kristiani lahir di dunia Timur, namun warna
Kristiani amat tebal menyelimuti kehidupan dunia Barat. Keadaan ini sejak
kekaisaran Romawi Konstantin yang agung (280-337) yang melegalisasikan
dalam wilayah imperiumnya serta
mendorong penyebarannya merata ke benua Eropa, terutama di abad pertengahan
warna Kristiani meyelimuti kehidupan Barat baik politik, ekonomi, sosial,
budaya, serta ilmu pengetahuan.[8]
Untuk
lebih jauh mengetahui sejarah muncul dan berkembangnya sekularisasi, maka kita
akan memulai melihat sejarah
perkembangan filsafat Barat anatara abad peretengahan sampai pada abad modern,
di mana pada awal abad pertengahan ini, disebut sebagai “abad gelap”. Pendapat
ini didasarkan pada pendekatan sejarah gereja. Pada masa ini juga dapat dikatakan sebagai suatu
masa yang penuh dengan upaya menggiring manusia kedalam kehidupan dan sistem
kepercayaan yang picik dan fanatik, dengan menerima ajaran gereja secara
membabi buta. Karena itu perkembangan ilmu pengetahuan terhambat.
Pada
abad pertengahan ini tindakan gereja sangat membelenggu kehidupan manusia,
sehingga manusia tidak lagi memiliki kebebasan untuk mengembangkan potensi yang
terdapat dalam dirinya. Para ahli pikir pada saat itu tidak memiliki kebebasan
berpikir. Apabila terdapat pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan ajaran
gereja, orang yang mengemukakan akan mendapat hukuman berat. Pihak geraja melarang diadakannya
penyelidikan-penyelidikan berdasarkan rasio terhadap agama. Karena itu, kajian
terhadap agama atau teologi yang tidak berdasarkan ketentuan gereja akan
mendapatkan larangan yang ketat, yang berhak mengadakan penyelidikan terhadap
agama hanyalah pihak gereja.[9]
Filsafat
abad pertengahan ini lazim disebut Filsafat Scholastik, diambil dari
kata Schuler yang berarti ajaran atau sekolahan kemudian kata scholastik
menjadi istilah bagi filsafat pada abad ke-9 sampai dengan abad ke-15 yang
mempuyai corak khusus yaitu filsafat yang dipengaruhi oleh agama.[10] Filsafat
modern yang kelahirannya didahului oleh suatu periode yang disebut dengan renaissance
didalamanya mengandung dua hal yang sangat penting, Pertama, semakin
berkurangnya kekuasaan gereja. Kedua,
semakin bertambahnya kekuasaan ilmu pengetahuan. Pengaruh dari gerakan renaissance
itu telah menyebabkan peradaban dan kebudayaan barat modern berkembang pesat,
dan semakin bebas dari pengaruh otoritas dogma-dogma geraja. Terbebasnya
manusia Barat dari otoritas gereja berdampak semakin dipercepatnya perkembangan
filsafat dan ilmu pengetahuan. Sejak itu kebenaran filsafat dan ilmu
pengetahuan didasarkan atas kepercayaan dan kapasistas intelektual (sikap
ilmiah) yang kenbenarannya dapat dibuktikan berdasarkan metode, perkiraan dan
pemikiran yang dapat diuji. Kebenaran yang dihasilkan tidak bersifat tetap, tetapi
dapat berubah dan dikoreksi sepanjang waktu.[11] Dengan
terlepasnya para ahli pikir dari tirani gereja, melahirkan sekularisasi di
Barat. Pertentangan ini pun berakhir dengan membagi ”hidup” menjadi dua bagian,
sebagian diserahkan kepada agama sebagian lagi diserahkan ke pemerintah
(penguasa). Artinya masing-masing memiliki tugas sendiri-sendiri. Bahwa Kaisar
mengatur kehidupan dunia, masyarakat, pemerintahan. Sedangkan tugas Allah yang
diwakili gereja berada pada bagian agama atau rohani, sehingga tidak ada
intervensi antar keduanya.
3. Islamisasi Ilmu
Kata Islamisasi berasal dari Bahasa Inggris Islamization, yang
berarti ‘peng-Islam-an’. Dalam kamus Webster, Islamisasi bermakna to bring
within Islam. Secara umum, metode
yang digunakan dalam proses Islamisasi Ilmu Pengetahuan adalah dengan
menggabungkan atau lebih tepatnya menggunakan secara bersama-sama antara metode
Islam (doktriner) dengan metode ilmiah (yang besifat umum dan cenderung positivistik).[12]
Dalam konteks Islamisasi Ilmu Pengetahuan, yang harus mengaitkan
diri dengan prinsip-prinsip Islam (ajaran tauhid) adalah pencari ilmunya, bukan
ilmu pengetahuanya, karena yang menghayati ilmu pengetahuan adalah manusia. Penghayatan
dari manusia inilah yang menentukan apakah apakah ilmunya berorientasi Islam
atau tidak.[13]
Dengan demikian peran dari seorang intelektual dalam hal ini sangat diperlukan,
demi menuntun ilmu pengetahuan ke arah yang jelas.
Al-Faruqi telah merumuskan bahwa
konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan mempunyai 5 sasaran, yaitu:
a.
Menguasai
disiplin-disiplin ilmu modern
b.
Menguasai
khazanah Islam
c.
Menentukan
relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern
d.
Mencari
cara-cara untuk melakukan sistesis kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu
pengetahuan modern
e.
Mengarahkan
pemikiran Islam ke lintasan-lintasan yang mengarah pad pemenuhan pola rancangan
Allah.[14]
Kelima
sasaran tersebut dapat di tempuh dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a.
Penguasaan
terhadap disiplin-disiplin ilmu modern
b.
Survei
kedisiplinan
c.
Penguasaan
terhadap khazanah Islam
d.
Penguasaan
terhadap khazanah Islam untuk tahap analissi
e.
Penentuan
relevansi spesifik untuk setiap disiplin Ilmu
f.
Penilaian
kritis terhadap disiplin Ilmu modern
g.
Penilaian
kritis terhadap khazanah Islam
h.
Analisis
kreatif dan sintesis
i.
Merumuskan
kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka Islam
j.
Menyebarkan
ilmu-ilmu yang telah diIslamisasikan.[15]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Naturalisasi Ilmu adalah proses peng-adaptasi-an ilmu dari luar
untuk disesuaikan dengan konsep atau standar ilmu pengetahuan yang dianut dalam
suatu kelompok masyarakat. Proses penyesuaian ini berlangsung terus menerus seiring
dengan perkembangan zaman. Jika suatu disiplin ilmu dinaturalisasikan ke dalam
agama Kristen, maka proses tersebut dinamakan dengan Kristenisasi, jika
proses ini dilakukan oleh umat Islam disebut dengan Islamisasi dan ketika
masyarakat modern—khususnya masyarakat dibelahan dunia Barat pada era
modern—melakukan proses ini dikenal dengan istilah Sekularisasi.
Kristenisasi merupakan upaya yang dilakukan oleh para intelektual
Kristen untuk mempertahankan kemuntlakan gereja dari serangan pola pikir bebas
umat kristiani yang meragukan keberadaan gereja
Sekularisasi ilmu pengetahuan memiliki arti suatu proses pelepasan
atau pembebasan ilmu dari setiap pengaruh agama sebagai landasan berpikir. Dengan
kata lain, Sekularisasi merupakan buah dari hasil pemberontakan ahli pikir
terhadap tindakan gereja yang sangat
membelenggu kehidupan manusia, sehingga manusia tidak lagi memiliki kebebasan
untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya. Jika ditilik dari segi
epistemologi, sekularisasi ilmu pengetahuan terjadi berada pada tataran atau
ranah rasionalisme dan empirisme, di mana memandang ilmu pengetahuan
berdasarkdan pengamatan empiris dan menelaah secara rasio bukan keyakinan iman sebagai penilai.
Sementara Islamisasi muncul sebagai respons terhadap sekularisasi
ilmu. Ajaran Islam yang mendukung keberadaan dunia akhirat, tentu saja akan
bereaksi jika teori yang berkembang dalam ilmu pengetahuan hanya bersifat
duniawi (positivistik) saja. dilakukan dengan maksud agar ilmu pengetahuan yang
berkembang dapat berjalan beriringan dengan konsep tauhid.
Islamisasi Ilmu pengetahuan berjuang untuk mewujudkan kemajuan
peradaban yang Islami, karena tidak ada pihak manapun menghendaki terpuruknya
kondisi umat Islam di tengah-tengah akselerasi perkembangan kemajuan IPTEK.
Dengan usaha gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan ini diharapkan problem
dikotomi keilmuan antara ilmu agama dan ilmu modern dapat dipadukan dan dapat
diberikan secara integral dalam proses pendidikan.[16]
Daftar Pustaka
Achmadi, Asmoro, Filsafat
Umum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Al-Faruqi,
Ismail Raji Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin, Bandung:
Pustaka, 1984.
Kartanegara,
Mulyadi, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, Bandung:
Mizan, 2003.
________________,
Panorama Filsafat Islam, Bandung: Mizan, 2002.
Mustansyir, Rizal,
dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Natta, Abuddin,
dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. 2005
Nasution, Harun,
Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan, 1998.
Nihaya, Filsafat Umum: Dari Yunani Sampai Modern,
(Makassar: Berkah Utami, 1999.
Praja, Juhaya S,.
Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Bogor:Kencana, 2003.
Syadali, Ahmad,
dan Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Tim
penyusun Kamus Pustaka Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 2002.
Zainuddin, Paradigma
Pendidikan Terpadu Menyiapkan Generasi Ulul Albab. Malang: UIN Press, 2008.
http://nggapriel.blogspot.com/2010/09/proses-naturalisasi-dalamsejarah.html#.
UWM g SKL-E1M: Diakses tanggal 08 April 2013
[1] Mulyadi Kartanegara,
Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan,
2003), hal. 111
[2] Mulyadi
kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar..., hal. 121
[3] Mulyadhi
Kartanegara, Panorama Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hal.
85-86.
[4] http://nggapriel.blogspot.com/2010/09/proses-naturalisasi-dalam-sejarah.html#.UWMgS KL-E1M: Diakses
tanggal 08 April 2013
[5] Juhaya S.
Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, (Bogor:Kencana, 2003), hal.
188.
[6] Tim penyusun Kamus Pustaka Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal. 1015.
[7] Harun
Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1998),
hal.188.
[8] Nihaya, Filsafat Umum: Dari Yunani Sampai Modern,
(Makassar: Berkah Utami, 1999), hal. 43.
[9] Asmoro
Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 67
[10] Ahmad Syadali
dan Mudzakir, Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hal. 81.
[11] Rizal
Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008), hal. 71-72
[12] Abuddin Natta,
dkk Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2005), hal. 165
[13] Abuddin Natta,
dkk, Integrasi Ilmu Agama..., hal. 141
[14] Ismail Raji
Al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung:
Pustaka, 1984), hal.98
[15] Ismail Raji
Al-Faruqi, Islamisasi ...., hal. 115
[16] Zainuddin, Paradigma
Pendidikan Terpadu Menyiapkan Generasi Ulul Albab. (Malang: UIN Press,
2008), hal. 74.