BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Secara historis tasawuf telah
mengalami perkembangan melalui beberapa tahap, sejak pertumbuhan hingga
keadaannya sekarang. Pada tahap awal kemunculannya, tasawuf telah membawa angin
segar dalam kancah keIslaman lantaran ajaran maupun amalan yang dilakukan oleh para sufi.
Di tengah carut marutnya politik dan semakin merambahnya kecintaan terhadap ke
duniawian, Tasawuf hadir menawarkan sebuah solusi yang indah dan efektif.
Pada tahap selanjutnya muncullah beberapa golongan sufi yang mengamalkan
amalan dengan tujuan pensucian jiwa dan mendekatan diri kepada Allah Swt, para
sufi yang hadir pada periode ini mulai membedakan antara pengertian-pengertian syariah,
thariqat, hakikat maupun ma’rifat. Syariat di artikan untuk
memperbaiki amalan lahir, sedang thariqat untuk memperbaiki amalan
batin, hakikat untuk mengamalkan segala rahasia yang ghaib, adapun ma’rifat
merupakan tujuan akhir dari perjalanan spiritual seorang sufi.
Tasawuf yang datang dan berkembang di kepulauan nusantara adalah
tasawuf yang sudah terlebih dahulu dirumuskan oleh para sufi yang ada di Timur
Tengah. Para sufi yang menyebarkan ajaran tasawufnya di nusantara tinggal
berusaha untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat.
Sufi-sufi tersebut ada yang memang sengaja datang dari luar untuk berdakwah di
nusantara dan ada pula putra daerah yang belajar langsung ke Timur Tengah
kemudian pulang ke tanah air untuk mengembangkan ajarannya.
Paham-paham yang berkembang dalam ajaran tasawuf bagi kepulauan
nusantara bukan lah fenomena yang asing dan aneh. Bagi mayoritas masyarakat
muslim yang tersebar di seluruh kepulauan nusantara, tasawuf sudah tertanam dalam hati sejak dari awal.
Sejak mengucapkan dua kalimat syahadat (pernyataan masuk Islam), mereka
sudah mulai bersentuhan dengan dunia tasawuf, meskipun terkadang tasawufnya
hanya bersifat praktis saja.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tasawuf Nusantara
Ada
berbagai pengertian mengenai tasawuf diantaranya yaitu:
1.
Secara
Etimologi (Bahasa)
a)
Berasal
dari kata Ahl Al-Shuffah yaitu sebutan bagi orang - orang yang pada
zaman Rasulullah Saw. hidup di sebuah gubuk yang dibangun oleh Rasulullah Saw.
di sekitar Masjid Madinah, mereka ikut nabi saat hijrah dari Mekah ke Madinah.
Karena hijrah dengan meninggalkan harta benda mereka, mereka hidup miskin dan
papa, pada akhirnya mereka bertawakal (berserah diri) dan mengabdikan hidupnya
untuk beribadah kepada Allah Swt. Mereka tinggal di sekitar masjid nabi dan tidur
di atas bangku yang terbuat dari batu dan pelana yang disebut suffah sebagai
bantalnya. Kata sofa dalam bahasa Eropa berasal dari kata suffah.
Mereka Ahl Al-Suffah berhati dan berakhlak mulia walaupun miskin, itu
merupakan sebagian dari sifat-sifat sifat kaum sufi.
b)
Berasal
dari kata Shafa' (suci bersih) yaitu sekelompok orang yang menyucikan
hati dan jiwanya karena Allah. Sufi berarti orang-orang yang hati dan jiwanya
suci bersih dan disinari cahaya hikmah, tauhid, dan kesatuan dengan Allah Swt.
c)
Berasal
dari kata shuf (pakaian dari bulu domba atau wol) Mereka di sebut sufi
karena memakai kain yang terbuat dari bulu domba. Pakaian yang terbuat dari
bulu domba menjadi pakaian khas kaum sufi, bulu domba atau wol saat itu
bukanlah wol lembut seperti sekarang melainkan wol yang sangat kasar, itulah
lambang dari kesederhanaan pada saat itu. Berbeda dengan orang kaya saat itu
yang memakai kain sutra. Mereka hidup sederhana dan miskin tetapi berhati
mulia, saat awal suluk (perjalanan menuju Allah dalam agama) mereka hidup
sangat wara' (menjaga diri dari berbuat dosa dan maksiat).
d)
Berasal
dari wazan “tafa’ala” dalam ilmu tashrif bahasa arab yaitu “tafa’alayatafa’alu-
tafa’ulan”, kata tasawuf berarti berasal dari mauzun “tashawwafayatashawwafu-
tashawwufan”.[1]
2.
Terminologi (istilah)
Dalam
arti istilah tasawuf bisa disamakan dengan mistik, yaitu suatu sistem cara
bagaimana orang ingin mencapai hubungan yang mesra dengan Tuhan Yang Maha kekal
dan Maha Sempurna.[2]
Agama manapun, apakah itu Islam, Kristen, Hindu, Budha, Yahudi dan lain
sebagainya pasti mempunyai satu aspek yang disebut dengan aspek mistik (mistisisme).
Annemarie Schimmel menyatakan bahwa mistik adalah arus besar kerohanian yang
mengalir dalam semua agama.[3] Di
dalam Islam aspek mistik itu dikenal dengan nama tasawuf atau sufisme.
Pandangan seperti ini teguhkan oleh Harun Nasution yang menyatakan bahwa
mistisisme dalam Islam diberi nama tasawuf, yang oleh para orientalis barat
disebut dengan sufisme. Dengan demikian kata “sufisme” dalam istilah para
orientalis barat khusus dipakai untuk menyebut mistisisme atau mistik Islam.
Sufisme tidak pernah dipakai untuk menyebut mistisisme yang terdapat dalam
agama-agama lain.[4]
Oleh sebab itu sebutan tasawuf atau sufisme adalah sebutan yang bersifat khas,
yang hanya diperuntukkan untuk menyebut aspek mistik (mistisisme) dalam agama
Islam dan tidak untuk agama lain. Sehingga tidak ada tasawuf Kristen, tasawuf
Hindu atau pun tasawuf Budha, karena bila disebut tasawuf pasti berkaitan
dengan mistik Islam dan tidak untuk agama-agama tersebut.
Para
penulis tasawuf memberikan pengertian yang berbeda-beda dalam mendefinisikan
tasawuf. Menurut Abu Bakar Aceh tasawuf adalah mencari jalan untuk memperoleh
kecintaan dan kesempurnaan rohani.[5]
Harun Nasution menyatakan bahwa tasawuf adalah kesadaran akan adanya komunikasi
dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan melalui pengasingan diri dan
berkontemplasi. Muhammad Abdul Haq
Ansari menyatakan bahwa ketika Abu Husein An-Nuri ditanya tasawuf itu apa,
beliau menjawab : tasawuf bukanlah gerak lahiri (rasm) atau pengetahuan
(‘ilm), tetapi ia adalah kebajikan (khulq). Al-Junaid menyatakan
tasawuf adalah penyerahan dirimu kepada Allah, dan bukan untuk tujuan lain.
Sedang Sahl Ibn Abdullah al-Tustari mengatakan tasawuf adalah makan
sedikit demi mencari damai dalam Allah
SWT dan menarik diri dari pergaulan ramai. Ma’ruf al-Kharkhi mengatakan tasawuf
adalah memilih Tuhan dan berputus asa terhadap apa saja yang ada di tangan para
makhluk.[6]
Abu Muhammad al-Jurarai menyatakan bahwa tasawuf adalah masuk ke dalam budi
menurut contoh yang ditinggalkan Nabi dan keluar dari budi yang rendah.
Dengan
demikian dapat kita ketahui bahwa pengertian tasawuf itu sangat banyak dan
beragam (tidak sama). Ibrahim Basyuni bahkan telah memilih 40 definisi tentang
tasawuf yang diambil dari rumusan para ahli sufi yang hidup pada abad III,
yaitu antara tahun 200-334 H.[7]
Namun demikian, definisi itu tetap saja tidak mampu memberikan pengertian yang
menyeluruh dan mewakili terhadap makna tasawuf. Dari berbagai pengertian
tentang tasawuf yang mungkin sama dan tidak diperselisihkan adalah bahwa
tasawuf itu adalah moralitas-moralitas yang berdasarkan Islam. Sebab itu Ibn
al-Qayyim dalam Madarij al-Salikin, menyatakan bahwa tasawuf adalah moral.
Tasawuf adalah semangat Islam, karena semua hukum Islam berdasarkan landasan
moral.
Dari
beragam definisi yang telah dikemukakan oleh para tokoh sebelumnya, maka
penulis berkesimpulan bahwa tasawuf merupakan sebuah ajaran kebatinan yang
terdapat dalam dunia Islam. Dan tasawuf nusantara adalah aliran tasawuf
(kebatinan Islam) yang tersebar diseluruh kepulauan nusantara.
3.
Sejarah Kedatangan dan Perkembangan Tasawuf di Nusantara
1.
Sejarah Kedatangan Tasawuf di Nusantara
Tasawuf
merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari pengkajian Islam di
Indonesia, Irak Palestina dan lain-lain. Sejak Masuknya Islam ke nusantara,
unsur tasawuf telah mewarnai kehidupan keagamaan masyarakat,
bahkan hingga saat inipun, nuansa tasawuf masih kelihatan menjadi bagian yang
tidak terhapuskan dari pengalaman keagamaan kaum muslim di nusantara.
Diskusi tentang
keberadaan tasawuf di Nusantara berkaitan erat dengan pengkajian proses
islamisasi di kawasan ini. Sebab, tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa
tersebar luasnya Islam di kepulauan nusantara sebagian besar adalah karena jasa
para Sufi.[8]
Akan tetapi belakangan ini, sufisme yang melandasi ethos kerja mereka itu,
kelihatannya hampir terlupakan dan sedikit demi sedikit mulai dikesampingkan
kecuali di kalangan tertentu saja.
Seperti berkembangnya Islam sendiri di Indonesia yang dimulai di
kota, begitu pula dengan tasawuf. Setelah itu ia baru merembet ke kawasan
pinggiran atau urban, kemudian ke wilayah pedalaman dan pedesaan. Sufi-sufi
awal seperti Hasan Basri dan Rabiah al-Adawiyah memulai kegiatannya di Basra,
kota yang terletak di sebelah selatan Iraq yang pada abad ke-8-10 M merupakan
pusat kebudayaan. Makruf al-Karqi, Junaid al-Baghdadi, dan Mansur al-Hallaj
mengajarkan tasawuf di Baghdad yang merupakan pusat kekhalifatan Abbasiyah dan
kota metropolitan pada abad ke 8-13 M. `Attar lahir dan besar di Nisyapur, yang
pada abad ke 10-15 M merupakan pusat keagamaan, intelektual dan perdagangan
terkemuka di Iran.[9]
Bila
membicarakan tentang sejarah dan pemikiran tasawuf di nusantara, Aceh memainkan
peran yang sangat penting. karena Aceh merupakan wilayah yang tidak dapat
dipisahkan dari sejarah Indonesia khususnya, umumnya dengan Malaysia, Thailand,
Brunei Darussalam, dan negara semenanjung malaya. Untuk itu tentang sejarah
pemikiran tasawuf di Indonesia, Aceh menempati posisi pertama dan strategis,
karena nantinya akan mewarnai perkembangan tasawuf di nusantara secara
keseluruhan. Menelusuri aliran ini di nusantara, maka hal ini tidak lepas dari andil
orang-orang yang melakukan belajar ke negara Timur Tengah. Diantara para
pelopor berkembangnya aliran tasawuf di nusantara, sebagaimana yang disebutkan
dibeberapa literatur diantaranya adalah : Nuruddin Ar Raniri ( wafat tahun 1658
M ), Abdur Rauf As Sinkili (1615 -1693 M ), Muhammad Yusuf Al makkasary (
1629-1699 M ). Mereka ini belajar di kota Makkah, dan lain-lain. [10]
Dari beberapa
catatan literatur diperoleh informasi, bahwa orang-orang Indonesia dan Melayu
yang belajar di Timur Tengah, kemudian pulang ke Nusantara dan menyebarkan
ajaran tasawuf (thariqat) masih banyak lagi. Ada beberapa nama yang
perlu di sebutkan disini mengingat keterkaitannya dalam penyebaran tarekat di
Indonesia yang hingga sekarang ajarannya masih berwujud. Mereka adalah Abdus Shamad
al Palimbani dan Muhammad Arsyad al Banjari (1710,1812 M). Nama terakhir ini
termasuk yang mampu merombak wajah Kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan.
Bahkan karya bukunya yang banyak dikaji di beberapa wilayah Indonesia dan Asia
Tenggara, Sabil Al Muhtadiin, kini diabadikan sebagai nama masjid besar di Kota
Banjar Masin, dan masih banyak tokoh-tokoh lainnya.
2.
Perkembangan Ajaran tasawuf di Nusantara
Sejak
kedatangan Islam ke nusantara telah tampak unsur-unsur tasawuf yang mewarnai
kehidupan keagamaan masyarakatnya, bahkan hingga saat ini pun nuansa tasawuf
masih tampak menjadi bagian tak
terpisahkan dari pengalaman keagamaan sebagian kaum musliminnya.[11]
Para pelopor
dakwah di Indonesia, pertama-tama memperkenalkan tauhid kepada orang-orang kala
itu yang masih menganut Hindu-Budha. Setelah mereka memeluk Islam para da’i
menunjukkan cara terbaik mengaktualisasikan diri dalam proses transformasi
spiritualitas dan moralitas keagamaan. Melalui keteladanan yang baik,
pendidikan dilancarkan agar terbentuknya sifat-sifat terpuji dan kemampuan
melepaskan diri dari sifat-sifat tercela. Meskipun para da’i tidak
memproklamasikan aliran tasawufnya, dalam melaksanakan dakwah mereka namun
sebenarnya mereka mempraktekkan tradisi dalam tasawuf, sebab tasawuf
mengarahkan pada moralitas agama.[12] Hal
demikian yang telah dilakukan penyebar Islam awal di Indonesia seperti wali
songo dan Syekh Siti Jenar.
Layak diketahui
bahwa Wali songo tidak dikenal sebagai sufi karena istilah itu belum popular di
kalangan orang-orang Indonesia kecuali pada tahun-tahun belakangan. Itu pun
terbatas pada kalangan intelektual. Di kalangan masyarakat umum istilah yang
lebih dikenal adalah istilah wali yang dalam pengertian orang Indonesia tidak
berbeda dengan konotasinya dalam bahasa arab. Ini membuktikan bawasannya mereka
adalah sufi.[13]
Perkembangan
Islam yang pada umumnya diketahui adalah digerakkan oleh ulama yang telah
disebutkan di atas, dikenal dengan sebutannya wali songo atau wali Sembilan.
Dari sebutan itu saj sudah cukup beralasan untuk mengatakan, bahwa mereka
adalah penghayat tasawuf yang sudah sampai pada derajat wali “sufi”. Bukti ini
diperkuat lagi oleh hikayat jawa (babad jawa) yang mengisahkan drama
pertentangan antara sunan giri dan sunan kalijaga di satu pihak melawan Syekh
Siti Jenar di pihak lain, adalah petunjuk yang kuat bagaimana kehidupan tasawuf
yang berkembang pada masa itu. Para wali itu bukan saja berperan sebagai
penyiar islam, tetapi mereka juga ikut berperan kuat pada pusat kekuasaan
kerajaan dan karena posisi itu mereka mendapat gelar susuhanan yang bisa disebut
Sunan. Dari peran itu mereka “meminjam” menggunakan sedikit kekuasaan kerajaan
dalam menyebarkan dan memantapkan ajaran Islam sesuai keyakinan sufisme yang
dianut.[14]
Pada generasi
Islamisasi. Mungkin, bisa dibilang banyak penyebar Islam di Indonesia yang
bernafaskan tasawuf tapi sedikit yang tercatat, di sumatera melahirkan cukup
banyak ulama tasawuf,[15]
diwakili oleh Hamzah Fansuri, Syamsudin Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, ‘Abd
Rauf Singkel, ‘Abd al-Shamad al-Palembangi, Ismail al-Minangkabawi, dan ‘Abd al-Wahhab
Rokan. Dari Kalimantan diwakili oleh Muhammad Nafis al-Banjari, dan Ahmad
Khatib Sambas. Dari pulau jawa, yaitu oleh Syekh ‘Abdal-Karim dari Banten, KH.
A. Shahibulwafa Tajul ‘arifin dari Tasikmalaya, Syekh Muslih ibn ‘Abd al-Rahman
dari Mrengen, Jawa tengah, KH. Romly Tamim dari Jombang, dari Indonesia Timur
diwakili oleh sekh Yusuf al-Makassari.
Orientasi
tasawuf di Indonesia Nampak kental bila ditelisik dari sekian banyak
naskah-naskah lama yang berasal dari Sumatra, baik yang ditulis dalam bahasa
arab maupun bahasa melayu. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf menjadi
unsure yang cukup dominan dalam masyarakat pada masa itu. Kenyataan lain dapat
pula ditunjuk dari bagaimana peran ulama dalam struktur kekuasaan
kerajaan-kerajaan Islam di Aceh sampai pada masa Wali Songo di Jawa.
Kepemimpinan Raja atau sultan selalu didampingi dan didukung oleh kharisma
ulama tasawuf.[16]
Para pelaku
tasawuf atau sufi dari awal hingga di Indonesia memperkenalkan ajaran
tasawufnya juga dengan beragam polemik yang terjadi dan berkepanjangan, akan
tetapi hal itu tidak menjadi pokok yang dipertentangkan oleh masyarakat. Hanya
saja menjadi tugas dan kewajiban dalam penyelesaiannya pada tahap level
intelektual sufi pada waktu itu.
Proses
bergulirnya waktu yang menggiring semuanya sampai pada ruang gerak selanjutnya,
hal ini diteruskan oleh kalangan pesantren. Warna sufisme jelmaan dari ajaran
tasawuf pun kental terlihat dari nilai anutan mereka yang didominasi ajaran
tasawuf al-Ghazali yang bernafaskan aliran tasawuf Sunni. Tidak tertutup juga
ditemukan literatur tasawuf-falsafi, seperti Insan Kamil karya Abdul
Karim al-Jili serta Futuhat al-Makkiyah dan Fusus al_Hikam karya
Ibn `Arabi.[17]
Dalam kaitan
dengan di atas, hal ini disebutkan sebagai reformasi tasawuf di Indonesia.
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi Islam yang mendukung dan penghayat
ajaran tasawuf. NU cukup berhati-hati dalam meletakkan ajaran tasawufnya demi
menghindari penyimpangan dari ajaran tasawuf sufi terdahulu, maka NU meletakkan
dasar-dasar tasawufnya sesuai dengan khittah aswaja (Ahlussunnah wal
Jama`ah) dalam hal ini Nu membina keselarasan antara tasawuf al-Ghazali dengan
tauhid Asy`ariyah dan maturidiyah serta hukum fiqh sesuai dengan salah satu
mazhab sunni yang empat. Sedangkan dalam aspek tarekat sebagai aspek lembaga,
NU juga memiliki lembaga yang diberi nama Jam`iyyah Thariqoh Mu`tabaroh, yang
bersumber dari tasawuf junaid al-Baghdadi.Dengan demikian NU menganut tasawuf,
bertasawuf dan pada fase perkembangannya ingin membumikan tasawuf di Indonesia.[18]
Dengan
demikian, Nampak jelas kaitan antara tasawuf dan Islam di Indonesia, dalam
prosesnya memiliki nuansa yang kental dan sangat kuat. Meskipun terdapat
sekelumit polemik perihal yang diajarkan, antara tasawuf sunni dan
tasawuf-falsafi. Dengan kehadiran dua aliran tasawuf yang berbeda haluan ini,
bahwa bernar telah terjadi tarik-menarik sehingga menjadi sebuah polemik, akan
tetapi keduanya saling menguatkan argumen ajarannya masing-masing.[19]
sehingga hal itu tidak menjadi bagian yang merusak proses Islamisasi tapi lebih
ke proses menerima perbedaan sehingga menjadi warna yang unik dan fleksibel,
dimana Islam bisa diterima oleh masyarakat Islam, dari awal hingga sampai saat
ini.
Tasawuf tidak
pernah terlepas dari pergerakan fase zaman yang terus bergerak maju dan
dinamis. Ia menjelmakan dirinya sebagai sesuatu yang layak, diterima dan bisa
dipelajari semua kalangan.
4.
Tokoh-Tokoh yang Mengembangkan Tasawuf di Nusantara dan Ajarannya
Sebenarnya ada banyak tokoh yang
ikut andil dalam menyebarkan ajaran tasawuf di nusantara. Namun, dalam makalah
ini penulis hanya membahas beberapa tokoh saja, diantaranya:
1.
Hamzah Fansuri (1588-1604 M).
Beliau
adalah tokoh yang mengembangkan aliran wahdatul wujud Ibnu ‘Arabi.[20]
Hamzah Fansuri dilahirkan di kota Barus atau Fansur, sekarang merupakan kota
kecil Pantai Barat Sumatra, antara Sibolga (Sumatra Utara) dan Singkel (Aceh
Selatan). Hamzah Fansuri belajar di berbagai tempat, seperti; Aceh, Jawa, Tanah
Melayu, India, Persia, Arab, dsb. Diantara guru yang paling berpengaruh adalah
Ibrahim Bin Hasan al- Kurani (Madinah).[21]
Sekembalinya
dari perantauan menuntut ilmu, Hamzah mengajarkan agama di Aceh melalui lembaga
pendidikan “Dayah” (pesantren) di Oboh Simpang Kanan, yang merupakan cabang
dari Dayah Simpang Kiri yang diasuh oleh kakaknya Syekj Ali Fansuri, ayah dari
Abdr Rauf al-Sinkili. Hamzah ternyata tidak hanya beraktifitas sebagai guru,
namun juga rajin menulis. Tetapi sangat disayangkan karya-karya Hamzah tersebut
tidak lagi ditemukan karena telah dimusnahkan oleh lawan-lawannya yang
menentang paham wujudiyah yang dikembangkan oleh Hamzah.[22]
2.
Syamsuddin as-Sumatrani (1575-1630 M)
Ia adalah murid dari Hamzah Al
Fansuri. Hal ini dibuktikan dengan adanya dua karya Syamsuddin yang merupakan
ulasan atau syarah terhadap pengajaran Hamzah yaitu: Syarah Ruba’i Hamzah
Fansuri dan Syarah Syair Ikan Tongkol.
Terdapat banyak informasi tentang potret pribadi syeikh Syamsuddin di
antaranya: Hikayat Aceh, Adat Aceh, Bustan al-Salathin dan informasi
dari pengembara dan peneliti asing. Dari informasi tersebut dijelaskan bahwa
Syamsuddin lahir kira-kira 1589 dan wafat 24 Februari 1630 berdasarkan
informasi Deny Lombard. Syaikh Syamsuddin banyak melahirkan karya bermutu
seperti: Jawhar al-Haqaiq, Risalah Tubayyin Mulahazah, Nur al-Daqaiq, Thariq
al-Sahlikin, I’raj al-Iman dan karya lainnya. Syamsuddin menguasai beberapa
bahasa, tapi karya-karyanya kebanyakan ditulis dalam bahasa Melayu dan
Arab. Pemberian makna
“Tiada wujud selain Allah” bagi kalimat tauhid la ilaha illa Allah hanya
dilakukan oleh kalangan sufi penganut paham wujudiyyah saja, dan itu menjadi
ciri khas yang membedakan kalangan penganut paham wujudiyyah dengan kalangan
sufi lainnya. Pengakuan bahwa tidak ada wujud selain Allah disebut dalam pengajaran
Syamsuddin sebagai tauhid hakiki (al-tawhid al-haqiqi) atau tauhid yang
murni (al-tawhid al-khalish). Menurutnya, tauhid hakiki atau tauhid
murni itu baru ada pada seseorang jika ia mengakui bahwa tidak ada
pelaku atau pembuat selain Allah, tidak ada yang ditaati atau disembah selain
Allah dan tidak ada wujud selain Allah.
Syamsuddin, dalam pengajarannya tentang maksud kalimat-kalimat
tauhid itu, juga mengingatkan pengikutnya tentang perbedaan pendirian mereka
sebagai penganut tauhid yang benar (al-muwahhidin al-shiddiqin) dengan
kaum yang ia sebut sebagai orang-orang zindiq. Menurutnya kedua pihak
itu sepakat dalam hal menetapkan maksud kalimat tauhid la ilaha illa Allah,
yakni tiada wujud selain Allah, sedangkan wujud sekalian alam adalah bersifat
bayang-bayang, majazi atau fatamorgana, dibandingkan dengan wujud Allah.
Sedangkan paham kaum zindiq, wujud Tuhan tidak ada kecuali dengan kandungan
wujud alam seluruhnya; semua wujud alam adalah wujud Tuhan dan wujud Tuhan
adalah wujud alam, baik dari segi wujud maupun dari segi ta’ayyunta’ayyun (penampakan-penampakan).
Mereka menetapkan kesatuan hakiki dalam kejamakan alam tanpa membedakan
martabat Tuhan dengan alam.[23] Paham
demikian, menurut Syamsuddin adalah paham batil, tidak benar dan ditolak oleh
penganut tauhid yang benar.
3.
Abdurrauf as-Singkili (1620-1693 M)
Beliau
adalah seorang ulama dan mufti besar Kerajaan Aceh pada abad ke XVII. Nama
lengkapnya adalah Syeikh Abdur Rauf bin Ali Al-Fansuri. Sejarah telah mencatat
bahwa As-Sankli merupakan murid dari dua orang ulama sufi yang menetap di Mekah
dan Madinah. Sebelum As-Sankili membawa ajaran tasawufnya, di Aceh telah
berkembang ajaran tasawuf Falsafi, yaitu tasawuf wujudiyah yang kemudian
dikenal dengan nama wahdad Al-Wujud. As-Sankili berusaha merekonsiliasi
antara tasawuf dan syari’at. Ajaran tasawufnya sama dengan Syamsuddin dan
Nuruddin yaitu menganut paham satu-satunya wujud Hakiki, yakni Allah. Alam dan
manusia ciptaan-Nya bukanlah merupakan wujud yang hakiki, tetapi bayangan dari
yang hakiki.[24]
4.
Yusuf al
Makassari (1629 M)
Beliau
adalah seorang tokoh sufi agung yang berasal dari Sulawesi. Ia dilahirkan pada
tanggal 8 Syawal 1036 H atau bersamaan dengan 3 Juli 1629 M, yaitu ketika
Sulawesi baru saja kedatangan tiga orang penyebar islam yaitu Datuk Ri Bandang
dan Kawan-kawannya dari Minangkabau. Dalam salah satu karangannya dia
menulisbelakang namanya dengan bahasa Arab “Al Makasari”, yaitu nama kota di
Sulawesi Selatan (Ujung Pandang).
Berbeda
dengan kecenderugan sufisme pada masa-masa awal yang mengelakkan kehidupan
duniawi Syeikh Yusuf mengungkapkan paradigma Sufistiknya bertolak dari asumsi
dasar bahwa ajaran Islam meliputi dua aspek, yaitu aspek lahir (syari’at) dan
aspek batin (hakikat). Syari’at dan hakikat harus dipandang dan diamalkan
sebagai suatu kesatuan.[25]
Meskipun
berpegang teguh pada transedensi Tuhan, ia meyakini bahwa Tuhan melingkupi
segala sesuatu dan selalu dekat dengan sesuatu. Berkenaan dengan cara-cara
menuju Tuhan, ia membaginya dalam tiga tingkatan. Pertama, tingkatan akhyar
(orang-orang terbaik) yaitu degan memperbanyak shalat, Puasa, membaca
Al-Qur’an, naik Haji, dan berjihad di jalan Allah. Kedua, cara Mujahadat
Asy-Syaqa’ batin dengan (orang-orang yang berjuang melawan kesulitan), yaitu
latihan batin yang keras untuk melepaskan perilaku buruk dan menyucikan pikiran
dan batin dengan lebih memperbanyak amalan batin dan melipatgandakan
amalan-amalan lahir. Ketiga cara ahli ad-dzikir, yakni jalan bagi orang yang
telah kasyaf untuk berhubungan dengan Tuhan, yaitu orang-orang yang mencintai
Tuhan, baik lahir maupun batin. Mereka sangat menjaga keseimbangan kedua aspek
ketaatan itu.[26]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
uraian diatas dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain:
a)
Tasawuf
adalah ajaran kebatinan yang terdapat dalam dunia Islam
b)
Tasawuf
nusantara merupakan ajaran atau aliran kebatinan Islam yang tersebar
dikepulauan nusantara.
c)
Ajaran
tasawuf berkembang di nusantara seiring dengan kedatangan Islam di kawasan
tersebut.
d)
Ajaran
tasawuf merupakan paham yang sangat fleksibel dan universal. Tasawuf
bisa menyesuaikan dirinya dengan kebutuhan masyarakat menurut zamannya
masing-masing. Tasawuf juga mudah merasuk dalam seluruh aspek kehidupan
masyarakat karena aspek kesederhanaan yang begitu menyentuh dan mengagumkan.
e)
Kebanyakan
para tokoh awal yang menyebarkan tasawuf di nusantara berasal dari Aceh.
f)
Tasawuf
yang dikembangkan di nusantara berupa tasawuf akhlaqi dan falsafi.
g)
Pada
dasarnya, tasawuf yang ada di nusantara adalah tasawuf yang diadopsi dari Timur
Tengah. Kemudian diimplementasikan dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat
nusantara.
h)
Peristiwa-peristiwa
tentang klaim sesat terhadap salah satu ajaran tasawuf yang berujung pada
hukuman mati penggagasnya seperti yang terjadi di Timur Tengah juga terjadi di
nusantara. Diantara tokoh-tokoh yang dianggap sesat ajaran tasawufnya adalah
Hamzah Fansuri dan Syekh Siti Jenar. Walaupun ada banyak pihak yang menolak
keduanya dikatakan sesat.
i)
Pendekatan
yang digunakan dalam tasawuf adalah pendekatan kebatinan. Akan sangat sulit
bahkan idak bisa memahami tasawuf jika ada pihak yang memberikan penilaian
terhadap tasawuf dari luarnya saja tanpa terlibat langsung di dalamnya. Sebab,
berbicara tasawuf adalah tentang pengalaman batiniah, yang terkadang tidak dapat
dicerna oleh akal manusia (irrasional).
Daftar Pustaka
Anshari, Endang Saifudin, Wawasan Islam, Jakarta: Rajawali,
1991.
Anshari, Muhammad Abdul Haq, Merajut Tradisi Syari’ah Dengan
Sufisme, Jakarta: Srigunting,1997.
Anwar, Rosihan
dan M. Solihin, Ilmu Tasawuf,
Bandung: CV Pustaka Media. 2007.
Asmaran.AS, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: Rajawali
Pers,1994.
Damanhuri, akhlak tasawuf, Banda Aceh, peNA, 2010.
Daudi, Ahmad, Syekh Nuruddin Ar-Raniry; Sejarah Karya dan
Sanggahan Terhadap Wujudiyyah di Aceh, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Hamid, Abu, Syeih Yusuf Seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang,
Jakarta Yayasan Obor,1994.
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemeurniannya, Jakarta:
Panjimas, cet. 12, 1993.
Huda, Sokhi, Tasawuf Kultural: Fenomena shalawat Wahidiyah, Yogyakarta:
LKiS, 2008.
Mulyati, Sri, Tasawuf
Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, Jakarta:
Kencana, 2006.
Muradi, Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang: Karya Toha
Putra, 2006.
Nasution, Harun Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta:
Abdi Utama, jilid I, 1992.
_____________, Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1992.
Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik Dalam Islam, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1986.
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, Jakarta:
Rajawali Pers,1996.
Siregar, A. Rivay, Tasawuf : Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, , Cetakan Kedua, Edisi Revisi, 2002.
http://izubed.blogspot.com/2012/05/perkembangan-tasawuf-dan-tarekat.html
[1]Abi al-Qasim
‘Abd al-Karim ibn Hawazan al-Qusyasyri al-Nizafur, Al-Risalah
al-Qusyayriyyah, (Kairo: Mustafa al-Bab al-Halabi, 1959), hal. 138
[2] Endang
Saifudin Anshari, Wawasan Islam, (Jakarta: Rajawali, 1991), hal. 127
[3] Annemarie
Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986),
hal. 2
[4] Harun
Nasution, Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1992), hal. 56
[5] Muhammad Abdul
Haq Anshari, Merajut Tradisi Syari’ah Dengan Sufisme, (Jakarta:
Srigunting,1997), hal.40
[6] Lihat dalam
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, (Jakarta: Rajawali
Pers,1996), hal. 43
[7] Lihat dalam
Asmaran.AS, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers,1994), hal.
49
[9] Muradi, Sejarah
Kebudayaan Islam, (Semarang: Karya Toha Putra, 2006), hal. 20
[11] Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi
Terkemuka, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 1
[12] Alwi Shihab, Antara
Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi: Akar
Tasawuf Di Indonesia, hal. 59
[13] Alwi Shihab, Antara
Tasawuf Sunni dan Tasawuf… hal. 59-60.
[14] A. Rivay
Siregar, Tasawuf : Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, , Cetakan Kedua, Edisi Revisi, 2002), hal. 218.
[15] Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara… hal. 73-200
[16] A. Rivay
Siregar, Tasawuf : Dari Sufisme Klasik… hal. 215.
[17] LP3ES, Profil
Pesantren, 1974: 35, dalam A. Rivay Siregar, Tasawuf : Dari Sufisme Klasik
ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, , Cetakan Kedua, Edisi
Revisi, 2002), hal. 218.
[18] Abdurrahman
Wahid, kata pengantar, dalam Syamsun Ni’am,
The Wisdom Of KH Achmad Siddiq: Membumikan Tasawuf, (Surabaya:
Erlangga, 2006), hal. xv-xvi.
[19] Sokhi Huda, Tasawuf
Kultural: Fenomena shalawat Wahidiyah, (Yogyakarta: LKiS, 2008), hal. 79.
[20] Damanhuri, akhlak
tasawuf, (Banda Aceh, peNA, 2010), hal. 226
[21]
http://taurylubiz.blogspot.com/2011/05/tokoh-tokoh-tasawwuf-di-indonesia.html
[22] Hamka, Tasawuf
Perkembangan dan Pemeurniannya, (Jakarta: Panjimas, cet. 12, 1993), hal. 30
[23] Ahmad Daudi, Syekh
Nuruddin Ar-Raniry; Sejarah Karya dan Sanggahan Terhadap Wujudiyyah di Aceh,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hal. 8
[24] Harun
Nasution, Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta: Abdi Utama, jilid I, 1992), hal. 33
[25] Abu Hamid, Syeih
Yusuf Seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang, (Jakarta Yayasan Obor,1994), hal.
173.
makalahnya bagus.. izin copas n share :)
BalasHapus