Kamis, 20 Juni 2013

Naturalisasi Ilmu


BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
“Lain lubuk lain ikannya”, merupakan sebuah peribahasa yang sering digunakan untuk mendeskripsikan akan adanya perbedaan atas dasar daerah atau wilayah yang dihuni. Kenyataan akan ‘perbedaan’ tersebut—berdasarkan konsep biologi—mengharuskan setiap makhluk hidup untuk mampu beradaptasi dengan habitat barunya ketika tidak berada di tempat asalnya. Tingkat kemampuan dalam usaha untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru tentu akan menjadi faktor yang sangat vital bagi keberlangsungan hidupnya kelak. Jika ia mampu beradaptasi dengan baik, tentu akan berkembang dengan baik pula, bahkan bisa berada satu level lebih tinggi dibandingkan ketika hidup ditempat asalnya. Sebaliknya, jika ia gagal atau tidak mampu beradaptasi dengan habitat barunya tersebut, maka ia akan tertindas hingga tidak mampu untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Hal ini merupakan konsep alami yang akan berlangsung terus-menerus dengan merujuk pada situasi dan kondisi yang berlaku pada zamannya.
Narasi diatas ternyata tak berbeda jauh dengan konsep yang berlaku dalam sejarah perjalanan ilmu pengetahuan. Hanya saja dalam ranah ilmu lebih kompleks lagi. ‘Perbedaan’nya tidak saja terletak pada faktor lingkungan, tapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti sosial budaya, agama atau ideologi yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat.
Pada saat ilmu yang berasal dari daerah tertentu masuk ke daerah lain, maka disitu perlu adanya proses adaptasi agar sesuai dengan konsep ilmu yang lebih dulu berkembang di daerah tersebut. Tanpa proses ini, maka ilmu baru tersebut tidak akan mampu berkembang atau bahkan tidak hidup sama sekali. Sama dengan makhluk hidup yang tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya, sehingga tidak sanggup mempertahankan kelangsungan hidupnya. Kemudian, dalam perjalanan dimensi historis ilmu pengetahuan, proses penyesuaian diri atau adaptasi ini dikenal dengan istilah Naturalisasi Ilmu, yang akan dibahas pada Bab selanjutnya.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Naturalisasi Ilmu
            Naturalisasi ilmu menurut Prof. Sabra di pakai untuk merujuk pada proses alkulturasi dari sebuah ilmu yang datang dari luar terhadap budaya yang berlaku di ranah baru. Melalui proses inilah ilmu tersebut kemudian menjadi terasimilasi secara penuh pada tuntutan-tuntutan kebudayaan negeri tersebut, termasuk agamanya. Oleh karena itu, Naturalisasi bisa dipakai dalam arti ‘mempribumikan’ ilmu asing sehingga cocok dengan nilai-nilai budaya atau pandangan keagamaan sebuah negeri atau peradaban.[1]
            Mulyadi Kartanegara sendiri mendefinisikan istilah naturalisasi ilmu sebagai proses adaptasi dan akulturasi terhadap nilai-nilai religius dan budaya yang berkembang disana.[2] Dengan kata lain, naturalisasi ilmu merupakan langkah-langkah yang harus diambil dalam rangka menjadikan ilmu sinkron dengan pola pikir yang berkembang dalam suatu kelompok masyarakat.
B.     Dimensi Historis Naturalisasi Ilmu
            Perjalanan ilmu dalam usahanya untuk beradaptasi berdasarkan ideologi yang berlaku di suatu wilayah, telah berhasil dinaturalisasikan kedalam beberapa khazanah keilmuan. Seperti yang dinyatakan oleh Mulyadhi Kartanegara, seorang Doktor filsafat dari Chicago University, tentang ketidaknetralan ilmu. Menurutnya, salah jika ada orang yang berasumsi bahwa ilmu bebas nilai. Ilmu di setiap peradaban selalu mengalami naturalisasi. Seperti yang terjadi pada masa kejayaan Yunani, di mana ilmu dan filsafat mengalami helenisasi (peng-Yunani-an), lalu Kristenisasi pada masa Romawi, Islamisasi pada masa-masa kejayaan umat Islam, dan kemudian Sekularisasi setelah masa Renaisans. Sebagai pembuktiannya, kenapa para ilmuwan besar seperti Laplace, Darwin, dan Freud, dengan pengetahuan mereka yang mendalam tentang fenomena alam, justru menolak keberadaan Tuhan. Padahal menurut pengalaman Mulyadhi, penemuan-penemuan ilmiah tersebut justru memperkuat keyakinan akan keberadaan dan kebijaksanaan Tuhan.[3]
            Berikut akan dijelaskan sejarah perjalanan naturalisasi ilmu yang telah berhasil mewarnai khazanah keilmuan dari Kristenisasi, Sekulerisasi hingga Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
1.      Kristenisasi Ilmu
Sejarah persinggungan antara peradaban Islam dan Kristen Eropa abad pertengahan merupakan fenomena yang menarik untuk dipelajari. Menarik karena pada periode inilah terjadi pertukaran ilmu yang intens antara keduanya.
Ide-ide para filsuf muslim diadopsi ke Eropa memang mendorong tumbuhnya pola berpikir rasional, terutama Ibnu Rusyd. Kuatnya pengaruh pemikiran Ibnu Rusyd bahkan menimbulkan golongan yang dinamakan Averroisme (al-Rusydiyyah). Walaupun pada periode selanjutnya, gagasan-gagasan yang diusung Averroisme tidak selalu mencerminkan pendapat Ibnu Rusyd, tapi pengaruh Ibnu Rusyd masih sangat kental. Dalam menanggapi filsafat Ibnu Rusyd, para pendeta dan filsuf Kristen tidak serta-merta menerimanya. Ada bagian-bagian tertentu yang ditolak dan dimodifikasi.
Beberapa abad kemudian, tepatnya pada akhir abad keduabelas, Eropa kembali memalingkan perhatiannya kepada filsafat Aristoteles. Namun kali ini, filsafat tersebut tidak disambut dengan hangat. Karena pada pandangan Aristoteles mengenai alam dan metafisika mengandung beberapa poin yang bertentangan dengan Bibel dan pendapat Gereja. Sampai abad keduabelas, Gereja menganut pandangan St. Agustinus dalam masalah epistemologis. Sebabnya, St. Agustinus dianggap dapat “mendamaikan” antara dogma Kristiani dan rasionalitas filsafat.
Diantara ide yang diusung St. Agustinus adalah “aku beriman untuk berpikir” (Credo ut intelligas). Dengan kata lain, dalam usahanya untuk memasukkan unsur teologis Kristen dalam epistemologi, St. Agustinus mendahulukan iman daripada akal. Artinya, akal baru difungsikan setelah iman untuk memahami apa yang ia imani. Kedudukan iman lebih tinggi dari akal, dan konsekuensinya, apa yang dihasilkan akal tidak boleh bertentangan dengan apa yang dinyatakan oleh iman (baik melalui Bibel ataupun Gereja).
Sekilas pendapat Agustine berhasil memadukan antara akal dan iman, tapi sebenarnya iman yang dimaksud oleh Agustine masih bersifat dogmatis. Karena iman tersebut tidak dilandasi oleh keyakinan-keyakinan yang bersifat logis. Tapi berkat ini pula, konsep-konsep dasar dalam Kristen seperti trinitas dan penebusan dosa dapat “diamankan” dari jangkauan akal. Tak heran apabila kemudian konsep ini dipertahankan Gereja hingga sekitar delapan abad.
Yang perlu diperhatikan dalam penolakan di atas adalah dalam menghadapi tantangan filsafat di masanya, Kristen berusaha untuk menyerap unsur-unsur filsafat dari Yunani sembari memodifikasinya agar tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Bibel. Dimulai dari kritik St. Agustinus terhadap konsep alam Aristoteles, hingga penolakan Thomas Aquinas terhadap Averroisme.
Kegagalan Kristen dalam naturalisasi filsafat Yunani mengakibatkan dogma kristen berhadap-hadapan dengan akal secara diametral. Konsekuensinya, umat Kristen kemudian dihadapkan pada dua opsi yang saling bertolak-belakang, agama atau ilmu, bibel atau akal. Walaupun belakangan, ditempuh jalan keluar berupa pemisahan agama dari unsur-unsur keduniaan (mis. sains, ilmu, politik, ekonomi) dan penyingkiran agama dari ruang publik (sekularisasi).
Akhirnya, proses naturalisasi atau penyesuaian unsur-unsur yang diserap dari peradaban lain merupakan mekanisme yang wajar dan lumrah bagi setiap peradaban untuk mempertahankan identitasnya. Tak terkecuali peradaban Islam sekarang di tengah hegemoni pandangan hidup barat yang dihembuskan lewat globalisasi.[4]
2.      Sekularisasi Ilmu
Istilah Sekularisasi berakar dari kata sekuler yang berasal dari bahasa latin Seaculum artinya abad (age, century), yang mengandung arti bersifat dunia, atau berkenaan dengan kehidupan dunia sekarang. Dalam bahasa Inggris kata secular berarti hal yang bersifat duniawi, fana, temporal, tidak bersifat spiritual, abadi dan sakral serta kehidupan di luar biara.[5]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sekularisasi diartikan segala hal-hal yang membawa ke arah kehidupan yang tidak didasarkan pada ajaran agama.[6]
Makna Sekularisasi itu sendiri, menurut Norcholis Madjid mengartikannya sebagai proses penduniawian atau proses melepaskan hidup duniawi dari kontrol agama.[7]
Dari berbagai pengertian yang dikemukakan  di atas menunjukkan bahwa makna Sekularisasi Ilmu Pengetahuan adalah suatu proses pelepasan atau pembebasan ilmu dari setiap pengaruh agama sebagai landasan berpikir.
Sekularisasi berasal dari dunia Barat Kristiani, yang muncul dengan diserukan oleh para pemikir bebas agar mereka terlepas dari ikatan gereja, para pemuka agama dan pendetanya. Pada awalnya agama Kristiani lahir di dunia Timur, namun warna Kristiani amat tebal menyelimuti kehidupan dunia Barat. Keadaan ini sejak kekaisaran Romawi Konstantin yang agung (280-337) yang melegalisasikan dalam  wilayah imperiumnya serta mendorong penyebarannya merata ke benua Eropa, terutama di abad pertengahan warna Kristiani meyelimuti kehidupan Barat baik politik, ekonomi, sosial, budaya, serta ilmu pengetahuan.[8]
Untuk lebih jauh mengetahui sejarah muncul dan berkembangnya sekularisasi, maka kita akan memulai  melihat sejarah perkembangan filsafat Barat anatara abad peretengahan sampai pada abad modern, di mana pada awal abad pertengahan ini, disebut sebagai “abad gelap”. Pendapat ini didasarkan pada pendekatan sejarah gereja. Pada  masa ini juga dapat dikatakan sebagai suatu masa yang penuh dengan upaya menggiring manusia kedalam kehidupan dan sistem kepercayaan yang picik dan fanatik, dengan menerima ajaran gereja secara membabi buta. Karena itu perkembangan ilmu pengetahuan terhambat.
Pada abad  pertengahan ini tindakan  gereja sangat membelenggu kehidupan manusia, sehingga manusia tidak lagi memiliki kebebasan untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya. Para ahli pikir pada saat itu tidak memiliki kebebasan berpikir. Apabila terdapat pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan ajaran gereja, orang yang mengemukakan akan mendapat hukuman berat.  Pihak geraja melarang diadakannya penyelidikan-penyelidikan berdasarkan rasio terhadap agama. Karena itu, kajian terhadap agama atau teologi yang tidak berdasarkan ketentuan gereja akan mendapatkan larangan yang ketat, yang berhak mengadakan penyelidikan terhadap agama hanyalah pihak gereja.[9]
Filsafat abad pertengahan ini lazim disebut Filsafat Scholastik, diambil dari kata Schuler yang berarti ajaran atau sekolahan kemudian kata scholastik menjadi istilah bagi filsafat pada abad ke-9 sampai dengan abad ke-15 yang mempuyai corak khusus yaitu filsafat yang dipengaruhi oleh agama.[10] Filsafat modern yang kelahirannya didahului oleh suatu periode yang disebut dengan renaissance didalamanya mengandung dua hal yang sangat penting, Pertama, semakin berkurangnya kekuasaan gereja. Kedua,  semakin bertambahnya kekuasaan ilmu pengetahuan. Pengaruh dari gerakan renaissance itu telah menyebabkan peradaban dan kebudayaan barat modern berkembang pesat, dan semakin bebas dari pengaruh otoritas dogma-dogma geraja. Terbebasnya manusia Barat dari otoritas gereja berdampak semakin dipercepatnya perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Sejak itu kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan didasarkan atas kepercayaan dan kapasistas intelektual (sikap ilmiah) yang kenbenarannya dapat dibuktikan berdasarkan metode, perkiraan dan pemikiran yang dapat diuji. Kebenaran yang dihasilkan tidak bersifat tetap, tetapi dapat berubah dan dikoreksi sepanjang waktu.[11] Dengan terlepasnya para ahli pikir dari tirani gereja, melahirkan sekularisasi di Barat. Pertentangan ini pun berakhir dengan membagi ”hidup” menjadi dua bagian, sebagian diserahkan kepada agama sebagian lagi diserahkan ke pemerintah (penguasa). Artinya masing-masing memiliki tugas sendiri-sendiri. Bahwa Kaisar mengatur kehidupan dunia, masyarakat, pemerintahan. Sedangkan tugas Allah yang diwakili gereja berada pada bagian agama atau rohani, sehingga tidak ada intervensi antar keduanya.
3.      Islamisasi Ilmu
Kata Islamisasi berasal dari Bahasa Inggris Islamization, yang berarti ‘peng-Islam-an’. Dalam kamus Webster, Islamisasi bermakna to bring within Islam.  Secara umum, metode yang digunakan dalam proses Islamisasi Ilmu Pengetahuan adalah dengan menggabungkan atau lebih tepatnya menggunakan secara bersama-sama antara metode Islam (doktriner) dengan metode ilmiah (yang besifat umum dan cenderung positivistik).[12]
Dalam konteks Islamisasi Ilmu Pengetahuan, yang harus mengaitkan diri dengan prinsip-prinsip Islam (ajaran tauhid) adalah pencari ilmunya, bukan ilmu pengetahuanya, karena yang menghayati ilmu pengetahuan adalah manusia. Penghayatan dari manusia inilah yang menentukan apakah apakah ilmunya berorientasi Islam atau tidak.[13] Dengan demikian peran dari seorang intelektual dalam hal ini sangat diperlukan, demi menuntun ilmu pengetahuan ke arah yang jelas.
            Al-Faruqi telah merumuskan bahwa konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan mempunyai 5 sasaran, yaitu:
a.       Menguasai disiplin-disiplin ilmu modern
b.      Menguasai khazanah Islam
c.       Menentukan relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern
d.      Mencari cara-cara untuk melakukan sistesis kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu pengetahuan modern
e.       Mengarahkan pemikiran Islam ke lintasan-lintasan yang mengarah pad pemenuhan pola rancangan Allah.[14]
Kelima sasaran tersebut dapat di tempuh dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a.       Penguasaan terhadap disiplin-disiplin ilmu modern
b.      Survei kedisiplinan
c.       Penguasaan terhadap khazanah Islam
d.      Penguasaan terhadap khazanah Islam untuk tahap analissi
e.       Penentuan relevansi spesifik untuk setiap disiplin Ilmu
f.       Penilaian kritis terhadap disiplin Ilmu modern
g.      Penilaian kritis terhadap khazanah Islam
h.      Analisis kreatif dan sintesis
i.        Merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka Islam
j.        Menyebarkan ilmu-ilmu yang telah diIslamisasikan.[15]

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Naturalisasi Ilmu adalah proses peng-adaptasi-an ilmu dari luar untuk disesuaikan dengan konsep atau standar ilmu pengetahuan yang dianut dalam suatu kelompok masyarakat. Proses penyesuaian ini berlangsung terus menerus seiring dengan perkembangan zaman. Jika suatu disiplin ilmu dinaturalisasikan ke dalam agama Kristen, maka proses tersebut dinamakan dengan Kristenisasi, jika proses ini dilakukan oleh umat Islam disebut dengan Islamisasi dan ketika masyarakat modern—khususnya masyarakat dibelahan dunia Barat pada era modern—melakukan proses ini dikenal dengan istilah Sekularisasi.
Kristenisasi merupakan upaya yang dilakukan oleh para intelektual Kristen untuk mempertahankan kemuntlakan gereja dari serangan pola pikir bebas umat kristiani yang meragukan keberadaan gereja
Sekularisasi ilmu pengetahuan memiliki arti suatu proses pelepasan atau pembebasan ilmu dari setiap pengaruh agama sebagai landasan berpikir. Dengan kata lain, Sekularisasi merupakan buah dari hasil pemberontakan ahli pikir terhadap tindakan  gereja yang sangat membelenggu kehidupan manusia, sehingga manusia tidak lagi memiliki kebebasan untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya. Jika ditilik dari segi epistemologi, sekularisasi ilmu pengetahuan terjadi berada pada tataran atau ranah rasionalisme dan empirisme, di mana memandang ilmu pengetahuan berdasarkdan pengamatan empiris dan menelaah secara rasio bukan keyakinan  iman sebagai penilai.
Sementara Islamisasi muncul sebagai respons terhadap sekularisasi ilmu. Ajaran Islam yang mendukung keberadaan dunia akhirat, tentu saja akan bereaksi jika teori yang berkembang dalam ilmu pengetahuan hanya bersifat duniawi (positivistik) saja. dilakukan dengan maksud agar ilmu pengetahuan yang berkembang dapat berjalan beriringan dengan konsep tauhid.
Islamisasi Ilmu pengetahuan berjuang untuk mewujudkan kemajuan peradaban yang Islami, karena tidak ada pihak manapun menghendaki terpuruknya kondisi umat Islam di tengah-tengah akselerasi perkembangan kemajuan IPTEK. Dengan usaha gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan ini diharapkan problem dikotomi keilmuan antara ilmu agama dan ilmu modern dapat dipadukan dan dapat diberikan secara integral dalam proses pendidikan.[16]







Daftar Pustaka

Achmadi,  Asmoro, Filsafat Umum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Al-Faruqi, Ismail Raji Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1984.
Kartanegara, Mulyadi, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, Bandung: Mizan, 2003.
________________, Panorama Filsafat Islam, Bandung: Mizan, 2002.
Mustansyir, Rizal, dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Natta, Abuddin, dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2005
Nasution, Harun, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan, 1998.
Nihaya,  Filsafat Umum: Dari Yunani Sampai Modern, (Makassar: Berkah Utami, 1999.
Praja, Juhaya S,. Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Bogor:Kencana, 2003.
Syadali, Ahmad, dan Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Tim penyusun Kamus Pustaka Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu Menyiapkan Generasi Ulul Albab. Malang: UIN Press, 2008.



[1] Mulyadi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003), hal. 111
[2] Mulyadi kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar..., hal. 121
[3] Mulyadhi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 85-86.
[5] Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, (Bogor:Kencana, 2003), hal. 188.
[6] Tim penyusun Kamus Pustaka Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal. 1015.
[7] Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1998), hal.188.
[8] Nihaya,  Filsafat Umum: Dari Yunani Sampai Modern, (Makassar: Berkah Utami, 1999),     hal. 43.
[9] Asmoro Achmadi,  Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 67
[10] Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2004),  hal. 81.
[11] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 71-72
[12] Abuddin Natta, dkk Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 165
[13] Abuddin Natta, dkk, Integrasi Ilmu Agama..., hal. 141
[14] Ismail Raji Al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1984), hal.98
[15] Ismail Raji Al-Faruqi, Islamisasi ...., hal. 115
[16] Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu Menyiapkan Generasi Ulul Albab. (Malang: UIN Press, 2008), hal. 74.