BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia tidak dapat lepas dari
bahasa. Terbukti dari penggunaannya untuk percakapan sehari-hari, tentu ada
peran bahasa yang membuat satu sama lain dapat berkomunikasi, saling
menyampaikan maksud. Tak hanya dalam bentuk lisan, tentu saja bahasa juga
digunakan dalam bentuk tulisan.
Pemikiran seseorang tentunya akan
lebih mendapat pengakuan ketika sudah “dituliskan” sehingga orang lain yang
membaca akan mengetahui apa yang ingin disampaikan seorang penulis. Pada
dasarnya seluruh kegiatan manusia akan sangat berkaitan erat dengan bahasa.
Tentunya bahasa disini bukan berarti sekedar mempelajari tata gramatikal bahasa
ataupun bahasa asing, melainkan bagaimana pengertian seseorang dapat
terpengaruh hanya dari penggunaan kata-kata atau pemikiran. Sangat penting
untuk dapat tetap berpikir kritis dalam mengerti ucapan seseorang maupun teks.
Teori-teori yang berkembang dalam filsafat bahasa inilah yang kemudian menjadi
alat bagi setiap orang untuk dapat lebih mengeksploitasi sebuah pemikiran, baik
yang terucapkan maupun dalam bentuk teks.
Ada
beberapa poin yang dapat dikaitkan dengan bahasa. Antara lain dengan
a)
akal,
yang sangat erat dengan logika.
b)
Makna
dan interpretasi, yang merupakan bagian yang sudah melekat dengan bahasa.
c)
Konvensi,
karena tanpa konvensi bahasa tidak ada artinya karena tidak dimengerti oleh
semua orang.
d)
Dimensi
bahasa obyektif, dapat dimengerti oleh semua untuk mengatasi ruang dan bersifat
universal dan ilmiah.
e)
Intertekstualitas,
bagaimana teks-teks lain saling mempengaruhi pemahaman seseorang.
Dari sinilah kita kemudian dapat
mencoba menganalisa sebuah teks atau tanda dengan aliran-aliran yang berkembang
dari filsafat bahasa, termasuk filsafat bahasa dalam eksistensialisme yang akan
dibahas dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Eksistensialisme
Definisi eksistensialisme tidak
mudah dirumuskan, bahkan kaum eksistensialis sendiri tidak sepakat mengenai
rumusan apa sebenarnya eksistensialisme itu.[1]
Sekalipun demikian, ada sesuatu yang disepakati, baik filsafat eksistensi
maupun filsafat eksistensialisme sama-sama menempatkan cara wujud manusia
sebagai tema sentral Namun tidak ada salahnya, untuk memberikan sedikit gambaran
tentang eksistensialisme ini, berikut akan dipaparkan pengertiannya.
Kata dasar eksistensi (existency)
adalah exist yang berasal dari bahasa Latin ex yang berarti keluar dan sistere
yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri
sendiri. Artinya dengan keluar dari dirinya sendiri, manusia sadar tentang
dirinya sendiri; ia berdiri sebagai aku atau pribadi. Pikiran semacam ini dalam
bahasa Jerman disebut dasein (da artinya di sana, sein
artinya berada).[2]
Selain itu, kata Eksistensialisme juga dikatakan berasal dari kata eks (keluar),
dan sistensi yang diturunkan dari kata kerja sisto (berdiri,
menempatkan). Dari sudut istilah, Eksistensialisme didefinisikan sebagai
filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal pada eksistensi.[3]
Pada umumnya kata eksistensi berarti
“keberadaan”, akan tetapi di dalam filsafat Eksistensialisme ungkapan
eksistensi mempunyai arti khusus, eksistensi adalah cara manusia berada dalam
dunia. Cara manusia berada dalam dunia berbeda dengan cara benda berada dalam
dunia. Benda-benda tidak sadar akan keberadaannya juga yang satu berada
disamping yang lain tanpa ada hubungan. Tidak demikian halnya dengan cara
manusia berada. Benda-benda itu menjadi berarti karena manusia, disamping itu
manusia berada bersama-sama dengan sesama manusia. Untuk membedakan dua cara
berada ini, dalam Eksistensialisme dikatakan bahwa benda-benda “berada”
sedangkan manusia bereksistensi. Jadi hanya manusialah yang bereksistensi.[4]
Dari uraian di atas dapat diambil
pengertian bahwa eksistensi adalah cara berada manusia itu menunjukkan bahwa ia
merupakan kesatuan dengan alam jasmani, ia satu susunan dengan alam jasmani,
manusia selalu mengkonstruksi dirinya, jadi ia tidak pernah selesai. Dengan
demikian, manusia selalu dalam keadaan membelum; ia selalu sedang ini atau
sedang itu.
B.
Latar Belakang lahirnya Eksistensialisme
Selain Idealisme, sifat materialisme
ternyata merupakan faktor pendorong lahirnya eksistensialisme. Materialisme memandang
manusia baik yang kolot maupun yang modern, manusia pada akhirnnya adalah benda
seperti halnya kayu, batu dan benda-benda lain. Materialisme memang tidak
menyatakan bahwa manusia sama dengan benda, namun pada akhirya manusia hanyalah
sesuatu yang bersifat material dengan kata lain betul-betul materi. Menurut
bentuknya manusia memang lebih ungguk dari benda dan makhluk lainnya, tetapi
pada eksistensinya manusia sama saja dengan benda-benda atau makhluk lainnya
yaitu sama-sama materi.
Eksistensialisme lahir untuk
membantah teori tersebut, dengan menyatakan bahwa cara manusia berada berbeda
dengan benda lain. Manusia berada dalam dunia, ia mengalami keberadaannya di
dunia itu, menghadapi dengan mengerti terhadap yang dihadapinya. Manusia
mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti, yaitu manusia adalah subjek.
Subjek artinya yang menghadapi, yang sadar dan barang-barang yang disadari dan
dihadapinya.[5]
C.
Tokoh dan Karakteristik Pemikiran Eksistensialisme
Diantara tokoh yang sering
diklasifikasikan kedalam kelompok eksistensialisme adalah:
1)
Soren Kierkegaard (1815-1855)
2)
Karl Jaspers (1883-1969)
3)
Martin Heidegger (1889-1976)
4)
Gabriel Marcel (1889-1973)
5)
Jean Paul Sartre (1905-1980)[6]
Ada beberapa hal yang bisa dijadikan
sebagai ciri khas dari ajaran eksistensialisme, antara lain:
1)
Eksistensialisme pada dasarnya adalah gerakan
protes terhadap filsafat barat tradisional dan masyarakat modern.
2)
Eksistensialisme menolak untuk untuk bergabung
kepada sesuatu aliran. Mereka menolak watak teknologi totalitarianisme yang
impersonal.
3)
Eksistensialisme membahas soal-soal kedudukan
yang sulit dari manusia.
4)
Eksistensialisme menekankan kesadaran
“ada” (being), dan eksistensi. Nilai kehidupan Nampak melalui
pengakuan terhadap individual, yakni “I” (aku) dan bukan “It”.
5)
Eksistensialis percaya bahwa tak ada
pengetahuan yang terpisah dari subjek yang mengetahui. Kita mengalami kebenaran
dalam diri kita sendiri. Kebenaran tak dapat dicapai secara abstrak. Oleh
karena itu, eksistensialis menggunakan bentuk-bentuk sastra dan seni untuk
mengekspresikan perasaan dan suasana hati.
6)
Eksistensialisme menekankan individual, kebebasannya
dan pertanggung-jawabannya.
7)
Seperti Nietzsche, Sartre mengingkari adanya
Tuhan. Manusia tidak diarahkan; ia menciptakan kehidupannya sendiri dan oleh sebab
itu ia bertanggung jawab seluruhnya atas pilihan-pilihannya.[7]
D.
Filsafat dan Bahasa dalam Filsafat Eksistensialisme
Untuk mendapatkan gambaran mengenai
pemikiran filosofis para penganut filsafat eksistensi dalam bidang bahasa,
berikut ini akan diketengahkan pemikiran Karl Jaspers mengenai bahasa sebagai chifer-chifer.
Pemikiran Karl Jaspers ini penting untuk dikemukakan sebab pemikirannya
tergolong cukup unik. Ia sama sekali berbeda dengan para filosof abad ke-20,
dikarenakan pemikirannya dipengaruhi oleh hal-hal yang berbau mistis dan
bersifat metafisis.[8]
Kata ‘chifer’ yang
dimaksudkan oleh Karl adalah kata serapan dalam bahasa Jerman yang diambil dari
bahasa Arab ‘sifr’ yang diterjemahkan dari kata Sansekerta ‘sunya’,
artinya ‘kekosongan’ atau ‘nol’. Di Jerman kata ‘chifer’ diartikan
sebagai ‘angka’, ‘kode’ dan ‘tanda rahasia’. Pengertian chifer
sebagai ‘tanda rahasia’ inilah yang dipakai oleh Karl Jaspers. Secara
sederhana arti chifer ini dapat disamakan dengan kata symbol
dalam bahasa Indonesia. Menurut Karl Jaspers chifer-chifer itu merupakan
tanda-tanda rahasia yang ditulis oleh ke-Ilahi-an. Ia merupakan
‘bayang-bayang’, ‘gema’, dan ‘jejak-jejak’ dari transendensi. Pada mulanya
masih tanpa arti. Karena itu menjadi tugas manusia untuk mencari arti dari chifer-chifer
itu.[9]
Penjelasan mengenai chifer-chifer
ini belum cukup, dan untuk lebih memahami apa sebenarnya yang dimaksud Karl
Jaspers dengan bahasa chifer-chifer itu, maka tidak terelakkan maka kita
harus menelusuri tentang eksistensi dan transendensi, yang merupakan dua tema
sentral (setelah chifer-chifer) dari filsafat Karl Jaspers.[10]
Eksistensi dalam filsafat Karl
Jaspers merupakan tema sentral. Baginya eksistensi adalah sesuatu yang paling
berharga dan paling otentik. Eksistensi adalah subjek (aku) yang sebenarnya,
yang bersifat unik dan sama sekali tidak objektif dan sekaligus penghayatan
mengenai kebebasan total yang merupakan inti dari manusia. Menurut Karl
Jasperrs, bahwa individu (subjek, aku) tidak dapat dicapai dan dimengerti dari
yang umum, melainkan harus diterangi dari diri sendiri. Manusia itu dalam
intinya memanng berhubungan dengan yang lain. Dalam proses hubungan dengan yang
lain inilah manusia dapat menyelami segala pertanyaan mengenai diri sendiri.
Jadi jelas bahwa eksistensi dalam filsafat Karl Jaspers ‘berdiri berhadapan
dengan transendensi’ dan itu sama dengan ‘kebebasan yang diberi isi’.
Karenanya, dalam pandangan Karl Jaspers, chifer-chifer itu dibaca oleh
manusia sejauh manusia itu merupakan ‘eksistensi’. Eksistensi sama dengan
kebebasan yang diraih manusia karena manusia adalah bebas.[11]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari urain
diatas dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain:
1.
Eksistensialisme
adalah aliran filsafat yang mengakui eksistensi (keberadaan) manusia di dunia
ini.
2.
Eksistensi
manusia yang dipahami oleh eksistensialisme berbeda dengan keberadaan
benda-benda dan makhluk lain dalam dunia. Benda tidak sadar akan keberadaannya,
sedangkan manusia menyadari dan menghadapi dunia dengan dirinya sendiri.
3.
Eksistensialisme
lahir disebabkan oleh reaksinya terhadap paham idealism dan materialisme yang
dipandang telah merendahkan keberadaan manusia.
4.
Pandangan
para filosof penganut eksistensialisme terhadap bahasa dapat dilihat dari apa
yang dituangkan dalam pemikiran Karl Jaspers.
5.
Manusia
sebagai individu (subjek) tidak dapat dipahami dari yang umum, melainkan
dengan penelaahan dari dalam diri masing-masinng individu tersebut.
6.
Dalam
eksistensialisme filsafat dan bahasa adalah symbol, dimana manusia berhubungan
dengan yang lainnya atau dengan istilah ‘berdiri dihadapan transendensi’
Daftar Pustaka
Hadiwijono, Harun Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta:
Kanius, cet. XXI, 2005
Hasan, Fuad, Kita dan Kami, Jakarta:Bulan Bintang, 1974.
Hidayat, Asep Ahmad, filsafat bahasa: mengungkap hakikat bahasa,
makna dan tanda, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006.
Rasjidi, M. Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan
Bintang, 1984.
Suhartono, Suparlan, sejarah pemikiran filsafat modern, Yogyakarta:
Ar-Ruzz, 2005.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai
Chapra Bandung: Remaja Rosda Karya. 1992.
[1] Fuad Hasan, Kita
dan Kami (Jakarta:Bulan Bintang, 1974), hal. 8.
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai Chapra (Bandung: Remaja Rosda
Karya, cet. ke-II, 1992), hal. 191.
[3] Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanius, cet.
XXI, 2005), hal. 148
[4] Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah …, hal. 148
[5] Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum: Akal … hal. 217-218
[6] Suparlan
Suhartono, sejarah pemikiran filsafat modern, (Yogyakarta: Ar-Ruzz,
2005), hal. 67
[7] M. Rasjidi, Persoalan-Persoalan
Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 407
[8] Asep Ahmad
Hidayat, filsafat bahasa: mengungkap hakikat bahasa, makna dan tanda,
(Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006), hal. 179
[9] Asep Ahmad
Hidayat, filsafat bahasa: mengungkap … hal. 181
[10] Asep Ahmad
Hidayat, filsafat bahasa: mengungkap … hal. 183-184
[11] Asep Ahmad
Hidayat, filsafat bahasa: mengungkap … hal. 182
kak
BalasHapusmasih punya bukunya?
buku assep ahmad hidayat
BalasHapuskalau ada please chat me 082341460354