Senin, 21 Januari 2013

madinatul fadhilah Al-Farabi


BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sebagai pembangun sistem filsafat, Al-Farabi telah membaktikan diri untuk berkontemplasi dan menjauhkan diri dari dunia politik walaupun menulis karya-karya politik yang monumental. Ia meninggalkan risalah penting. Filsafatnya menjadi acuan pemikiran ilmiah bagi dunia Barat dan Timur. Lama sepeninggalannya Al-Farabi masih tetap hidup di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan politik Islam.
Meski tidak terlibat langsung dalam dunia perpolitikan, kontribusi pemikirannya dengan menulis buku politik untuk merekonstruksi sistem politik,  cukup berpengaruh bagi pembaharuan sistem politik dalam kehidupan ketatanegaraan. Pembaruan itu menurutnya hanya dapat berhasil bila berakar kokoh dalam fondasi filsafat.
Julukan sebagai Guru Kedua (muallim tsani), yang disematkan kepada Al-Farabi membuktikan bahwa kapasitas keilmuan yang dimilikinya sungguh luar biasa. Kontribusinya bagi perkembangan berbagai bidang keilmuan membuat ia masih dikenang hingga sekarang, baik di dunia Islam sendiri mau di Barat. Teori-teori yang ia kembangkan menjadi modal bagi perkembangan peradaban pada masa selanjutnya.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Singkat Al-Farabi
Ia adalah Abu Nasr Muhammad al-Farabi lahir di Wasij, suatu desa di Farab (Transoxania) tepatnya Turkistan pada tahun 870 M.[1] Al-Farabi dalam sumber-sumber Islam lebih akrab dikenal sebagai Abu Nasr.[2] Ia berasal dari keturunan Persia. Ayahnya Muhammad Auzlagh adalah seorang Panglima Perang Persia yang kemudiaan menetap di Damsyik dan Ibunya berasal dari Turki. Oleh karena itu ia biasa disebut orang Persia atau orang Turki.[3]
Kendatipun Al Farabi adalah seorang tokoh terkemuka dikalangan para filosof Muslim, namun informasi tentang dirinya sangatlah terbatas. Ia tidak merekam liku-liku kehidupannya begitu juga para muridnya. Menurut beberapa Literatur, Al-Farabi dalam usia 40 tahun meninggalkan negerinya untuk menuju ke Baghdad, pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan pada masanya untuk belajar antara lain pada Abu Bisyr bin Mattius seorang kristen, beliau belajar tentang ilmu logika dan filsafat serta belajar Kaidah-kaidah bahasa Arab kepada Abu Bakar Al Saraj.[4] Selama berada di Baghdad ia memusatkan perhatiannya kepada ilmu logika. Nampaknya pada waktu pertama datang di Baghdad hanya sedikit saja bahasa Arab yang telah dikuasainya. la sendiri mengatakan bahwa belajar ilmu nahwu (tata bahasa Arab) pada Abu Bakar As-Saraj sebab imbalan pelajaran logika yang diberikan oleh Al-Farabi kepadanya.[5]
B.     Negara Utama (Madinatul Fadhilah) menurut Al-Farabi
1.      Asal Usul Negara
            Kehidupan dalam Islam berdimensi rahmatan lil alamin. Untuk mencapai tingkat yang mulia itu, Tuhan memberi manusia beragam aturan. Aturan itu bersifat vertikal dan horizontal. Mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan manusia. Dalam hubungannya dengan sesama manusia, Tuhan telah memberikan kaidah-kaidah berkenaan dengan hak dan kewajiban seseorang terhadap masyarakat, dan hak serta kewajiban masyarakat terhadap diri seseorang. Inilah yang disebut dengan urusan kenegaraan.[6]
            Menurut Al-Farabi, sifat keistimewaan manusia yang terkenal suka bergaul (homo socious) adalah pendorong yang pertarna terjadinya rnasyarakat. Manusia berkurnpul satu lama lain adalah untuk saling mernenuhi kebutuhan hidup rnereka di dalarn suatu masyarakat kota (Community of the city) yang kernudian menirnbulkan adanya negara. Suatu rnasyarakat kota menurut Al-Farabi, harus terdiri dari penduduk yang bersatu hati yang di dalarnnya rnemenuhi segala kebutuhan hidupnya terjarnin. Masyarakat itu rnerupakan suatu tubuh yang seluruhnya merasakan senang atau susah apabila salah satu anggota rnasyarakat rnerasakan hal yang demikian itu. Penderitaan sakit yang ditanggung oleh seorang anggotanya haruslah menjadi penderitaan seluruh tubuh rnasyarakat. Begitu pula sebaliknya, kesenangan yang dirasakan oleh seorang anggota masyarakat, haruslah dinikmati oleh masyarakat seluruhnya. Bukan derita atau senang yang dirasakan perseorangan, tetapi seluruh rnasyarakat yang dijalari oleh jiwa yang satu dengan timbulnya perasaan yang merata. Setiap orang haruslah rnenyadari akan perlunya kerjasarna yang teratur. Masing-masing harus berdiri pada posisinya, bekerja dan rnenghasilkan sesuatu menurut kepandaiannya, dengan suatu kesadaran bahwa apa yang dihasilkannya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, yang tentunya akan diganti dengan hasil pekerjaan anggota masyarakat lainnya untuk rnernenuhi kebutuhannya. Menurut Al-Farabi tidaklah sempurna kebahagian suatu masyarakat, kalau pekerjaaan tidak terbagi rata kepada masing-masing anggotanya menurut kepandaiannya dengan semangat kerjasarna yang baik. Disinilah Al-Farabi baru sarnpai kepada perlunya mendirikan negara untuk rnengatur rnasyarakat rnanusia itu. Masyarakat itu harus rnernpunyai seorang Pemirnpin, yang terarnbil dari anggotanya juga, yang bertugas dan berwenang mengatur dan rnernbagi segala hasil-hasil untuk rnernenuhi segala kebutuhan anggotanya.[7]
2.      Konsep Tentang Masyarakat
            Al-Farabi mungkin adalah pemikir pertama yang berpendapat bahwa manusia tidak sama satu sama lain, yang disebakan oleh beberapa faktor, antara lain faktor iklim dan lingkungan tempat mereka hidup serta faktor makanan. Menurutnya, faktor-faktor tersebut akan berpengaruh terhadap pola pikir, perilaku, dan adat kebiasaan. Jadi, Al-Farabi berbeda dengan Plato yang menyatakan kesatuan, persamaan dan keseragaman manusia.[8]
            Selanjutnya, Al-Farabi membagi masyarakat kedalam dua kelompok, yaitu kelompok masyarakat yang sempurna dan tidak sempurna. Masyarakat yang sempurna dibagi lagi menjadi tiga macam:
a)      Masyarakat Sempurna Besar, yaitu gabungan banyak bangsa yang sepakat untuk bergabung dan saling membantu serta kerja sama.
b)      Masyarakat Sempurna Sedang, yaitu masyarakat yang terdiri dari satu bangsa yang menghuni satu wilayah dari bumi ini.
c)      Masyarakat Sempurna Kecil, yaitu masyarakat yang terdiri dari para penghuni satu kota.
            Jadi, konsep tentang pembagian kelompok masyarakat ini diibaratkan seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, Negara Nasional, dan Negara Kota yang berlaku pada masyarakat modern. Adapun masyarakat yang tidak sempurna digolongkan dalam kehidupan sosial di tingkat desa, kampung, lorong, dan keluarga. Ketiga kelompok sosial ini dianggap tidak sempurna oleh Al-Farabi dikarenakan mereka belum mampu untuk berswasembada dan mandiri dalam memenuhi kebutuhan para warganya, baik kebutuhan ekonomi, sosial, budaya, maupun spiritual.[9]

3.      Pemimpin Dalam Sebuah Negara
            Atas dasar pembagian kelompok masyarakat seperti yang disebutkan diatas, maka Al-Farabi berpendapat bahwa tidak semua orang dapat memimpin sebuah Negara, hanya orang-orang tertentu yang dapat menjabatnya. Orang yang dimaskud adalah orang yang berada pada kelas tertinggi dan yang paling sempurna yang berhak memimpin warga-warga yang kelas dibawahnya. Kepala Negara seharusnya diadakan terlebih dahulu, kemudian dibentuk bagian-bagian atau rakyatnya. Hanya seorang pemimpinlah yang menentukan wewenang, tugas, kewajiban serta martabat atau kedudukan masing-masing Warga Negara. Jika ada Warga Negara yang tidak baik, maka kepala Negara harus mampu menghilangkan ketidakbaikan itu. Kemudian, Al-Farabi menentukan kriteria bagi seorang pemimpin Negara, yaitu lengkap anggota badannya, baik daya ingatnya, tinggi kecerdasannya, pandai mengemukakan pendapat dan mudah dipahami, cinta pendidikan dan mengajar, tidak rakus dan loba terhadap makanan, minuman dan wanita, cinta kejujuran dan benci kebohongan, berjiwa besar dan berbudi luhur, tidak mementingkan kekayaan dan kesenangan duniawi lainnya, cinta keadilan dan menjauhi perbuatan keji dan teguh pendirian terhadap apa-apa yang harus dikerjakannya. Disamping syarat-syarat tersebut, Al-Farabi juga menambahkan syarat-syarat lain yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yakni pemimpin harus mampu naik pada akal fa’al (akal aktif) yang darinya wahyu dan ilham dapat diambil. Persayaratan ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus mampu mendidik dan menarik umatnya kepada jalan yang benar menju kebahagiaan dunia dan akhirat.[10]
4.      Tujuan Negara
            Al-Farabi mencita-citakan sebuah konsep Negara Madinatul Fadhilah (Negara Utama) dimana pemimpinnya adalah Nabi atau filosof. Konsepnya terilhami oleh Madinah, sebagai ibukota pertama negara Islam yang dipimpin langsung oleh Rasulullah Muhammad,SAW. Al-Farabi selalu mengacu pada Madinah yang dulu dipimpin Nabi Muhammad SAW sebagai konsepsi filsafat politiknya. Menurutnya, tujuan dari negara utama adalah membimbing para warga negara untuk mencapai Tuhan. Menjadikannya masyarakat madani yang berdasarkan pada ketauhidan. Dimana Tuhan menjadi inspirasi dan dasar dari segala tindakan masyarakat. Caranya adalah menghubungkan manusia dengan aqal fa’al seerat mungkin. Orang yang berhasil mengidentifikasi daya pikirnya sesuai dengan aqal fa’al layak menjadi pemimpin Negara. Ia harus melepas ikatan dengan badannya untuk menyamai aqal fa’al. Setelah itu, ia harus membimbing warganya supaya mencapai Tuhan.
            Setelah bersatu dengan aqal fa’al seorang kepala negara masih harus menyatukan diri ke dalam kesatuan yang lebih mulia. Yaitu mengalir kembali ke atas melalui masing-masing akal terpisah sampai akhirnya mencapai kesatuan dengan Yang Pertama alias Wajib Al-Wujud. Kesatuan yang mulia ini oleh Al-Farabi disebut ittisal yang menjamin transendensi Tuhan, dan selanjutnya ittihad yang berarti kesatuan mistik dalam tasawuf. Puncak tertinggi ini hanya bisa dicapai sesudah maut badaniyah dan terjadi perpindahan ke kehidupan abadi.[11]
5.      Negara Yang Utama
            Konsep negara yang dicita-citakan Al-Farabi adalah Negara Utama. Yaitu Negara dengan tujuan terbaik untuk memberi perlindungan dan mencapai kesempurnaan, serta terpenuhinya kebutuhan jiwa-raga warganya yang akan mengantarnya pada kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat.
            Negara utama mengandaikan kerjasama dan pembagian kerja (job description) sesuai bidang yang dibutuhkan. Nampaknya Al-Farabi terinspirasi hadist Nabi “Engkau yang paling tahu tentang urusan duniamu”. Dan sebuah hadist lainnya “Jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah waktu kehancurannya.” Menurut Al-Farabi, keamanan adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan demi menunjang pembagian kerja dalam Negara Utama. Perlindungan diri meliputi perlindungan dari bahaya binatang buas, bahaya bencana alam, serangan dari kelompok lain, dan kesewenang-wenangan antar anggota sendiri (oleh yang kuat kepada yang lemah). Menurut Al-Farabi, keamanan dapat menjamin kehidupan warganya dan mengantar mereka pada kesempurnaan. Pencapaian kesempurnaan menjamin tercapainya kebahagiaan sejati bagi jiwa.
            Dalam Negara Utama tidak ada tempat untuk saling berlomba, bersaing demi memenuhi nafsu pribadi secara individualistis. Dalam Negara Utama tidak ada tempat bagi sistem monopoli oleh satu golongan tertentu atau kapitalisme. Semua harus menyerahkan diri untuk suatu kerjasama demi mencapai kebahagiaan bersama baik material maupun spiritual yang berdasarkan Ketauhidan. Inilah salah satu tujuan Negara Utama. Dan karena didirikan dengan segenap kesadaran warganya, mereka berusaha mengejar maksud dan tujuan dari didirikannya suatu Negara Utama. Diantara syarat-syarat yang paling penting bagi sebuah Negara Utama, adalah Negara harus rasional. Artinya, warga negara yang membentuk negara harus memiliki kecerdasan akal yang bisa digunakan untuk menggali rahasia alam. Rasionalitas adalah cita-cita Al-Farabi yang menurutnya harus wujud dalam Negara Utama. Al-Farabi sangat menganjurkan penggunaan akal demi mencapai kebahagiaan seluruh Warga Negara. Al-Farabi juga tidak menolak kemewahan yang merupakan hasil dari kecerdasan dan pengembangan ilmu pengetahuan.[12]

6.      Jenis-Jenis Negara Lain
            Al-Farabi mengelompokkan jenis-jenis negara berdasarkan ideologi yang dianutnya. Ideologi yang benar dianut oleh Negara Utama. Ideologi yang salah dianut oleh negara-negara sebagai berikut:

a)      Negara  yang bodoh (ignorant).
            Dalam negara bodoh, warga negara dan pemimpin pemerintahan tidak pernah tahu tentang keutamaan-keutamaan hidup dan arti kebahagiaan sejati. Mereka hidup begitu saja menikmati apa yang ada dan hanya sibuk mengusahakan pemenuhan kebutuhan dan keinginannya. Mereka bekerja keras dengan orientasi sekedar mendapatkan makanan, minuman, pakaian dan pemenuhan akan kebutuhan seksual. Intinya, negara bodoh adalah negara yang penuh dengan kesia-siaan hidup. Para pemimpin dan Warga Negara mengalami kerusakan moral yang parah. Mereka menginginkan kebebasan mutlak (democratic city) supaya dapat melakukan apa saja yang mereka inginkan tanpa ada lembaga hukum yang berhak  menghalanginya.
b)      Negara Jahat (the wicked city).
            Negara jahat adalah suatu negara dimana warga negaranya memiliki pengetahuan tentang keutamaan hidup sebagaimana warga di Negara Utama, tapi tindakan dan cara hidup mereka seperti warga di negara bodoh. Mereka mempunyai cita-cita dan kebijaksanaan luhur tapi tidak diimplementasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
c)      Negara yang mengalami kemerosotan (deliberately change).
            Menurut Al-Farabi, negara yang mengalami kemerosotan adalah Negara Utama yang terus menerus mengalami godaan demi godaan dan terlena dengan godaan-godaan tersebut. Kepercayaan menjadi sia-sia dan niat kebenaran menjadi cita-cita belaka tanpa realisasi. Maka, yang terjadi kemudian adalah kemerosotan moral yang memicu kejatuhan demi kejatuhan. Pemimpin negara merosot moralnya menjadi seorang penipu besar, warga negaranya melakukan tindakan yang berlawanan dengan yang dilakukan warga negara di Negara Utama.
d)      Negara Sesat (the erring city).
            Negara sesat menurut Al-Farabi adalah gambaran masyarakat yang masih berpegang pada pandangan-pandangan lama. Mereka belum tahu akan adanya pandangan baru dalam memahami kehidupan manusia dan penghargaan baru terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Mereka keliru dalam upaya mencapai kebahagiaan baik sekarang maupun nanti di kehidupan sesudah mati. Kekeliruan disebabkan ketidaktahuan. Ketidaktahuan berawal dari ketidakmampuan untuk tahu. Mereka ditiru oleh pemimpinnya yang mengaku berasal dari keturunan dewa-dewa dan harus ditaati secara mutlak dan absolut segala perintahnya.[13]








BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            Al-Farabi adalah pemikir besar Islam yang berjasa besar membawa kebangkitan peradaban Islam. Al-Farabi membentangkan jalan intelektualisme dalam Islam. Melalui kajian filsafatnya, Al-Farabi membuat sintesis antara wahyu dan filsafat sehingga keduanya tidak saling bertentangan. Proyek filosofis Al-Farabi adalah penekanan yang sangat kuat terhadap rasionalitas dan ketakwaan yang harus dimiliki oleh setiap Warga Negara. Al-Farabi meyakini bahwa kehidupan rohani dan kehidupan manusia selalu bertemu dan berhubungan.
            Gagasan filsafat politik Al-Farabi memang nampak sangat idealis atau bahkan utopis jika ditinjau dari perspektif politik modern. Tapi apa yang dijabarkan Al-Farabi sesungguhnya hanyalah kepanjangan dari Al-Qur’an dan hadist Nabi itu sendiri. Tidak heran jika di zaman yang penuh dengan dekadensi moral dan kecendrungan adanya politik ‘menghalalkan segala cara pada hari ini, ide filsafat politik Al-Farabi menjadi sulit dibumikan. Ini adalah tugas cendekiawan muslim dan umat Islam secara keseluruhan untuk membuktikan gagasan Al-Farabi sejauh sesuai dengan konteks kehidupan politik hari ini, bahwa Islam, bisa diaplikasikan dalam kehidupan perpolitikan dan kenegaraan. Bahwa Islam dapat membawa suatu masyarakat menuju kehidupan yang sejahtera baik lahir maupun batin, di dunia maupun di akherat.
            Dengan Demikian,  mewujudkan sebuah Negara dengan konsep Madinatul Fadhilah adalah sesuatu yang mugkin saja terjadi,  karena telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Meskipun untuk mewujudkannya harus melalui perjuangan panjang yang tiada henti-hentinya dan disesuaikan dengan konteks kekinian. Dalam Al-Quran sudah dijelaskan bahwa “Sesungguhnya dalam diri rasulullah terdapat teladan yang baik,[14] yang bisa dijadikan pedoman bagi seluruh umat manusia.
Wallahu A’lam.












Daftar Pustaka
Ahmad, Zainal Abidin Negara Utama (Madinatul Fadhilah), (Jakarta : PT Kinta, 1968.
Azhar, Muahammad Filsafat Politik: Perbandingan Antara Islam dan Barat, Jakarta: Raja Garfindo Persada, 1997.
Bakker, JWM, Sejarah Filsafat dalam Islam, Yogyakarta : Kanisius, 1986.
Bakar, Osman, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu, Bandung: Mizan,1997.
Natsir, M, Capita Selecta 1 : Arti Agama dalam Negara, (Jakarta : Yayasan Bulan Bintang Abadi. 2008.
Nasution, Harun, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1973.
Sidik, Abdullah, Islam dan Filsafat, (Jakarta : Triputra Masa, 1984), 89.
Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta: Rineka Cipta2004.
Syadzali, Munawir, Islam Dan Tata Negara: Sejarah Dan Pemikirannya, Jakarta: UI-Press, 1993.
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2007.


[1]  Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1973), 26.
[2] Osman Bakar, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu, (Bandung: Mizan,1997), 26.
[3] Abdullah Sidik, Islam dan Filsafat, (Jakarta : Triputra Masa, 1984), 89.
[4] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2007), 66.
[5] Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta2004), 30.
[6] M. Natsir, Capita Selecta 1 : Arti Agama dalam Negara, (Jakarta : Yayasan Bulan Bintang Abadi. 2008), 532-533
[7]  Zainal Abidin Ahmad, Negara Utama (Madinatul Fadhilah), (Jakarta : PT Kinta, 1968), 13
[8] Munawir Syadzali, Islam Dan Tata Negara: Sejarah Dan Pemikirannya, (Jakarta: UI-Press, 1993), 51
[9] Munawir Syadzali, Islam Dan Tata …, 51-52
[10] Muahmmad Azahar,  Filsafat Politik: Perbandingan Antara Islam dan Barat, (Jakarta: Raja Garfindo Persada, 1997), 81
[11] Bakker, JWM, Sejarah Filsafat dalam Islam, (Yogyakarta : Kanisius, 1986), 39
[12] Y. Rumanto, Gagasan Filsafat Politik Al-Farabi, Jurnal Filsafat Driyarkara Edisi XXVI No. 2,
[13] Y. Rumanto, Gagasan Filsafat Politik… 42
[14] QS. Al-Ahdzab : 21

Kamis, 10 Januari 2013

teologi feminisme


BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perbedaan gender merupakan sebuah masalah yang telah cukup lama berkembang di dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat mengandung paham patriarkhi[1]. Paham ini menganggap perempuan hanya berfungsi “di belakang”. Ia ditempatkan untuk mengurus rumah, mendidik anak dan melayani suami. Pandangan seperti ini membuat ruang gerak kaum perempuan terbatas.
Diskursus mengenai perbedaan status dan kedudukan berdasarkan gender berawal dari dua teori besar yaitu teori nature dan nurture yang menjelaskan bagaimana terbentuknya kodrat laki-laki-perempuan dalam masyarakat. Dalam pandangan teori nature dikemukakan bahwa adanya perbedaan laki-laki dan perempuan secara kodrati disebabkan karena faktor genetis biologis. Adapun teori nurture beranggapan bahwa terjadinya perbedaan laki-laki dan perempuan disebabkan oleh konstruksi sosial budaya.[2]
Melihat fenomena ini lahirlah sekelompok orang yang menamakan diri kelompok feminis. Mereka berjuang untuk memperoleh hak yang sama seperti yang dimiliki oleh laki-laki. Hak untuk berkarir, menjadi pemimpin, dan lain-lain. Usaha untuk meruntuhkan sistem budaya patriarkhi dan mencapai kesetaraan berdasarkan gender, formasi gerakan feminisme yang dicirikan semangat radikalisme diformulasikan dengan tetap mempertahankan feminitas. Orientasi utama dari feminis modern dan teologi feminis adalah terjadinya perubahan eksternal perempuan. Perempuan  selama ini telah terjebak dalam lingkungan sosialnya yang membentuk dirinya tidak bisa mandiri. Dekonstruksi  theologi feminis dan upaya reinterpretasi terhadap ajaran agama merupakan indikasi untuk mencapai tujuan tersebut.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Teologi Feminisme
            Istilah “Feminisme” berasal dari kata Latin : Femina yang artinya wanita. Gerakan feminisme bermaksud mengkritik struktur patriarkhat yang berada dalam masyarakat dan berusaha untuk mengadakan suatu struktur masyarakat yang lebih adil. Dalam patriarkhi (pater : bapak, arkhe : asal mula yang menentukan) laki-laki berkuasa atas semua anggota masyarakat yang lain dan mempertahankan kuasa itu sebagai milik yang sah. Dalam masyarakat semacam ini, pandangan androsentris (andros : laki-laki,sentris  : berhubung dengan inti) menentukan budaya, yakni segala peristiwa dilihat dari sudut laki-laki.[3]
Menurut istilahnya, teologi feminisme didefinisikan secara beragam oleh tokoh-tokoh yang menggelutinya sehingga sangat sulit untuk menemukan definisi yang akurat terhadap gerakan ini. Hal ini ditegaskan oleh Marcia Bunge yang menyatakan bahawa ada perbedaan suara antara feminis yang satu dengan yang lain,[4] yang terlihat melalui karya tulis mereka, baik buku-buku maupun artikel-artikel yang belakangan ini semakin marak. Dengan bervariasinya tokoh, tulisan serta pandangan mereka maka sulitlah untuk menentukan nuansa definisi feminisme yang jelas, karena tidak ada kanon tradisi feminis yang normatif ataupun rumusan kredo yang jelas.[5]
Namun, perbedaan antara tersebut bukan berarti tidak titik temu diantaranya. Secara umum, teologi feminsme memberikan penekanan pada beberapa hal yang menjadi isu terkemuka didalamnya, yaitu isu tentang usaha kaum feminis untuk mencari solusi terhadap paham tradisional yang patriarkhi demi tercapainya keadilan dan kesetaraan dalam kehidupan antara laki-laki dan perempuan.[6]
B.     Sejarah Lahirnya Teologi Feminisme
            Kenyataan akan sedikitnya ruang gerak perempuan dalam ranah publik jika dibandingkan dengan laki-laki, memunculkan pertanyaan “mengapa hal ini bisa terjadi dalam Islam?” “apakah Islam yang diwahyukan kepada Muhammad Saw. mengajarkan dikriminasi?” “apakah Islam tidak memiliki konsep tentang keadilan”? dan beberapa pertanyaan lain. Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan alasan yang seringkali dimunculkan dalam kalangan feminisme Islam.
            Secara historis, diskriminasi terhadap perempuan muncul sebagai akibat adanya doktrin ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan yang telah membudaya dalam sejarah kehidupan umat manusia. Adanya anggapan-anggapan bahwa perempuan tidak cocok memegang kekuasaan karena perempuan dianggap tidak memiliki kemampuan seperti laki-laki, laki-laki harus memiliki dan mendominasi perempuan, menjadi pemimpinnya dan menentukan masa depannya, aktifitas perempuan hanya terbatas di dapur, kasur dan sumur  saja karena dianggap tidak mampu mengambil keputusan di luar wilayah kekuasaannya merupakan perfoma penundukan perempuan di bawah struktur kekuasaan laki-laki.[7]
Pada abad pertengahan kaum wanita mulai menyadari bahwa mereka dimarginalkan dalam masyarakat, kesempatan yang mereka miliki sangat terbatas dan tempat yang tersedia bagi mereka hanyalah dalam rumah tangga. Kesadaran akan keadaan ini mulai membawa sedikit angin perubahan. Sejumlah perempuan tampil sebagai penulis-penulis.
Gerakan feminisme dimulai pada tahun 1963 di Amerika Serikat dengan fokus gerakan pada satu isu yaitu untuk mendapatkan hak memilih. Gerakan feminisme ditandai dengan terbitnya buku Betty Frieddan, The Feminine Mystique, yang isinya mempersoalkan praktik-praktik ketidakadilan yang menjadikan perempuan sebagai korban. Hal inilah yang kemudian ikut merambah keranah pemikiran Islam.[8] Sebut saja beberapa nama seperti AminahWadud-Muhsin, Laela Ahmed, Fatimah Mernisi, Riffat Hassan, Asghar Ali Engineer, dan Nasaruddin Umar, adalah para pemikir yang konsen dalam permasalahan ini.[9]  
C.    Kerangka Metodologi Teologi Feminisme ala Riffat Hassan
1.      Biografi dan Karya Riffat Hassan
            Riffat Hassan adalah seorang feminis muslimah kelahiran Lahore, Pakistan tahun 1943. Tanggal kelahirannya tidak diketahui, tapi yang pasti ia dilahirkan dalam keluarga sayyid bersama lima saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan. Ia menghabiskan 17 tahun (masa kanak-kanak hingga remaja) bersama keluarganya disebuah kothe (bungalow) yang luas dengan sebuah mobil mewah (pada masa itu hanya orang kaya yang mempunyai mobil). Setelah itu ia menjadi mahasiswa disebuah perguruan tinggi di Inggris pada perguruan tinggi St. Mary’s College University of Durham. Ia lulus disana dalam tiga tahun dengan gelar kehormatan dalam bidang Sastra Inggris dan Filsafat dan kemudian meraih gelar Doktor pada uumur 24 tahun.
            Riffat Hassan terkenal sebagai seorang penulis yang cukup produktif. Dari kecil ia dikenal sudah gemar menulis dan membaca. Karya-karyanya antara lain:
a)      The Role And Responsibility Of Women In Legal And Ritual Tradition Of Islam
b)      Equal Before Alllah Woman-Man Equality In Islamic Tradition
c)      Feminist Theology And Women In The Muslim World
d)     Jihad Fi Sabilillah: A Muslim Woma’s Faith Journey Struggle To Struggle
e)      Dan lain-lain.


2.      Pemikiran Teologi Feminisme Riffat Hassan
            Dalam membangun pemikiran teologi feminismenya, riffat menggunakan dua level pendekatan, yaitu: pertama, pendekatan ideal-normatif ini ditempuh untuk melihat bagaimana Al-Quran menggariskan prinsip-prinsip ideal-normatif tentang perempuan. Seperti bagaimana seharusnya perempuan menurut Al-Quran mulai dari tingkah lakunya, relasinya dengan Tuhan dan hubungan dengan orang lain serta dengan dirinya sendiri. Kedua, pendekatan empiris. Pendekatan ini dilkukan dalam rangka untuk melihat secara empiri realitas yang terjadi dan dialami perempuan. Misalnya, bagaimana perempuan memandang dirinya dan bagaimana pula orang lain memandang perempuan dalam masyarakat Islam. Diantara kedua pendekatan tersebut merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkkan. Ia adalah kesatuan. [10]  Melalui kedua pendekatan tersebut Riffat berupaya mendapatkan realitas empiric sekaligus gambaran idealis-normatif sehingga memungkinkannya untuk mengadakan evaluasi, penilaian dan kritik terhadap realitas yang dihadapi kaumnya. Riffat juga menggunakan pendekatan historis dalam membangun pemikiran teologi feminismenya. Sehingga metodologinya dalam menelaah masalah perempuan terasa lebih lengkap. Konstruksi  metodologi teologi feminisme Riffat Hassan adalah:
a)      Metode dekonstruksi
            Ada tiga asumsi yang menyatakan bahwa kaum laki-laki lebih unggul daripada perempuan, yakni:
1)      Makhluk yang pertama diciptakan oleh Allah adalah laki-laki (Adam)
2)      Perempuan penyebab terusirnya manusia dari Taman Firdaus
3)      Bahwa perrempuan diciptakan dari laki-laki (tulang rusuknya) dan untuk laki-laki.[11]
            Metode dekonstruksi adalah sebuah keniscayaan harus dilakukan oleh Riffat dalam membongkar dan melakukan kritik terhadap berbagai konsep keagamaan yang brsifat patriarkhi. Menurutnya, diskriminasi dan segala bentuk ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan merupakan dampak yang ditimbulkan akibat pemahaman terhadap Al-Quran yang diwarnai oleh orientasi patriarkhi. Al-Quran adalah sumber utama dalam tradisi Islam. Namun, jika pemahaman yang dilakukan terhadap Al-Quran cenderung pada bias male,  maka dampak yang ditimbulkan adalah lahirnya sebuah realitas yang mencerabut hak-hak kemanusiaan kaum perempuan.[12]
            Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya dekonstruksi pemikiran teoologis yang selama ini menyudutkan kaum perempuan. Dekonstruksi ini dilakukan dengan menurunkan teori androsentris (andro; laki-laki, sentris; pusat) dari panggung sejarah dan sudah saatnya menampilkan teologi dalam berkeadilan yang memposisikan kaum perempuan setara dengan laki-laki.
b)      Metode hermeneutik
            Upaya yang kedua yang harus dilakukan adalah dengan mengiterpretasi ulang teks-teks Al-Quran yang selama ini dijadikan sebagai instrument legitimasi bagi tindakan-tindakan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Dalam hal ini, Riffat menggunakan hermeneutik dalam prinsip utama interpretasi, yaitu: pertama, akurasi linguistik, yang merupakan prinsip dasar untuk mendapatkan sebuah makna yang tepat secara filosofis dan konsisten. Kedua, kriteria etis yang merupakan prinsip dalam melakukan kritik dan evaluasi dalam memahami Al-Quran. Contoh: “apabila Tuhan maha Adil, maka keadilan harus terefleksikan dalam Al-Quran. Tuhan tidak melakukan ketidakadilan. Apabila dalam Al-Quran terdapat ketidakadilan, meskipun dari sudut pandang manusia, maka penafsir harus berupaya mendapatkan sebuah interpretasi yang lebih adil dan pantas tentangnya ”. [13]
            Riffat mengakui bahwa Al-Quran sangat bervariatif. Ada ayat-ayat yang dapat dipahami dengan mudah dan langsung bisa dijadikan hukum. Namun, ada juga ayat-ayat yang bersifat simboli, dan ayat-ayat seperti inilah yang banyak terdapat dalam Al-Quran. Al-Quran juga memuat tentag cerita dan mitologi yang penuturannya dikemas secara simbolik.[14]









BAB III
PENUUTUP

Kesimpulan
Dari penjelasan pada bab pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
            Teologi Feminisme adalah gerakan keperempuanan yang menolak dominasi kaum laki-laki dan menuntuk keadilan serta kesetaraan dalam kehidupan dunia Muslim. Gerakan ini merupakan reaksi terhadap realita yang terjadi dalam kehidupan umat Islam yang dianggap telah memarginalkan kaum perempuan. Kerangka metodologi yang digunakan oleh Riffat Hassan adalah salah satu model metode dalam diskursus feminisme. Jadi, apa yang digunakan olehnya dalam merekonstruksi pemikiran sebelumnya adalah sesuatu yang berpeluang berbeda dengan pemikir-pemikir yang lainnya.
Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa kajian-kajian lain perlu untuk dilakukan. Namun, apa yang telah dilakukan oleh Riffat Hassan adalah sebuah gagasan yang telah berhasil menuangkan pemaknaan terhadap ide-ide teologi feminisme. Teologi feminisme adalah sebuah paradigma baru yang dianggap dapat meruntuhkan paham-paham androsentris sebelumnya dan melahirkan wajah dunia yang lebih berkeadilan sesuai dengan ajaran Islam.






Daftar Pustaka

Abied Shah, Ainul, Malak Hifni Nasif Bek, Sosok Kartini Lembah Nil: Menggali Akar Feminism Di Dunia Islam, Bandung: Mizan, 2001.
Baidowi, Ahmad, Tafsir Feminis: Kajian Perempuan Dalam Al-Quran Dan Para Mufassir Kontemporer, Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2005.
Bunge, Marcia, Feminism in Different Voices: Resources for the Church,” Word & World Theology for Christian Ministry, Fall,1988.
Engineer, Asghar Ali, Hak-Hak Perempuan Dalam Islam, Yogyakarta: LLSPA, 2000.
Esha, Muhammad In’am, Teologi Islam: Isu-Isu Kontemporer, Malang: UIN-Malang Press, 2008.
Marie C.B, Frommel, Hati Allah bagaikan hati seorang ibu, Jakarta; BPK Gunung Mulia, 2010.
Young, Pamela Dickey, Feminist Theology/Christian Theology: In Search of Method Minneapolis: Fortress,1990.



[1] Patriarkhi atau patriarkhat berarti sistem pengelompokkan sosial yang sangat mementingkan garis keturunan bapak, (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 837)
[2] http://wawan-adam.blogspot.com/2009/08/tes.html , Diakses 20/12/2012  13:36 wib
[3] Frommel, Marie C.B, Hati Allah bagaikan hati seorang ibu, (Jakarta; BPK Gunung Mulia, 2010), 9
[4] Marcia Bunge, Feminism in Different Voices: Resources for the Church,” Word & World Theology for Christian Ministry, (Fall,1988), 321
[5] Pamela Dickey Young, Feminist Theology/Christian Theology: In Search of Method (Minneapolis: Fortress,1990), 7
[6] Ibid.
[7]  Muhammad In’am Esha, Teologi Islam: Isu-Isu Kontemporer, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), 48-49
[8] Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan Dalam Islam, (Yogyakarta: LLSPA, 2000), 63
[9] Ainul Abied Shah, Malak Hifni Nasif Bek, Sosok Kartini Lembah Nil: Menggali Akar Feminism Di Dunia Islam,(Bandung: Mizan, 2001), 151.
[10] Muhammad In’am Esha, Teologi Islam: Isu…,  53

[11] Ahmad Baidowi, Tafsir Feminis: Kajian Perempuan Dalam Al-Quran Dan Para Mufassir Kontemporer, (Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2005), 91
[12] Muhammad In’am Esha, Teologi Islam: Isu…,  54-55
[13]  Muhammad In’am Esha, Teologi Islam: Isu…,  55-56
[14] Ahmad Baidowi, Tafsir Feminis: …, 91