BAB
I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perbedaan gender merupakan sebuah masalah yang
telah cukup lama berkembang di dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat
mengandung paham patriarkhi[1].
Paham ini menganggap perempuan hanya berfungsi “di belakang”. Ia ditempatkan
untuk mengurus rumah, mendidik anak dan melayani suami. Pandangan seperti ini
membuat ruang gerak kaum perempuan terbatas.
Diskursus mengenai perbedaan status dan kedudukan
berdasarkan gender berawal dari dua teori besar yaitu teori nature dan nurture
yang menjelaskan bagaimana terbentuknya kodrat laki-laki-perempuan dalam
masyarakat. Dalam pandangan teori nature dikemukakan bahwa adanya
perbedaan laki-laki dan perempuan secara kodrati disebabkan karena faktor
genetis biologis. Adapun teori nurture beranggapan bahwa terjadinya
perbedaan laki-laki dan perempuan disebabkan oleh konstruksi sosial budaya.[2]
Melihat fenomena ini lahirlah sekelompok orang
yang menamakan diri kelompok feminis. Mereka berjuang untuk memperoleh hak yang
sama seperti yang dimiliki oleh laki-laki. Hak untuk berkarir, menjadi
pemimpin, dan lain-lain. Usaha untuk meruntuhkan sistem budaya patriarkhi dan mencapai
kesetaraan berdasarkan gender, formasi gerakan feminisme yang dicirikan semangat
radikalisme diformulasikan dengan tetap mempertahankan feminitas. Orientasi
utama dari feminis modern dan teologi feminis adalah terjadinya perubahan eksternal
perempuan. Perempuan selama ini telah
terjebak dalam lingkungan sosialnya yang membentuk dirinya tidak bisa mandiri. Dekonstruksi
theologi feminis dan upaya
reinterpretasi terhadap ajaran agama merupakan indikasi untuk mencapai tujuan
tersebut.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Teologi Feminisme
Istilah “Feminisme” berasal dari kata
Latin : Femina yang artinya wanita. Gerakan feminisme
bermaksud mengkritik struktur patriarkhat yang berada dalam masyarakat dan
berusaha untuk mengadakan suatu struktur masyarakat yang lebih adil. Dalam
patriarkhi (pater : bapak, arkhe : asal
mula yang menentukan) laki-laki berkuasa atas semua anggota masyarakat yang
lain dan mempertahankan kuasa itu sebagai milik yang sah. Dalam masyarakat
semacam ini, pandangan androsentris (andros : laki-laki,sentris : berhubung dengan inti) menentukan
budaya, yakni segala peristiwa dilihat dari sudut laki-laki.[3]
Menurut istilahnya, teologi feminisme
didefinisikan secara beragam oleh tokoh-tokoh yang menggelutinya sehingga
sangat sulit untuk menemukan definisi yang akurat terhadap gerakan ini. Hal ini ditegaskan oleh Marcia Bunge yang
menyatakan bahawa ada perbedaan suara antara feminis yang satu dengan yang
lain,[4]
yang terlihat melalui karya
tulis mereka, baik buku-buku maupun artikel-artikel yang belakangan ini semakin marak. Dengan bervariasinya tokoh, tulisan
serta pandangan mereka maka sulitlah untuk menentukan
nuansa definisi feminisme yang jelas, karena tidak ada kanon tradisi feminis
yang normatif ataupun rumusan kredo yang jelas.[5]
Namun,
perbedaan antara tersebut bukan berarti tidak titik temu diantaranya. Secara
umum, teologi feminsme memberikan penekanan pada beberapa hal yang menjadi isu
terkemuka didalamnya, yaitu isu tentang usaha kaum feminis untuk mencari solusi
terhadap paham tradisional yang patriarkhi demi tercapainya keadilan dan
kesetaraan dalam kehidupan antara laki-laki dan perempuan.[6]
B.
Sejarah
Lahirnya Teologi Feminisme
Kenyataan
akan sedikitnya ruang gerak perempuan dalam ranah publik jika dibandingkan
dengan laki-laki, memunculkan pertanyaan “mengapa hal ini bisa terjadi dalam
Islam?” “apakah Islam yang diwahyukan kepada Muhammad Saw. mengajarkan
dikriminasi?” “apakah Islam tidak memiliki konsep tentang keadilan”? dan
beberapa pertanyaan lain. Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan alasan yang
seringkali dimunculkan dalam kalangan feminisme Islam.
Secara historis, diskriminasi
terhadap perempuan muncul sebagai akibat adanya doktrin ketidaksetaraan antara
laki-laki dan perempuan yang telah membudaya dalam sejarah kehidupan umat
manusia. Adanya anggapan-anggapan bahwa perempuan tidak cocok memegang
kekuasaan karena perempuan dianggap tidak memiliki kemampuan seperti laki-laki,
laki-laki harus memiliki dan mendominasi perempuan, menjadi pemimpinnya dan
menentukan masa depannya, aktifitas perempuan hanya terbatas di dapur, kasur
dan sumur saja karena dianggap tidak
mampu mengambil keputusan di luar wilayah kekuasaannya merupakan perfoma
penundukan perempuan di bawah struktur kekuasaan laki-laki.[7]
Pada abad pertengahan kaum wanita mulai menyadari bahwa mereka dimarginalkan
dalam masyarakat, kesempatan yang mereka miliki sangat terbatas dan tempat yang
tersedia bagi mereka hanyalah dalam rumah tangga. Kesadaran akan keadaan ini
mulai membawa sedikit angin perubahan. Sejumlah perempuan tampil sebagai
penulis-penulis.
Gerakan feminisme dimulai pada tahun 1963 di Amerika Serikat dengan
fokus gerakan pada satu isu yaitu untuk mendapatkan hak memilih. Gerakan feminisme
ditandai dengan terbitnya buku Betty Frieddan, The Feminine Mystique,
yang isinya mempersoalkan praktik-praktik ketidakadilan yang menjadikan
perempuan sebagai korban. Hal inilah yang kemudian ikut merambah keranah
pemikiran Islam.[8]
Sebut saja beberapa nama seperti AminahWadud-Muhsin, Laela Ahmed, Fatimah
Mernisi, Riffat Hassan, Asghar Ali Engineer, dan Nasaruddin Umar, adalah para
pemikir yang konsen dalam permasalahan ini.[9]
C.
Kerangka Metodologi Teologi Feminisme ala Riffat Hassan
1.
Biografi dan Karya Riffat Hassan
Riffat Hassan adalah seorang feminis
muslimah kelahiran Lahore, Pakistan tahun 1943. Tanggal kelahirannya tidak
diketahui, tapi yang pasti ia dilahirkan dalam keluarga sayyid bersama
lima saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan. Ia menghabiskan 17 tahun
(masa kanak-kanak hingga remaja) bersama keluarganya disebuah kothe
(bungalow) yang luas dengan sebuah mobil mewah (pada masa itu hanya orang kaya
yang mempunyai mobil). Setelah itu ia menjadi mahasiswa disebuah perguruan
tinggi di Inggris pada perguruan tinggi St. Mary’s College University of
Durham. Ia lulus disana dalam tiga tahun dengan gelar kehormatan dalam bidang Sastra
Inggris dan Filsafat dan kemudian meraih gelar Doktor pada uumur 24 tahun.
Riffat Hassan terkenal sebagai
seorang penulis yang cukup produktif. Dari kecil ia dikenal sudah gemar menulis
dan membaca. Karya-karyanya antara lain:
a)
The
Role And Responsibility Of Women In Legal And Ritual Tradition Of Islam
b)
Equal
Before Alllah Woman-Man Equality In Islamic Tradition
c)
Feminist
Theology And Women In The Muslim World
d)
Jihad
Fi Sabilillah: A Muslim Woma’s Faith Journey Struggle To Struggle
e)
Dan
lain-lain.
2.
Pemikiran Teologi Feminisme Riffat Hassan
Dalam
membangun pemikiran teologi feminismenya, riffat menggunakan dua level
pendekatan, yaitu: pertama, pendekatan ideal-normatif ini ditempuh untuk
melihat bagaimana Al-Quran menggariskan prinsip-prinsip ideal-normatif tentang
perempuan. Seperti bagaimana seharusnya perempuan menurut Al-Quran mulai dari
tingkah lakunya, relasinya dengan Tuhan dan hubungan dengan orang lain serta dengan
dirinya sendiri. Kedua, pendekatan empiris. Pendekatan ini dilkukan
dalam rangka untuk melihat secara empiri realitas yang terjadi dan dialami
perempuan. Misalnya, bagaimana perempuan memandang dirinya dan bagaimana pula
orang lain memandang perempuan dalam masyarakat Islam. Diantara kedua
pendekatan tersebut merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkkan. Ia adalah
kesatuan. [10] Melalui kedua pendekatan tersebut Riffat
berupaya mendapatkan realitas empiric sekaligus gambaran idealis-normatif
sehingga memungkinkannya untuk mengadakan evaluasi, penilaian dan kritik
terhadap realitas yang dihadapi kaumnya. Riffat juga menggunakan pendekatan
historis dalam membangun pemikiran teologi feminismenya. Sehingga metodologinya
dalam menelaah masalah perempuan terasa lebih lengkap. Konstruksi metodologi teologi feminisme Riffat Hassan
adalah:
a)
Metode
dekonstruksi
Ada tiga asumsi yang menyatakan
bahwa kaum laki-laki lebih unggul daripada perempuan, yakni:
1)
Makhluk
yang pertama diciptakan oleh Allah adalah laki-laki (Adam)
2)
Perempuan
penyebab terusirnya manusia dari Taman Firdaus
3)
Bahwa
perrempuan diciptakan dari laki-laki (tulang rusuknya) dan untuk laki-laki.[11]
Metode dekonstruksi adalah sebuah
keniscayaan harus dilakukan oleh Riffat dalam membongkar dan melakukan kritik
terhadap berbagai konsep keagamaan yang brsifat patriarkhi. Menurutnya,
diskriminasi dan segala bentuk ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan
merupakan dampak yang ditimbulkan akibat pemahaman terhadap Al-Quran yang
diwarnai oleh orientasi patriarkhi. Al-Quran adalah sumber utama dalam
tradisi Islam. Namun, jika pemahaman yang dilakukan terhadap Al-Quran cenderung
pada bias male, maka dampak yang
ditimbulkan adalah lahirnya sebuah realitas yang mencerabut hak-hak kemanusiaan
kaum perempuan.[12]
Oleh karena itu, perlu dilakukan
upaya dekonstruksi pemikiran teoologis yang selama ini menyudutkan kaum
perempuan. Dekonstruksi ini dilakukan dengan menurunkan teori androsentris (andro;
laki-laki, sentris; pusat) dari panggung sejarah dan sudah saatnya
menampilkan teologi dalam berkeadilan yang memposisikan kaum perempuan setara
dengan laki-laki.
b)
Metode
hermeneutik
Upaya yang kedua yang harus
dilakukan adalah dengan mengiterpretasi ulang teks-teks Al-Quran yang selama
ini dijadikan sebagai instrument legitimasi bagi tindakan-tindakan diskriminasi
terhadap kaum perempuan. Dalam hal ini, Riffat menggunakan hermeneutik dalam
prinsip utama interpretasi, yaitu: pertama, akurasi linguistik, yang
merupakan prinsip dasar untuk mendapatkan sebuah makna yang tepat secara
filosofis dan konsisten. Kedua, kriteria etis yang merupakan prinsip
dalam melakukan kritik dan evaluasi dalam memahami Al-Quran. Contoh: “apabila
Tuhan maha Adil, maka keadilan harus terefleksikan dalam Al-Quran. Tuhan tidak
melakukan ketidakadilan. Apabila dalam Al-Quran terdapat ketidakadilan,
meskipun dari sudut pandang manusia, maka penafsir harus berupaya mendapatkan sebuah
interpretasi yang lebih adil dan pantas tentangnya ”. [13]
Riffat mengakui bahwa Al-Quran
sangat bervariatif. Ada ayat-ayat yang dapat dipahami dengan mudah dan langsung
bisa dijadikan hukum. Namun, ada juga ayat-ayat yang bersifat simboli, dan
ayat-ayat seperti inilah yang banyak terdapat dalam Al-Quran. Al-Quran juga
memuat tentag cerita dan mitologi yang penuturannya dikemas secara simbolik.[14]
BAB
III
PENUUTUP
Kesimpulan
Dari penjelasan pada bab pembahasan
diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
Teologi Feminisme adalah gerakan keperempuanan
yang menolak dominasi kaum laki-laki dan menuntuk keadilan serta kesetaraan
dalam kehidupan dunia Muslim. Gerakan ini merupakan reaksi terhadap realita
yang terjadi dalam kehidupan umat Islam yang dianggap telah memarginalkan kaum
perempuan. Kerangka metodologi yang digunakan oleh Riffat Hassan adalah salah
satu model metode dalam diskursus feminisme. Jadi, apa yang digunakan olehnya
dalam merekonstruksi pemikiran sebelumnya adalah sesuatu yang berpeluang
berbeda dengan pemikir-pemikir yang lainnya.
Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa kajian-kajian lain perlu
untuk dilakukan. Namun, apa yang telah dilakukan oleh Riffat Hassan adalah
sebuah gagasan yang telah berhasil menuangkan pemaknaan terhadap ide-ide
teologi feminisme. Teologi feminisme adalah sebuah paradigma baru yang dianggap
dapat meruntuhkan paham-paham androsentris sebelumnya dan melahirkan
wajah dunia yang lebih berkeadilan sesuai dengan ajaran Islam.
Daftar Pustaka
Abied
Shah, Ainul, Malak Hifni Nasif Bek, Sosok Kartini Lembah Nil: Menggali Akar
Feminism Di Dunia Islam, Bandung: Mizan, 2001.
Baidowi,
Ahmad, Tafsir Feminis: Kajian Perempuan Dalam Al-Quran Dan Para Mufassir
Kontemporer, Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2005.
Bunge,
Marcia, Feminism in Different Voices: Resources for the Church,” Word
& World Theology for Christian Ministry, Fall,1988.
Engineer,
Asghar Ali, Hak-Hak Perempuan Dalam Islam, Yogyakarta: LLSPA, 2000.
Esha,
Muhammad In’am, Teologi Islam: Isu-Isu Kontemporer, Malang: UIN-Malang
Press, 2008.
Marie
C.B, Frommel, Hati Allah bagaikan hati seorang ibu, Jakarta; BPK Gunung
Mulia, 2010.
Young, Pamela Dickey, Feminist Theology/Christian Theology: In
Search of Method Minneapolis: Fortress,1990.
[1] Patriarkhi atau
patriarkhat berarti sistem
pengelompokkan sosial yang sangat mementingkan garis keturunan bapak, (Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 837)
[3] Frommel, Marie
C.B, Hati Allah bagaikan hati seorang ibu, (Jakarta; BPK Gunung Mulia,
2010), 9
[4] Marcia Bunge, Feminism in Different Voices: Resources
for the Church,” Word & World Theology for Christian Ministry, (Fall,1988),
321
[5] Pamela Dickey Young, Feminist Theology/Christian Theology: In
Search of Method (Minneapolis: Fortress,1990), 7
[6] Ibid.
[7] Muhammad In’am Esha, Teologi Islam:
Isu-Isu Kontemporer, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), 48-49
[8] Asghar Ali
Engineer, Hak-Hak Perempuan Dalam Islam, (Yogyakarta: LLSPA, 2000), 63
[9] Ainul Abied
Shah, Malak Hifni Nasif Bek, Sosok Kartini Lembah Nil: Menggali Akar
Feminism Di Dunia Islam,(Bandung: Mizan, 2001), 151.
[10] Muhammad In’am
Esha, Teologi Islam: Isu…, 53
[11] Ahmad Baidowi,
Tafsir Feminis: Kajian Perempuan Dalam Al-Quran Dan Para Mufassir
Kontemporer, (Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2005), 91
[12] Muhammad In’am
Esha, Teologi Islam: Isu…, 54-55
[13] Muhammad In’am Esha, Teologi Islam: Isu…, 55-56
[14] Ahmad Baidowi,
Tafsir Feminis: …, 91
Tidak ada komentar:
Posting Komentar