Rabu, 02 Januari 2013

pengantar tasawuf nusantara


BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
            Secara historis tasawuf telah mengalami perkembangan melalui beberapa tahap, sejak pertumbuhan hingga keadaannya sekarang. Pada tahap awal kemunculannya, tasawuf telah membawa angin segar dalam kancah keIslaman lantaran ajaran maupun amalan yang dilakukan oleh para sufi. Di tengah carut marutnya politik dan semakin merambahnya kecintaan terhadap ke duniawian, Tasawuf hadir menawarkan sebuah solusi yang indah dan efektif.
Pada tahap selanjutnya muncullah beberapa golongan sufi yang mengamalkan amalan dengan tujuan pensucian jiwa dan mendekatan diri kepada Allah Swt, para sufi yang hadir pada periode ini mulai membedakan antara pengertian-pengertian syariah, thariqat, hakikat maupun ma’rifat. Syariat di artikan untuk memperbaiki amalan lahir, sedang thariqat untuk memperbaiki amalan batin, hakikat untuk mengamalkan segala rahasia yang ghaib, adapun ma’rifat merupakan tujuan akhir dari perjalanan spiritual seorang sufi.
Tasawuf yang datang dan berkembang di kepulauan nusantara adalah tasawuf yang sudah terlebih dahulu dirumuskan oleh para sufi yang ada di Timur Tengah. Para sufi yang menyebarkan ajaran tasawufnya di nusantara tinggal berusaha untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Sufi-sufi tersebut ada yang memang sengaja datang dari luar untuk berdakwah di nusantara dan ada pula putra daerah yang belajar langsung ke Timur Tengah kemudian pulang ke tanah air untuk mengembangkan ajarannya.
Paham-paham yang berkembang dalam ajaran tasawuf bagi kepulauan nusantara bukan lah fenomena yang asing dan aneh. Bagi mayoritas masyarakat muslim yang tersebar di seluruh kepulauan nusantara, tasawuf  sudah tertanam dalam hati sejak dari awal. Sejak mengucapkan dua kalimat syahadat (pernyataan masuk Islam), mereka sudah mulai bersentuhan dengan dunia tasawuf, meskipun terkadang tasawufnya hanya bersifat praktis saja.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Tasawuf Nusantara
            Ada berbagai pengertian mengenai tasawuf diantaranya yaitu:
1.      Secara Etimologi (Bahasa)
a)      Berasal dari kata Ahl Al-Shuffah yaitu sebutan bagi orang - orang yang pada zaman Rasulullah Saw. hidup di sebuah gubuk yang dibangun oleh Rasulullah Saw. di sekitar Masjid Madinah, mereka ikut nabi saat hijrah dari Mekah ke Madinah. Karena hijrah dengan meninggalkan harta benda mereka, mereka hidup miskin dan papa, pada akhirnya mereka bertawakal (berserah diri) dan mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah Swt. Mereka tinggal di sekitar masjid nabi dan tidur di atas bangku yang terbuat dari batu dan pelana yang disebut suffah sebagai bantalnya. Kata sofa dalam bahasa Eropa berasal dari kata suffah. Mereka Ahl Al-Suffah berhati dan berakhlak mulia walaupun miskin, itu merupakan sebagian dari sifat-sifat sifat kaum sufi.
b)      Berasal dari kata Shafa' (suci bersih) yaitu sekelompok orang yang menyucikan hati dan jiwanya karena Allah. Sufi berarti orang-orang yang hati dan jiwanya suci bersih dan disinari cahaya hikmah, tauhid, dan kesatuan dengan Allah Swt.
c)      Berasal dari kata shuf (pakaian dari bulu domba atau wol) Mereka di sebut sufi karena memakai kain yang terbuat dari bulu domba. Pakaian yang terbuat dari bulu domba menjadi pakaian khas kaum sufi, bulu domba atau wol saat itu bukanlah wol lembut seperti sekarang melainkan wol yang sangat kasar, itulah lambang dari kesederhanaan pada saat itu. Berbeda dengan orang kaya saat itu yang memakai kain sutra. Mereka hidup sederhana dan miskin tetapi berhati mulia, saat awal suluk (perjalanan menuju Allah dalam agama) mereka hidup sangat wara' (menjaga diri dari berbuat dosa dan maksiat).
d)     Berasal dari wazan “tafa’ala” dalam ilmu tashrif bahasa arab yaitu “tafa’alayatafa’alu- tafa’ulan”, kata tasawuf berarti berasal dari mauzun tashawwafayatashawwafu- tashawwufan”.[1]
2.      Terminologi (istilah)
Dalam arti istilah tasawuf bisa disamakan dengan mistik, yaitu suatu sistem cara bagaimana orang ingin mencapai hubungan yang mesra dengan Tuhan Yang Maha kekal dan Maha Sempurna.[2] Agama manapun, apakah itu Islam, Kristen, Hindu, Budha, Yahudi dan lain sebagainya pasti mempunyai satu aspek yang disebut dengan aspek mistik (mistisisme). Annemarie Schimmel menyatakan bahwa mistik adalah arus besar kerohanian yang mengalir dalam semua agama.[3] Di dalam Islam aspek mistik itu dikenal dengan nama tasawuf atau sufisme. Pandangan seperti ini teguhkan oleh Harun Nasution yang menyatakan bahwa mistisisme dalam Islam diberi nama tasawuf, yang oleh para orientalis barat disebut dengan sufisme. Dengan demikian kata “sufisme” dalam istilah para orientalis barat khusus dipakai untuk menyebut mistisisme atau mistik Islam. Sufisme tidak pernah dipakai untuk menyebut mistisisme yang terdapat dalam agama-agama lain.[4] Oleh sebab itu sebutan tasawuf atau sufisme adalah sebutan yang bersifat khas, yang hanya diperuntukkan untuk menyebut aspek mistik (mistisisme) dalam agama Islam dan tidak untuk agama lain. Sehingga tidak ada tasawuf Kristen, tasawuf Hindu atau pun tasawuf Budha, karena bila disebut tasawuf pasti berkaitan dengan mistik Islam dan tidak untuk agama-agama tersebut.
Para penulis tasawuf memberikan pengertian yang berbeda-beda dalam mendefinisikan tasawuf. Menurut Abu Bakar Aceh tasawuf adalah mencari jalan untuk memperoleh kecintaan dan kesempurnaan rohani.[5] Harun Nasution menyatakan bahwa tasawuf adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan melalui pengasingan diri dan berkontemplasi.  Muhammad Abdul Haq Ansari menyatakan bahwa ketika Abu Husein An-Nuri ditanya tasawuf itu apa, beliau menjawab : tasawuf bukanlah gerak lahiri (rasm) atau pengetahuan (‘ilm), tetapi ia adalah kebajikan (khulq). Al-Junaid menyatakan tasawuf adalah penyerahan dirimu kepada Allah, dan bukan untuk tujuan lain. Sedang Sahl Ibn Abdullah al-Tustari mengatakan tasawuf adalah makan sedikit  demi mencari damai dalam Allah SWT dan menarik diri dari pergaulan ramai. Ma’ruf al-Kharkhi mengatakan tasawuf adalah memilih Tuhan dan berputus asa terhadap apa saja yang ada di tangan para makhluk.[6] Abu Muhammad al-Jurarai menyatakan bahwa tasawuf adalah masuk ke dalam budi menurut contoh yang ditinggalkan Nabi dan keluar dari budi yang rendah.
Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa pengertian tasawuf itu sangat banyak dan beragam (tidak sama). Ibrahim Basyuni bahkan telah memilih 40 definisi tentang tasawuf yang diambil dari rumusan para ahli sufi yang hidup pada abad III, yaitu antara tahun 200-334 H.[7] Namun demikian, definisi itu tetap saja tidak mampu memberikan pengertian yang menyeluruh dan mewakili terhadap makna tasawuf. Dari berbagai pengertian tentang tasawuf yang mungkin sama dan tidak diperselisihkan adalah bahwa tasawuf itu adalah moralitas-moralitas yang berdasarkan Islam. Sebab itu Ibn al-Qayyim dalam Madarij al-Salikin, menyatakan bahwa tasawuf adalah moral. Tasawuf adalah semangat Islam, karena semua hukum Islam berdasarkan landasan moral.
Dari beragam definisi yang telah dikemukakan oleh para tokoh sebelumnya, maka penulis berkesimpulan bahwa tasawuf merupakan sebuah ajaran kebatinan yang terdapat dalam dunia Islam. Dan tasawuf nusantara adalah aliran tasawuf (kebatinan Islam) yang tersebar diseluruh kepulauan nusantara.

3.      Sejarah Kedatangan dan Perkembangan Tasawuf di Nusantara
1.    Sejarah Kedatangan Tasawuf di Nusantara
            Tasawuf merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari pengkajian Islam di Indonesia, Irak Palestina dan lain-lain. Sejak Masuknya Islam ke nusantara, unsur tasawuf  telah mewarnai kehidupan keagamaan masyarakat, bahkan hingga saat inipun, nuansa tasawuf masih kelihatan menjadi bagian yang tidak terhapuskan dari pengalaman keagamaan kaum muslim di nusantara.
Diskusi tentang keberadaan tasawuf di Nusantara berkaitan erat dengan pengkajian proses islamisasi di kawasan ini. Sebab, tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa tersebar luasnya Islam di kepulauan nusantara sebagian besar adalah karena jasa para Sufi.[8] Akan tetapi belakangan ini, sufisme yang melandasi ethos kerja mereka itu, kelihatannya hampir terlupakan dan sedikit demi sedikit mulai dikesampingkan kecuali di kalangan tertentu saja.
Seperti berkembangnya Islam sendiri di Indonesia yang dimulai di kota, begitu pula dengan tasawuf. Setelah itu ia baru merembet ke kawasan pinggiran atau urban, kemudian ke wilayah pedalaman dan pedesaan. Sufi-sufi awal seperti Hasan Basri dan Rabiah al-Adawiyah memulai kegiatannya di Basra, kota yang terletak di sebelah selatan Iraq yang pada abad ke-8-10 M merupakan pusat kebudayaan. Makruf al-Karqi, Junaid al-Baghdadi, dan Mansur al-Hallaj mengajarkan tasawuf di Baghdad yang merupakan pusat kekhalifatan Abbasiyah dan kota metropolitan pada abad ke 8-13 M. `Attar lahir dan besar di Nisyapur, yang pada abad ke 10-15 M merupakan pusat keagamaan, intelektual dan perdagangan terkemuka di Iran.[9]
Bila membicarakan tentang sejarah dan pemikiran tasawuf di nusantara, Aceh memainkan peran yang sangat penting. karena Aceh merupakan wilayah yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah Indonesia khususnya, umumnya dengan Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, dan negara semenanjung malaya. Untuk itu tentang sejarah pemikiran tasawuf di Indonesia, Aceh menempati posisi pertama dan strategis, karena nantinya akan mewarnai perkembangan tasawuf di nusantara secara keseluruhan. Menelusuri aliran ini di nusantara, maka hal ini tidak lepas dari andil orang-orang yang melakukan belajar ke negara Timur Tengah. Diantara para pelopor berkembangnya aliran tasawuf di nusantara, sebagaimana yang disebutkan dibeberapa literatur diantaranya adalah : Nuruddin Ar Raniri ( wafat tahun 1658 M ), Abdur Rauf As Sinkili (1615 -1693 M ), Muhammad Yusuf Al makkasary ( 1629-1699 M ). Mereka ini belajar di kota Makkah, dan lain-lain. [10]
Dari beberapa catatan literatur diperoleh informasi, bahwa orang-orang Indonesia dan Melayu yang belajar di Timur Tengah, kemudian pulang ke Nusantara dan menyebarkan ajaran tasawuf (thariqat) masih banyak lagi. Ada beberapa nama yang perlu di sebutkan disini mengingat keterkaitannya dalam penyebaran tarekat di Indonesia yang hingga sekarang ajarannya masih berwujud. Mereka adalah Abdus Shamad al Palimbani dan Muhammad Arsyad al Banjari (1710,1812 M). Nama terakhir ini termasuk yang mampu merombak wajah Kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan. Bahkan karya bukunya yang banyak dikaji di beberapa wilayah Indonesia dan Asia Tenggara, Sabil Al Muhtadiin, kini diabadikan sebagai nama masjid besar di Kota Banjar Masin, dan masih banyak tokoh-tokoh lainnya.
2.      Perkembangan Ajaran tasawuf di Nusantara
            Sejak kedatangan Islam ke nusantara telah tampak unsur-unsur tasawuf yang mewarnai kehidupan keagamaan masyarakatnya, bahkan hingga saat ini pun nuansa tasawuf masih tampak menjadi bagian  tak terpisahkan dari pengalaman keagamaan sebagian kaum musliminnya.[11]
Para pelopor dakwah di Indonesia, pertama-tama memperkenalkan tauhid kepada orang-orang kala itu yang masih menganut Hindu-Budha. Setelah mereka memeluk Islam para da’i menunjukkan cara terbaik mengaktualisasikan diri dalam proses transformasi spiritualitas dan moralitas keagamaan. Melalui keteladanan yang baik, pendidikan dilancarkan agar terbentuknya sifat-sifat terpuji dan kemampuan melepaskan diri dari sifat-sifat tercela. Meskipun para da’i tidak memproklamasikan aliran tasawufnya, dalam melaksanakan dakwah mereka namun sebenarnya mereka mempraktekkan tradisi dalam tasawuf, sebab tasawuf mengarahkan pada moralitas agama.[12] Hal demikian yang telah dilakukan penyebar Islam awal di Indonesia seperti wali songo dan Syekh Siti Jenar.
Layak diketahui bahwa Wali songo tidak dikenal sebagai sufi karena istilah itu belum popular di kalangan orang-orang Indonesia kecuali pada tahun-tahun belakangan. Itu pun terbatas pada kalangan intelektual. Di kalangan masyarakat umum istilah yang lebih dikenal adalah istilah wali yang dalam pengertian orang Indonesia tidak berbeda dengan konotasinya dalam bahasa arab. Ini membuktikan bawasannya mereka adalah sufi.[13]
Perkembangan Islam yang pada umumnya diketahui adalah digerakkan oleh ulama yang telah disebutkan di atas, dikenal dengan sebutannya wali songo atau wali Sembilan. Dari sebutan itu saj sudah cukup beralasan untuk mengatakan, bahwa mereka adalah penghayat tasawuf yang sudah sampai pada derajat wali “sufi”. Bukti ini diperkuat lagi oleh hikayat jawa (babad jawa) yang mengisahkan drama pertentangan antara sunan giri dan sunan kalijaga di satu pihak melawan Syekh Siti Jenar di pihak lain, adalah petunjuk yang kuat bagaimana kehidupan tasawuf yang berkembang pada masa itu. Para wali itu bukan saja berperan sebagai penyiar islam, tetapi mereka juga ikut berperan kuat pada pusat kekuasaan kerajaan dan karena posisi itu mereka mendapat gelar susuhanan yang bisa disebut Sunan. Dari peran itu mereka “meminjam” menggunakan sedikit kekuasaan kerajaan dalam menyebarkan dan memantapkan ajaran Islam sesuai keyakinan sufisme yang dianut.[14]
Pada generasi Islamisasi. Mungkin, bisa dibilang banyak penyebar Islam di Indonesia yang bernafaskan tasawuf tapi sedikit yang tercatat, di sumatera melahirkan cukup banyak ulama tasawuf,[15] diwakili oleh Hamzah Fansuri, Syamsudin Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, ‘Abd Rauf Singkel, ‘Abd al-Shamad al-Palembangi, Ismail al-Minangkabawi, dan ‘Abd al-Wahhab Rokan. Dari Kalimantan diwakili oleh Muhammad Nafis al-Banjari, dan Ahmad Khatib Sambas. Dari pulau jawa, yaitu oleh Syekh ‘Abdal-Karim dari Banten, KH. A. Shahibulwafa Tajul ‘arifin dari Tasikmalaya, Syekh Muslih ibn ‘Abd al-Rahman dari Mrengen, Jawa tengah, KH. Romly Tamim dari Jombang, dari Indonesia Timur diwakili oleh sekh Yusuf al-Makassari.
Orientasi tasawuf di Indonesia Nampak kental bila ditelisik dari sekian banyak naskah-naskah lama yang berasal dari Sumatra, baik yang ditulis dalam bahasa arab maupun bahasa melayu. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf menjadi unsure yang cukup dominan dalam masyarakat pada masa itu. Kenyataan lain dapat pula ditunjuk dari bagaimana peran ulama dalam struktur kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam di Aceh sampai pada masa Wali Songo di Jawa. Kepemimpinan Raja atau sultan selalu didampingi dan didukung oleh kharisma ulama tasawuf.[16]
Para pelaku tasawuf atau sufi dari awal hingga di Indonesia memperkenalkan ajaran tasawufnya juga dengan beragam polemik yang terjadi dan berkepanjangan, akan tetapi hal itu tidak menjadi pokok yang dipertentangkan oleh masyarakat. Hanya saja menjadi tugas dan kewajiban dalam penyelesaiannya pada tahap level intelektual sufi pada waktu itu.
Proses bergulirnya waktu yang menggiring semuanya sampai pada ruang gerak selanjutnya, hal ini diteruskan oleh kalangan pesantren. Warna sufisme jelmaan dari ajaran tasawuf pun kental terlihat dari nilai anutan mereka yang didominasi ajaran tasawuf al-Ghazali yang bernafaskan aliran tasawuf Sunni. Tidak tertutup juga ditemukan literatur tasawuf-falsafi, seperti Insan Kamil karya Abdul Karim al-Jili serta Futuhat al-Makkiyah dan Fusus al_Hikam karya Ibn `Arabi.[17]
Dalam kaitan dengan di atas, hal ini disebutkan sebagai reformasi tasawuf di Indonesia. Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi Islam yang mendukung dan penghayat ajaran tasawuf. NU cukup berhati-hati dalam meletakkan ajaran tasawufnya demi menghindari penyimpangan dari ajaran tasawuf sufi terdahulu, maka NU meletakkan dasar-dasar tasawufnya sesuai dengan khittah aswaja (Ahlussunnah wal Jama`ah) dalam hal ini Nu membina keselarasan antara tasawuf al-Ghazali dengan tauhid Asy`ariyah dan maturidiyah serta hukum fiqh sesuai dengan salah satu mazhab sunni yang empat. Sedangkan dalam aspek tarekat sebagai aspek lembaga, NU juga memiliki lembaga yang diberi nama Jam`iyyah Thariqoh Mu`tabaroh, yang bersumber dari tasawuf junaid al-Baghdadi.Dengan demikian NU menganut tasawuf, bertasawuf dan pada fase perkembangannya ingin membumikan tasawuf di Indonesia.[18]
Dengan demikian, Nampak jelas kaitan antara tasawuf dan Islam di Indonesia, dalam prosesnya memiliki nuansa yang kental dan sangat kuat. Meskipun terdapat sekelumit polemik perihal yang diajarkan, antara tasawuf sunni dan tasawuf-falsafi. Dengan kehadiran dua aliran tasawuf yang berbeda haluan ini, bahwa bernar telah terjadi tarik-menarik sehingga menjadi sebuah polemik, akan tetapi keduanya saling menguatkan argumen ajarannya masing-masing.[19] sehingga hal itu tidak menjadi bagian yang merusak proses Islamisasi tapi lebih ke proses menerima perbedaan sehingga menjadi warna yang unik dan fleksibel, dimana Islam bisa diterima oleh masyarakat Islam, dari awal hingga sampai saat ini.
Tasawuf tidak pernah terlepas dari pergerakan fase zaman yang terus bergerak maju dan dinamis. Ia menjelmakan dirinya sebagai sesuatu yang layak, diterima dan bisa dipelajari semua kalangan.

4.      Tokoh-Tokoh yang Mengembangkan Tasawuf di Nusantara dan Ajarannya
            Sebenarnya ada banyak tokoh yang ikut andil dalam menyebarkan ajaran tasawuf di nusantara. Namun, dalam makalah ini penulis hanya membahas beberapa tokoh saja, diantaranya:
1.      Hamzah Fansuri (1588-1604 M).
            Beliau adalah tokoh yang mengembangkan aliran wahdatul wujud Ibnu ‘Arabi.[20] Hamzah Fansuri dilahirkan di kota Barus atau Fansur, sekarang merupakan kota kecil Pantai Barat Sumatra, antara Sibolga (Sumatra Utara) dan Singkel (Aceh Selatan). Hamzah Fansuri belajar di berbagai tempat, seperti; Aceh, Jawa, Tanah Melayu, India, Persia, Arab, dsb. Diantara guru yang paling berpengaruh adalah Ibrahim Bin Hasan al- Kurani (Madinah).[21]
            Sekembalinya dari perantauan menuntut ilmu, Hamzah mengajarkan agama di Aceh melalui lembaga pendidikan “Dayah” (pesantren) di Oboh Simpang Kanan, yang merupakan cabang dari Dayah Simpang Kiri yang diasuh oleh kakaknya Syekj Ali Fansuri, ayah dari Abdr Rauf al-Sinkili. Hamzah ternyata tidak hanya beraktifitas sebagai guru, namun juga rajin menulis. Tetapi sangat disayangkan karya-karya Hamzah tersebut tidak lagi ditemukan karena telah dimusnahkan oleh lawan-lawannya yang menentang paham wujudiyah yang dikembangkan oleh Hamzah.[22]
2.      Syamsuddin as-Sumatrani (1575-1630 M)
            Ia adalah murid dari Hamzah Al Fansuri. Hal ini dibuktikan dengan adanya dua karya Syamsuddin yang merupakan ulasan atau syarah terhadap pengajaran Hamzah yaitu: Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri dan Syarah Syair Ikan Tongkol.
Terdapat banyak informasi tentang potret pribadi syeikh Syamsuddin di antaranya: Hikayat Aceh, Adat Aceh, Bustan al-Salathin dan informasi dari pengembara dan peneliti asing. Dari informasi tersebut dijelaskan bahwa Syamsuddin lahir kira-kira 1589 dan wafat 24 Februari 1630 berdasarkan informasi Deny Lombard. Syaikh Syamsuddin banyak melahirkan karya bermutu seperti: Jawhar al-Haqaiq, Risalah Tubayyin Mulahazah, Nur al-Daqaiq, Thariq al-Sahlikin, I’raj al-Iman dan karya lainnya. Syamsuddin menguasai beberapa bahasa, tapi karya-karyanya kebanyakan ditulis dalam bahasa Melayu dan Arab.          Pemberian makna “Tiada wujud selain Allah” bagi kalimat tauhid la ilaha illa Allah hanya dilakukan oleh kalangan sufi penganut paham wujudiyyah saja, dan itu menjadi ciri khas yang membedakan kalangan penganut paham wujudiyyah dengan kalangan sufi lainnya. Pengakuan bahwa tidak ada wujud selain Allah disebut dalam pengajaran Syamsuddin sebagai tauhid hakiki (al-tawhid al-haqiqi) atau tauhid yang murni (al-tawhid al-khalish). Menurutnya, tauhid hakiki atau tauhid murni itu baru ada pada seseorang jika ia mengakui bahwa tidak ada pelaku atau pembuat selain Allah, tidak ada yang ditaati atau disembah selain Allah dan tidak ada wujud selain Allah.
Syamsuddin, dalam pengajarannya tentang maksud kalimat-kalimat tauhid itu, juga mengingatkan pengikutnya tentang perbedaan pendirian mereka sebagai penganut tauhid yang benar (al-muwahhidin al-shiddiqin) dengan kaum yang ia sebut sebagai orang-orang zindiq. Menurutnya kedua pihak itu sepakat dalam hal menetapkan maksud kalimat tauhid la ilaha illa Allah, yakni tiada wujud selain Allah, sedangkan wujud sekalian alam adalah bersifat bayang-bayang, majazi atau fatamorgana, dibandingkan dengan wujud Allah. Sedangkan paham kaum zindiq, wujud Tuhan tidak ada kecuali dengan kandungan wujud alam seluruhnya; semua wujud alam adalah wujud Tuhan dan wujud Tuhan adalah wujud alam, baik dari segi wujud maupun dari segi ta’ayyunta’ayyun (penampakan-penampakan). Mereka menetapkan kesatuan hakiki dalam kejamakan alam tanpa membedakan martabat Tuhan dengan alam.[23] Paham demikian, menurut Syamsuddin adalah paham batil, tidak benar dan ditolak oleh penganut tauhid yang benar.
3.      Abdurrauf as-Singkili (1620-1693 M)
            Beliau adalah seorang ulama dan mufti besar Kerajaan Aceh pada abad ke XVII. Nama lengkapnya adalah Syeikh Abdur Rauf bin Ali Al-Fansuri. Sejarah telah mencatat bahwa As-Sankli merupakan murid dari dua orang ulama sufi yang menetap di Mekah dan Madinah. Sebelum As-Sankili membawa ajaran tasawufnya, di Aceh telah berkembang ajaran tasawuf Falsafi, yaitu tasawuf wujudiyah yang kemudian dikenal dengan nama wahdad Al-Wujud. As-Sankili berusaha merekonsiliasi antara tasawuf dan syari’at. Ajaran tasawufnya sama dengan Syamsuddin dan Nuruddin yaitu menganut paham satu-satunya wujud Hakiki, yakni Allah. Alam dan manusia ciptaan-Nya bukanlah merupakan wujud yang hakiki, tetapi bayangan dari yang hakiki.[24]
4.      Yusuf al Makassari (1629 M)
            Beliau adalah seorang tokoh sufi agung yang berasal dari Sulawesi. Ia dilahirkan pada tanggal 8 Syawal 1036 H atau bersamaan dengan 3 Juli 1629 M, yaitu ketika Sulawesi baru saja kedatangan tiga orang penyebar islam yaitu Datuk Ri Bandang dan Kawan-kawannya dari Minangkabau. Dalam salah satu karangannya dia menulisbelakang namanya dengan bahasa Arab “Al Makasari”, yaitu nama kota di Sulawesi Selatan (Ujung Pandang).
            Berbeda dengan kecenderugan sufisme pada masa-masa awal yang mengelakkan kehidupan duniawi Syeikh Yusuf mengungkapkan paradigma Sufistiknya bertolak dari asumsi dasar bahwa ajaran Islam meliputi dua aspek, yaitu aspek lahir (syari’at) dan aspek batin (hakikat). Syari’at dan hakikat harus dipandang dan diamalkan sebagai suatu kesatuan.[25]
Meskipun berpegang teguh pada transedensi Tuhan, ia meyakini bahwa Tuhan melingkupi segala sesuatu dan selalu dekat dengan sesuatu. Berkenaan dengan cara-cara menuju Tuhan, ia membaginya dalam tiga tingkatan. Pertama, tingkatan akhyar (orang-orang terbaik) yaitu degan memperbanyak shalat, Puasa, membaca Al-Qur’an, naik Haji, dan berjihad di jalan Allah. Kedua, cara Mujahadat Asy-Syaqa’ batin dengan (orang-orang yang berjuang melawan kesulitan), yaitu latihan batin yang keras untuk melepaskan perilaku buruk dan menyucikan pikiran dan batin dengan lebih memperbanyak amalan batin dan melipatgandakan amalan-amalan lahir. Ketiga cara ahli ad-dzikir, yakni jalan bagi orang yang telah kasyaf untuk berhubungan dengan Tuhan, yaitu orang-orang yang mencintai Tuhan, baik lahir maupun batin. Mereka sangat menjaga keseimbangan kedua aspek ketaatan itu.[26]


BAB III
PENUTUP


Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain:
a)      Tasawuf adalah ajaran kebatinan yang terdapat dalam dunia Islam
b)      Tasawuf nusantara merupakan ajaran atau aliran kebatinan Islam yang tersebar dikepulauan nusantara.
c)      Ajaran tasawuf berkembang di nusantara seiring dengan kedatangan Islam di kawasan tersebut.
d)     Ajaran tasawuf merupakan paham yang sangat fleksibel dan universal. Tasawuf bisa menyesuaikan dirinya dengan kebutuhan masyarakat menurut zamannya masing-masing. Tasawuf juga mudah merasuk dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat karena aspek kesederhanaan yang begitu menyentuh dan mengagumkan.
e)      Kebanyakan para tokoh awal yang menyebarkan tasawuf di nusantara berasal dari Aceh.
f)       Tasawuf yang dikembangkan di nusantara berupa tasawuf akhlaqi dan falsafi.
g)      Pada dasarnya, tasawuf yang ada di nusantara adalah tasawuf yang diadopsi dari Timur Tengah. Kemudian diimplementasikan dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat nusantara.
h)      Peristiwa-peristiwa tentang klaim sesat terhadap salah satu ajaran tasawuf yang berujung pada hukuman mati penggagasnya seperti yang terjadi di Timur Tengah juga terjadi di nusantara. Diantara tokoh-tokoh yang dianggap sesat ajaran tasawufnya adalah Hamzah Fansuri dan Syekh Siti Jenar. Walaupun ada banyak pihak yang menolak keduanya dikatakan sesat.
i)        Pendekatan yang digunakan dalam tasawuf adalah pendekatan kebatinan. Akan sangat sulit bahkan idak bisa memahami tasawuf jika ada pihak yang memberikan penilaian terhadap tasawuf dari luarnya saja tanpa terlibat langsung di dalamnya. Sebab, berbicara tasawuf adalah tentang pengalaman batiniah, yang terkadang tidak dapat dicerna oleh akal manusia (irrasional).


Daftar Pustaka

Anshari, Endang Saifudin, Wawasan Islam, Jakarta: Rajawali, 1991.
Anshari, Muhammad Abdul Haq, Merajut Tradisi Syari’ah Dengan Sufisme, Jakarta: Srigunting,1997.
Anwar, Rosihan dan  M. Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Media. 2007.
Asmaran.AS, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: Rajawali Pers,1994.
Damanhuri, akhlak tasawuf, Banda Aceh, peNA, 2010.
Daudi, Ahmad, Syekh Nuruddin Ar-Raniry; Sejarah Karya dan Sanggahan Terhadap Wujudiyyah di Aceh, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Hamid, Abu, Syeih Yusuf Seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang, Jakarta Yayasan Obor,1994.
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemeurniannya, Jakarta: Panjimas, cet. 12, 1993.
Huda, Sokhi, Tasawuf Kultural: Fenomena shalawat Wahidiyah, Yogyakarta: LKiS, 2008.
Mulyati, Sri, Tasawuf  Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, Jakarta: Kencana, 2006.
Muradi, Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang: Karya Toha Putra, 2006.
Nasution, Harun Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta: Abdi Utama,  jilid I, 1992.
_____________, Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik Dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, Jakarta: Rajawali Pers,1996.
Siregar, A. Rivay, Tasawuf : Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta: Raja Grafindo Persada, , Cetakan Kedua, Edisi Revisi, 2002.
http://izubed.blogspot.com/2012/05/perkembangan-tasawuf-dan-tarekat.html



[1]Abi al-Qasim ‘Abd al-Karim ibn Hawazan al-Qusyasyri al-Nizafur, Al-Risalah al-Qusyayriyyah, (Kairo: Mustafa al-Bab al-Halabi, 1959), hal. 138
[2] Endang Saifudin Anshari, Wawasan Islam, (Jakarta: Rajawali, 1991), hal. 127
[3] Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), hal. 2
[4] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hal. 56
[5] Muhammad Abdul Haq Anshari, Merajut Tradisi Syari’ah Dengan Sufisme, (Jakarta: Srigunting,1997), hal.40
[6] Lihat dalam Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,1996), hal. 43
[7] Lihat dalam Asmaran.AS, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers,1994), hal. 49
[8] A.H. John, Islam in South Asia, ( London:1965), hal. 166
[9] Muradi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Semarang: Karya Toha Putra, 2006), hal. 20
[10] http://izubed.blogspot.com/2012/05/perkembangan-tasawuf-dan-tarekat.html
[11] Sri Mulyati, Tasawuf  Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 1
[12] Alwi Shihab, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf  Falsafi: Akar Tasawuf Di Indonesia, hal. 59
[13] Alwi Shihab, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf… hal. 59-60.
[14] A. Rivay Siregar, Tasawuf : Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, , Cetakan Kedua, Edisi Revisi, 2002),  hal. 218.
[15] Sri Mulyati, Tasawuf  Nusantara: Rangkaian Mutiara… hal. 73-200
[16] A. Rivay Siregar, Tasawuf : Dari Sufisme Klasik… hal. 215.
[17] LP3ES, Profil Pesantren, 1974: 35, dalam A. Rivay Siregar, Tasawuf : Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, , Cetakan Kedua, Edisi Revisi, 2002), hal. 218.
[18] Abdurrahman Wahid, kata pengantar, dalam Syamsun Ni’am,  The Wisdom Of KH Achmad Siddiq: Membumikan Tasawuf, (Surabaya: Erlangga, 2006), hal. xv-xvi.
[19] Sokhi Huda, Tasawuf Kultural: Fenomena shalawat Wahidiyah, (Yogyakarta: LKiS, 2008), hal. 79.
[20] Damanhuri, akhlak tasawuf, (Banda Aceh, peNA, 2010), hal. 226
[21] http://taurylubiz.blogspot.com/2011/05/tokoh-tokoh-tasawwuf-di-indonesia.html
[22] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemeurniannya, (Jakarta: Panjimas, cet. 12, 1993), hal. 30
[23] Ahmad Daudi, Syekh Nuruddin Ar-Raniry; Sejarah Karya dan Sanggahan Terhadap Wujudiyyah di Aceh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hal. 8
[24] Harun Nasution, Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta: Abdi Utama,  jilid I, 1992), hal. 33
[25] Abu Hamid, Syeih Yusuf Seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang, (Jakarta Yayasan Obor,1994), hal. 173.
[26] Rosihan Anwar, dan  M. Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Media. 2007), hal. 178

1 komentar: