Rabu, 02 Januari 2013

filsafat bahasa dalam filsafat eksistensialisme


BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
            Manusia tidak dapat lepas dari bahasa. Terbukti dari penggunaannya untuk percakapan sehari-hari, tentu ada peran bahasa yang membuat satu sama lain dapat berkomunikasi, saling menyampaikan maksud. Tak hanya dalam bentuk lisan, tentu saja bahasa juga digunakan dalam bentuk tulisan.
            Pemikiran seseorang tentunya akan lebih mendapat pengakuan ketika sudah “dituliskan” sehingga orang lain yang membaca akan mengetahui apa yang ingin disampaikan seorang penulis. Pada dasarnya seluruh kegiatan manusia akan sangat berkaitan erat dengan bahasa. Tentunya bahasa disini bukan berarti sekedar mempelajari tata gramatikal bahasa ataupun bahasa asing, melainkan bagaimana pengertian seseorang dapat terpengaruh hanya dari penggunaan kata-kata atau pemikiran. Sangat penting untuk dapat tetap berpikir kritis dalam mengerti ucapan seseorang maupun teks. Teori-teori yang berkembang dalam filsafat bahasa inilah yang kemudian menjadi alat bagi setiap orang untuk dapat lebih mengeksploitasi sebuah pemikiran, baik yang terucapkan maupun dalam bentuk teks.
Ada beberapa poin yang dapat dikaitkan dengan bahasa. Antara lain dengan
a)      akal, yang sangat erat dengan logika.
b)      Makna dan interpretasi, yang merupakan bagian yang sudah melekat dengan bahasa.
c)      Konvensi, karena tanpa konvensi bahasa tidak ada artinya karena tidak dimengerti oleh semua orang.
d)     Dimensi bahasa obyektif, dapat dimengerti oleh semua untuk mengatasi ruang dan bersifat universal dan ilmiah.
e)      Intertekstualitas, bagaimana teks-teks lain saling mempengaruhi pemahaman seseorang.
            Dari sinilah kita kemudian dapat mencoba menganalisa sebuah teks atau tanda dengan aliran-aliran yang berkembang dari filsafat bahasa, termasuk filsafat bahasa dalam eksistensialisme yang akan dibahas dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Eksistensialisme
            Definisi eksistensialisme tidak mudah dirumuskan, bahkan kaum eksistensialis sendiri tidak sepakat mengenai rumusan apa sebenarnya eksistensialisme itu.[1] Sekalipun demikian, ada sesuatu yang disepakati, baik filsafat eksistensi maupun filsafat eksistensialisme sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral Namun tidak ada salahnya, untuk memberikan sedikit gambaran tentang eksistensialisme ini, berikut akan dipaparkan pengertiannya.
            Kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal dari bahasa Latin ex yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Artinya dengan keluar dari dirinya sendiri, manusia sadar tentang dirinya sendiri; ia berdiri sebagai aku atau pribadi. Pikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut dasein (da artinya di sana, sein artinya berada).[2] Selain itu, kata Eksistensialisme juga dikatakan berasal dari kata eks (keluar), dan sistensi yang diturunkan dari kata kerja sisto (berdiri, menempatkan). Dari sudut istilah, Eksistensialisme didefinisikan sebagai filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal pada eksistensi.[3]
            Pada umumnya kata eksistensi berarti “keberadaan”, akan tetapi di dalam filsafat Eksistensialisme ungkapan eksistensi mempunyai arti khusus, eksistensi adalah cara manusia berada dalam dunia. Cara manusia berada dalam dunia berbeda dengan cara benda berada dalam dunia. Benda-benda tidak sadar akan keberadaannya juga yang satu berada disamping yang lain tanpa ada hubungan. Tidak demikian halnya dengan cara manusia berada. Benda-benda itu menjadi berarti karena manusia, disamping itu manusia berada bersama-sama dengan sesama manusia. Untuk membedakan dua cara berada ini, dalam Eksistensialisme dikatakan bahwa benda-benda “berada” sedangkan manusia bereksistensi. Jadi hanya manusialah yang bereksistensi.[4]
            Dari uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa eksistensi adalah cara berada manusia itu menunjukkan bahwa ia merupakan kesatuan dengan alam jasmani, ia satu susunan dengan alam jasmani, manusia selalu mengkonstruksi dirinya, jadi ia tidak pernah selesai. Dengan demikian, manusia selalu dalam keadaan membelum; ia selalu sedang ini atau sedang itu.
B.     Latar Belakang lahirnya Eksistensialisme
            Selain Idealisme, sifat materialisme ternyata merupakan faktor pendorong lahirnya eksistensialisme. Materialisme memandang manusia baik yang kolot maupun yang modern, manusia pada akhirnnya adalah benda seperti halnya kayu, batu dan benda-benda lain. Materialisme memang tidak menyatakan bahwa manusia sama dengan benda, namun pada akhirya manusia hanyalah sesuatu yang bersifat material dengan kata lain betul-betul materi. Menurut bentuknya manusia memang lebih ungguk dari benda dan makhluk lainnya, tetapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan benda-benda atau makhluk lainnya yaitu sama-sama materi.
            Eksistensialisme lahir untuk membantah teori tersebut, dengan menyatakan bahwa cara manusia berada berbeda dengan benda lain. Manusia berada dalam dunia, ia mengalami keberadaannya di dunia itu, menghadapi dengan mengerti terhadap yang dihadapinya. Manusia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti, yaitu manusia adalah subjek. Subjek artinya yang menghadapi, yang sadar dan barang-barang yang disadari dan dihadapinya.[5]
C.    Tokoh dan Karakteristik Pemikiran Eksistensialisme
            Diantara tokoh yang sering diklasifikasikan kedalam kelompok eksistensialisme adalah:
1)      Soren Kierkegaard (1815-1855)
2)      Karl Jaspers (1883-1969)
3)      Martin Heidegger (1889-1976)
4)      Gabriel Marcel (1889-1973)
5)      Jean Paul Sartre (1905-1980)[6]
            Ada beberapa hal yang bisa dijadikan sebagai ciri khas dari ajaran eksistensialisme, antara lain:
1)      Eksistensialisme pada dasarnya adalah gerakan protes terhadap filsafat barat tradisional dan masyarakat modern.
2)      Eksistensialisme menolak untuk untuk bergabung kepada sesuatu aliran. Mereka menolak watak teknologi totalitarianisme yang impersonal.
3)      Eksistensialisme membahas soal-soal kedudukan yang sulit dari manusia.
4)      Eksistensialisme menekankan kesadaran “ada” (being), dan eksistensi. Nilai kehidupan Nampak melalui pengakuan terhadap individual, yakni “I” (aku) dan bukan “It”.
5)      Eksistensialis percaya bahwa tak ada pengetahuan yang terpisah dari subjek yang mengetahui. Kita mengalami kebenaran dalam diri kita sendiri. Kebenaran tak dapat dicapai secara abstrak. Oleh karena itu, eksistensialis menggunakan bentuk-bentuk sastra dan seni untuk mengekspresikan perasaan dan suasana hati.
6)      Eksistensialisme menekankan individual, kebebasannya dan pertanggung-jawabannya.
7)      Seperti Nietzsche, Sartre mengingkari adanya Tuhan. Manusia tidak diarahkan; ia menciptakan kehidupannya sendiri dan oleh sebab itu ia bertanggung jawab seluruhnya atas pilihan-pilihannya.[7]
D.    Filsafat dan Bahasa dalam Filsafat Eksistensialisme
            Untuk mendapatkan gambaran mengenai pemikiran filosofis para penganut filsafat eksistensi dalam bidang bahasa, berikut ini akan diketengahkan pemikiran Karl Jaspers mengenai bahasa sebagai chifer-chifer. Pemikiran Karl Jaspers ini penting untuk dikemukakan sebab pemikirannya tergolong cukup unik. Ia sama sekali berbeda dengan para filosof abad ke-20, dikarenakan pemikirannya dipengaruhi oleh hal-hal yang berbau mistis dan bersifat metafisis.[8]
            Kata ‘chifer’ yang dimaksudkan oleh Karl adalah kata serapan dalam bahasa Jerman yang diambil dari bahasa Arab ‘sifr’ yang diterjemahkan dari kata Sansekerta ‘sunya’, artinya ‘kekosongan’ atau ‘nol’. Di Jerman kata ‘chifer’ diartikan sebagai ‘angka’, ‘kode’ dan ‘tanda rahasia’. Pengertian chifer sebagai ‘tanda rahasia’ inilah yang dipakai oleh Karl Jaspers. Secara sederhana arti chifer ini dapat disamakan dengan kata symbol dalam bahasa Indonesia. Menurut Karl Jaspers chifer-chifer itu merupakan tanda-tanda rahasia yang ditulis oleh ke-Ilahi-an. Ia merupakan ‘bayang-bayang’, ‘gema’, dan ‘jejak-jejak’ dari transendensi. Pada mulanya masih tanpa arti. Karena itu menjadi tugas manusia untuk mencari arti dari chifer-chifer itu.[9]
            Penjelasan mengenai chifer-chifer ini belum cukup, dan untuk lebih memahami apa sebenarnya yang dimaksud Karl Jaspers dengan bahasa chifer-chifer itu, maka tidak terelakkan maka kita harus menelusuri tentang eksistensi dan transendensi, yang merupakan dua tema sentral (setelah chifer-chifer) dari filsafat Karl Jaspers.[10]
            Eksistensi dalam filsafat Karl Jaspers merupakan tema sentral. Baginya eksistensi adalah sesuatu yang paling berharga dan paling otentik. Eksistensi adalah subjek (aku) yang sebenarnya, yang bersifat unik dan sama sekali tidak objektif dan sekaligus penghayatan mengenai kebebasan total yang merupakan inti dari manusia. Menurut Karl Jasperrs, bahwa individu (subjek, aku) tidak dapat dicapai dan dimengerti dari yang umum, melainkan harus diterangi dari diri sendiri. Manusia itu dalam intinya memanng berhubungan dengan yang lain. Dalam proses hubungan dengan yang lain inilah manusia dapat menyelami segala pertanyaan mengenai diri sendiri. Jadi jelas bahwa eksistensi dalam filsafat Karl Jaspers ‘berdiri berhadapan dengan transendensi’ dan itu sama dengan ‘kebebasan yang diberi isi’. Karenanya, dalam pandangan Karl Jaspers, chifer-chifer itu dibaca oleh manusia sejauh manusia itu merupakan ‘eksistensi’. Eksistensi sama dengan kebebasan yang diraih manusia karena manusia adalah bebas.[11]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari urain diatas dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain:
1.      Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang mengakui eksistensi (keberadaan) manusia di dunia ini.
2.      Eksistensi manusia yang dipahami oleh eksistensialisme berbeda dengan keberadaan benda-benda dan makhluk lain dalam dunia. Benda tidak sadar akan keberadaannya, sedangkan manusia menyadari dan menghadapi dunia dengan dirinya sendiri.
3.      Eksistensialisme lahir disebabkan oleh reaksinya terhadap paham idealism dan materialisme yang dipandang telah merendahkan keberadaan manusia.
4.      Pandangan para filosof penganut eksistensialisme terhadap bahasa dapat dilihat dari apa yang dituangkan dalam pemikiran Karl Jaspers.
5.      Manusia sebagai individu (subjek) tidak dapat dipahami dari yang umum, melainkan dengan penelaahan dari dalam diri masing-masinng individu tersebut.
6.      Dalam eksistensialisme filsafat dan bahasa adalah symbol, dimana manusia berhubungan dengan yang lainnya atau dengan istilah ‘berdiri dihadapan transendensi’

Daftar Pustaka

Hadiwijono, Harun Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanius, cet. XXI, 2005
Hasan, Fuad, Kita dan Kami, Jakarta:Bulan Bintang, 1974.
Hidayat, Asep Ahmad, filsafat bahasa: mengungkap hakikat bahasa, makna dan tanda, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006.
Rasjidi, M. Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Suhartono, Suparlan, sejarah pemikiran filsafat modern, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2005.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai Chapra Bandung: Remaja Rosda Karya. 1992.


[1] Fuad Hasan, Kita dan Kami (Jakarta:Bulan Bintang, 1974), hal. 8.
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai Chapra (Bandung: Remaja Rosda Karya, cet. ke-II, 1992), hal. 191.
[3] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanius, cet. XXI, 2005), hal. 148
[4] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah …, hal. 148
[5] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal … hal. 217-218
[6] Suparlan Suhartono, sejarah pemikiran filsafat modern, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2005), hal. 67
[7] M. Rasjidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 407
[8] Asep Ahmad Hidayat, filsafat bahasa: mengungkap hakikat bahasa, makna dan tanda, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006), hal. 179
[9] Asep Ahmad Hidayat, filsafat bahasa: mengungkap … hal. 181
[10] Asep Ahmad Hidayat, filsafat bahasa: mengungkap … hal. 183-184
[11] Asep Ahmad Hidayat, filsafat bahasa: mengungkap … hal. 182

2 komentar: