Kamis, 10 Januari 2013

teologi feminisme


BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perbedaan gender merupakan sebuah masalah yang telah cukup lama berkembang di dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat mengandung paham patriarkhi[1]. Paham ini menganggap perempuan hanya berfungsi “di belakang”. Ia ditempatkan untuk mengurus rumah, mendidik anak dan melayani suami. Pandangan seperti ini membuat ruang gerak kaum perempuan terbatas.
Diskursus mengenai perbedaan status dan kedudukan berdasarkan gender berawal dari dua teori besar yaitu teori nature dan nurture yang menjelaskan bagaimana terbentuknya kodrat laki-laki-perempuan dalam masyarakat. Dalam pandangan teori nature dikemukakan bahwa adanya perbedaan laki-laki dan perempuan secara kodrati disebabkan karena faktor genetis biologis. Adapun teori nurture beranggapan bahwa terjadinya perbedaan laki-laki dan perempuan disebabkan oleh konstruksi sosial budaya.[2]
Melihat fenomena ini lahirlah sekelompok orang yang menamakan diri kelompok feminis. Mereka berjuang untuk memperoleh hak yang sama seperti yang dimiliki oleh laki-laki. Hak untuk berkarir, menjadi pemimpin, dan lain-lain. Usaha untuk meruntuhkan sistem budaya patriarkhi dan mencapai kesetaraan berdasarkan gender, formasi gerakan feminisme yang dicirikan semangat radikalisme diformulasikan dengan tetap mempertahankan feminitas. Orientasi utama dari feminis modern dan teologi feminis adalah terjadinya perubahan eksternal perempuan. Perempuan  selama ini telah terjebak dalam lingkungan sosialnya yang membentuk dirinya tidak bisa mandiri. Dekonstruksi  theologi feminis dan upaya reinterpretasi terhadap ajaran agama merupakan indikasi untuk mencapai tujuan tersebut.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Teologi Feminisme
            Istilah “Feminisme” berasal dari kata Latin : Femina yang artinya wanita. Gerakan feminisme bermaksud mengkritik struktur patriarkhat yang berada dalam masyarakat dan berusaha untuk mengadakan suatu struktur masyarakat yang lebih adil. Dalam patriarkhi (pater : bapak, arkhe : asal mula yang menentukan) laki-laki berkuasa atas semua anggota masyarakat yang lain dan mempertahankan kuasa itu sebagai milik yang sah. Dalam masyarakat semacam ini, pandangan androsentris (andros : laki-laki,sentris  : berhubung dengan inti) menentukan budaya, yakni segala peristiwa dilihat dari sudut laki-laki.[3]
Menurut istilahnya, teologi feminisme didefinisikan secara beragam oleh tokoh-tokoh yang menggelutinya sehingga sangat sulit untuk menemukan definisi yang akurat terhadap gerakan ini. Hal ini ditegaskan oleh Marcia Bunge yang menyatakan bahawa ada perbedaan suara antara feminis yang satu dengan yang lain,[4] yang terlihat melalui karya tulis mereka, baik buku-buku maupun artikel-artikel yang belakangan ini semakin marak. Dengan bervariasinya tokoh, tulisan serta pandangan mereka maka sulitlah untuk menentukan nuansa definisi feminisme yang jelas, karena tidak ada kanon tradisi feminis yang normatif ataupun rumusan kredo yang jelas.[5]
Namun, perbedaan antara tersebut bukan berarti tidak titik temu diantaranya. Secara umum, teologi feminsme memberikan penekanan pada beberapa hal yang menjadi isu terkemuka didalamnya, yaitu isu tentang usaha kaum feminis untuk mencari solusi terhadap paham tradisional yang patriarkhi demi tercapainya keadilan dan kesetaraan dalam kehidupan antara laki-laki dan perempuan.[6]
B.     Sejarah Lahirnya Teologi Feminisme
            Kenyataan akan sedikitnya ruang gerak perempuan dalam ranah publik jika dibandingkan dengan laki-laki, memunculkan pertanyaan “mengapa hal ini bisa terjadi dalam Islam?” “apakah Islam yang diwahyukan kepada Muhammad Saw. mengajarkan dikriminasi?” “apakah Islam tidak memiliki konsep tentang keadilan”? dan beberapa pertanyaan lain. Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan alasan yang seringkali dimunculkan dalam kalangan feminisme Islam.
            Secara historis, diskriminasi terhadap perempuan muncul sebagai akibat adanya doktrin ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan yang telah membudaya dalam sejarah kehidupan umat manusia. Adanya anggapan-anggapan bahwa perempuan tidak cocok memegang kekuasaan karena perempuan dianggap tidak memiliki kemampuan seperti laki-laki, laki-laki harus memiliki dan mendominasi perempuan, menjadi pemimpinnya dan menentukan masa depannya, aktifitas perempuan hanya terbatas di dapur, kasur dan sumur  saja karena dianggap tidak mampu mengambil keputusan di luar wilayah kekuasaannya merupakan perfoma penundukan perempuan di bawah struktur kekuasaan laki-laki.[7]
Pada abad pertengahan kaum wanita mulai menyadari bahwa mereka dimarginalkan dalam masyarakat, kesempatan yang mereka miliki sangat terbatas dan tempat yang tersedia bagi mereka hanyalah dalam rumah tangga. Kesadaran akan keadaan ini mulai membawa sedikit angin perubahan. Sejumlah perempuan tampil sebagai penulis-penulis.
Gerakan feminisme dimulai pada tahun 1963 di Amerika Serikat dengan fokus gerakan pada satu isu yaitu untuk mendapatkan hak memilih. Gerakan feminisme ditandai dengan terbitnya buku Betty Frieddan, The Feminine Mystique, yang isinya mempersoalkan praktik-praktik ketidakadilan yang menjadikan perempuan sebagai korban. Hal inilah yang kemudian ikut merambah keranah pemikiran Islam.[8] Sebut saja beberapa nama seperti AminahWadud-Muhsin, Laela Ahmed, Fatimah Mernisi, Riffat Hassan, Asghar Ali Engineer, dan Nasaruddin Umar, adalah para pemikir yang konsen dalam permasalahan ini.[9]  
C.    Kerangka Metodologi Teologi Feminisme ala Riffat Hassan
1.      Biografi dan Karya Riffat Hassan
            Riffat Hassan adalah seorang feminis muslimah kelahiran Lahore, Pakistan tahun 1943. Tanggal kelahirannya tidak diketahui, tapi yang pasti ia dilahirkan dalam keluarga sayyid bersama lima saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan. Ia menghabiskan 17 tahun (masa kanak-kanak hingga remaja) bersama keluarganya disebuah kothe (bungalow) yang luas dengan sebuah mobil mewah (pada masa itu hanya orang kaya yang mempunyai mobil). Setelah itu ia menjadi mahasiswa disebuah perguruan tinggi di Inggris pada perguruan tinggi St. Mary’s College University of Durham. Ia lulus disana dalam tiga tahun dengan gelar kehormatan dalam bidang Sastra Inggris dan Filsafat dan kemudian meraih gelar Doktor pada uumur 24 tahun.
            Riffat Hassan terkenal sebagai seorang penulis yang cukup produktif. Dari kecil ia dikenal sudah gemar menulis dan membaca. Karya-karyanya antara lain:
a)      The Role And Responsibility Of Women In Legal And Ritual Tradition Of Islam
b)      Equal Before Alllah Woman-Man Equality In Islamic Tradition
c)      Feminist Theology And Women In The Muslim World
d)     Jihad Fi Sabilillah: A Muslim Woma’s Faith Journey Struggle To Struggle
e)      Dan lain-lain.


2.      Pemikiran Teologi Feminisme Riffat Hassan
            Dalam membangun pemikiran teologi feminismenya, riffat menggunakan dua level pendekatan, yaitu: pertama, pendekatan ideal-normatif ini ditempuh untuk melihat bagaimana Al-Quran menggariskan prinsip-prinsip ideal-normatif tentang perempuan. Seperti bagaimana seharusnya perempuan menurut Al-Quran mulai dari tingkah lakunya, relasinya dengan Tuhan dan hubungan dengan orang lain serta dengan dirinya sendiri. Kedua, pendekatan empiris. Pendekatan ini dilkukan dalam rangka untuk melihat secara empiri realitas yang terjadi dan dialami perempuan. Misalnya, bagaimana perempuan memandang dirinya dan bagaimana pula orang lain memandang perempuan dalam masyarakat Islam. Diantara kedua pendekatan tersebut merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkkan. Ia adalah kesatuan. [10]  Melalui kedua pendekatan tersebut Riffat berupaya mendapatkan realitas empiric sekaligus gambaran idealis-normatif sehingga memungkinkannya untuk mengadakan evaluasi, penilaian dan kritik terhadap realitas yang dihadapi kaumnya. Riffat juga menggunakan pendekatan historis dalam membangun pemikiran teologi feminismenya. Sehingga metodologinya dalam menelaah masalah perempuan terasa lebih lengkap. Konstruksi  metodologi teologi feminisme Riffat Hassan adalah:
a)      Metode dekonstruksi
            Ada tiga asumsi yang menyatakan bahwa kaum laki-laki lebih unggul daripada perempuan, yakni:
1)      Makhluk yang pertama diciptakan oleh Allah adalah laki-laki (Adam)
2)      Perempuan penyebab terusirnya manusia dari Taman Firdaus
3)      Bahwa perrempuan diciptakan dari laki-laki (tulang rusuknya) dan untuk laki-laki.[11]
            Metode dekonstruksi adalah sebuah keniscayaan harus dilakukan oleh Riffat dalam membongkar dan melakukan kritik terhadap berbagai konsep keagamaan yang brsifat patriarkhi. Menurutnya, diskriminasi dan segala bentuk ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan merupakan dampak yang ditimbulkan akibat pemahaman terhadap Al-Quran yang diwarnai oleh orientasi patriarkhi. Al-Quran adalah sumber utama dalam tradisi Islam. Namun, jika pemahaman yang dilakukan terhadap Al-Quran cenderung pada bias male,  maka dampak yang ditimbulkan adalah lahirnya sebuah realitas yang mencerabut hak-hak kemanusiaan kaum perempuan.[12]
            Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya dekonstruksi pemikiran teoologis yang selama ini menyudutkan kaum perempuan. Dekonstruksi ini dilakukan dengan menurunkan teori androsentris (andro; laki-laki, sentris; pusat) dari panggung sejarah dan sudah saatnya menampilkan teologi dalam berkeadilan yang memposisikan kaum perempuan setara dengan laki-laki.
b)      Metode hermeneutik
            Upaya yang kedua yang harus dilakukan adalah dengan mengiterpretasi ulang teks-teks Al-Quran yang selama ini dijadikan sebagai instrument legitimasi bagi tindakan-tindakan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Dalam hal ini, Riffat menggunakan hermeneutik dalam prinsip utama interpretasi, yaitu: pertama, akurasi linguistik, yang merupakan prinsip dasar untuk mendapatkan sebuah makna yang tepat secara filosofis dan konsisten. Kedua, kriteria etis yang merupakan prinsip dalam melakukan kritik dan evaluasi dalam memahami Al-Quran. Contoh: “apabila Tuhan maha Adil, maka keadilan harus terefleksikan dalam Al-Quran. Tuhan tidak melakukan ketidakadilan. Apabila dalam Al-Quran terdapat ketidakadilan, meskipun dari sudut pandang manusia, maka penafsir harus berupaya mendapatkan sebuah interpretasi yang lebih adil dan pantas tentangnya ”. [13]
            Riffat mengakui bahwa Al-Quran sangat bervariatif. Ada ayat-ayat yang dapat dipahami dengan mudah dan langsung bisa dijadikan hukum. Namun, ada juga ayat-ayat yang bersifat simboli, dan ayat-ayat seperti inilah yang banyak terdapat dalam Al-Quran. Al-Quran juga memuat tentag cerita dan mitologi yang penuturannya dikemas secara simbolik.[14]









BAB III
PENUUTUP

Kesimpulan
Dari penjelasan pada bab pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
            Teologi Feminisme adalah gerakan keperempuanan yang menolak dominasi kaum laki-laki dan menuntuk keadilan serta kesetaraan dalam kehidupan dunia Muslim. Gerakan ini merupakan reaksi terhadap realita yang terjadi dalam kehidupan umat Islam yang dianggap telah memarginalkan kaum perempuan. Kerangka metodologi yang digunakan oleh Riffat Hassan adalah salah satu model metode dalam diskursus feminisme. Jadi, apa yang digunakan olehnya dalam merekonstruksi pemikiran sebelumnya adalah sesuatu yang berpeluang berbeda dengan pemikir-pemikir yang lainnya.
Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa kajian-kajian lain perlu untuk dilakukan. Namun, apa yang telah dilakukan oleh Riffat Hassan adalah sebuah gagasan yang telah berhasil menuangkan pemaknaan terhadap ide-ide teologi feminisme. Teologi feminisme adalah sebuah paradigma baru yang dianggap dapat meruntuhkan paham-paham androsentris sebelumnya dan melahirkan wajah dunia yang lebih berkeadilan sesuai dengan ajaran Islam.






Daftar Pustaka

Abied Shah, Ainul, Malak Hifni Nasif Bek, Sosok Kartini Lembah Nil: Menggali Akar Feminism Di Dunia Islam, Bandung: Mizan, 2001.
Baidowi, Ahmad, Tafsir Feminis: Kajian Perempuan Dalam Al-Quran Dan Para Mufassir Kontemporer, Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2005.
Bunge, Marcia, Feminism in Different Voices: Resources for the Church,” Word & World Theology for Christian Ministry, Fall,1988.
Engineer, Asghar Ali, Hak-Hak Perempuan Dalam Islam, Yogyakarta: LLSPA, 2000.
Esha, Muhammad In’am, Teologi Islam: Isu-Isu Kontemporer, Malang: UIN-Malang Press, 2008.
Marie C.B, Frommel, Hati Allah bagaikan hati seorang ibu, Jakarta; BPK Gunung Mulia, 2010.
Young, Pamela Dickey, Feminist Theology/Christian Theology: In Search of Method Minneapolis: Fortress,1990.



[1] Patriarkhi atau patriarkhat berarti sistem pengelompokkan sosial yang sangat mementingkan garis keturunan bapak, (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 837)
[2] http://wawan-adam.blogspot.com/2009/08/tes.html , Diakses 20/12/2012  13:36 wib
[3] Frommel, Marie C.B, Hati Allah bagaikan hati seorang ibu, (Jakarta; BPK Gunung Mulia, 2010), 9
[4] Marcia Bunge, Feminism in Different Voices: Resources for the Church,” Word & World Theology for Christian Ministry, (Fall,1988), 321
[5] Pamela Dickey Young, Feminist Theology/Christian Theology: In Search of Method (Minneapolis: Fortress,1990), 7
[6] Ibid.
[7]  Muhammad In’am Esha, Teologi Islam: Isu-Isu Kontemporer, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), 48-49
[8] Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan Dalam Islam, (Yogyakarta: LLSPA, 2000), 63
[9] Ainul Abied Shah, Malak Hifni Nasif Bek, Sosok Kartini Lembah Nil: Menggali Akar Feminism Di Dunia Islam,(Bandung: Mizan, 2001), 151.
[10] Muhammad In’am Esha, Teologi Islam: Isu…,  53

[11] Ahmad Baidowi, Tafsir Feminis: Kajian Perempuan Dalam Al-Quran Dan Para Mufassir Kontemporer, (Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2005), 91
[12] Muhammad In’am Esha, Teologi Islam: Isu…,  54-55
[13]  Muhammad In’am Esha, Teologi Islam: Isu…,  55-56
[14] Ahmad Baidowi, Tafsir Feminis: …, 91

Tidak ada komentar:

Posting Komentar