BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagai pembangun sistem filsafat, Al-Farabi telah membaktikan diri
untuk berkontemplasi dan menjauhkan diri dari dunia politik walaupun menulis
karya-karya politik yang monumental. Ia meninggalkan risalah penting.
Filsafatnya menjadi acuan pemikiran ilmiah bagi dunia Barat dan Timur. Lama sepeninggalannya
Al-Farabi masih tetap hidup di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan politik
Islam.
Meski tidak terlibat langsung dalam dunia perpolitikan, kontribusi
pemikirannya dengan menulis buku politik untuk merekonstruksi sistem politik, cukup berpengaruh bagi pembaharuan sistem
politik dalam kehidupan ketatanegaraan. Pembaruan itu menurutnya hanya dapat
berhasil bila berakar kokoh dalam fondasi filsafat.
Julukan sebagai Guru Kedua (muallim tsani), yang disematkan
kepada Al-Farabi membuktikan bahwa kapasitas keilmuan yang dimilikinya sungguh
luar biasa. Kontribusinya bagi perkembangan berbagai bidang keilmuan membuat ia
masih dikenang hingga sekarang, baik di dunia Islam sendiri mau di Barat.
Teori-teori yang ia kembangkan menjadi modal bagi perkembangan peradaban pada masa
selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Singkat Al-Farabi
Ia adalah Abu Nasr Muhammad al-Farabi lahir di Wasij, suatu desa di
Farab (Transoxania) tepatnya Turkistan pada tahun 870 M.[1]
Al-Farabi dalam sumber-sumber Islam lebih akrab dikenal sebagai Abu Nasr.[2] Ia
berasal dari keturunan Persia. Ayahnya Muhammad Auzlagh adalah seorang Panglima
Perang Persia yang kemudiaan menetap di Damsyik dan Ibunya berasal dari Turki.
Oleh karena itu ia biasa disebut orang Persia atau orang Turki.[3]
Kendatipun Al Farabi adalah seorang tokoh terkemuka dikalangan para
filosof Muslim, namun informasi tentang dirinya sangatlah terbatas. Ia tidak
merekam liku-liku kehidupannya begitu juga para muridnya. Menurut beberapa
Literatur, Al-Farabi dalam usia 40 tahun meninggalkan negerinya untuk menuju ke
Baghdad, pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan pada masanya untuk belajar
antara lain pada Abu Bisyr bin Mattius seorang kristen, beliau belajar tentang
ilmu logika dan filsafat serta belajar Kaidah-kaidah bahasa Arab kepada Abu
Bakar Al Saraj.[4]
Selama berada di Baghdad ia memusatkan perhatiannya kepada ilmu logika.
Nampaknya pada waktu pertama datang di Baghdad hanya sedikit saja bahasa Arab
yang telah dikuasainya. la sendiri mengatakan bahwa belajar ilmu nahwu (tata
bahasa Arab) pada Abu Bakar As-Saraj sebab imbalan pelajaran logika yang
diberikan oleh Al-Farabi kepadanya.[5]
B.
Negara Utama (Madinatul Fadhilah) menurut Al-Farabi
1. Asal Usul Negara
Kehidupan dalam Islam
berdimensi rahmatan lil alamin. Untuk mencapai tingkat yang mulia
itu, Tuhan memberi manusia beragam aturan. Aturan itu bersifat vertikal dan
horizontal. Mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan manusia.
Dalam hubungannya dengan sesama manusia, Tuhan telah memberikan kaidah-kaidah
berkenaan dengan hak dan kewajiban seseorang terhadap masyarakat, dan hak serta
kewajiban masyarakat terhadap diri seseorang. Inilah yang disebut dengan urusan
kenegaraan.[6]
Menurut Al-Farabi, sifat keistimewaan manusia yang terkenal suka
bergaul (homo socious) adalah pendorong yang pertarna terjadinya
rnasyarakat. Manusia berkurnpul satu lama lain adalah untuk saling mernenuhi
kebutuhan hidup rnereka di dalarn suatu masyarakat kota (Community of the
city) yang kernudian menirnbulkan adanya negara. Suatu rnasyarakat kota
menurut Al-Farabi, harus terdiri dari penduduk yang bersatu hati yang di
dalarnnya rnemenuhi segala kebutuhan hidupnya terjarnin. Masyarakat itu
rnerupakan suatu tubuh yang seluruhnya merasakan senang atau susah apabila
salah satu anggota rnasyarakat rnerasakan hal yang demikian itu. Penderitaan
sakit yang ditanggung oleh seorang anggotanya haruslah menjadi penderitaan
seluruh tubuh rnasyarakat. Begitu pula sebaliknya, kesenangan yang dirasakan
oleh seorang anggota masyarakat, haruslah dinikmati oleh masyarakat seluruhnya.
Bukan derita atau senang yang dirasakan perseorangan, tetapi seluruh
rnasyarakat yang dijalari oleh jiwa yang satu dengan timbulnya perasaan yang
merata. Setiap orang haruslah rnenyadari akan perlunya kerjasarna yang teratur.
Masing-masing harus berdiri pada posisinya, bekerja dan rnenghasilkan sesuatu
menurut kepandaiannya, dengan suatu kesadaran bahwa apa yang dihasilkannya
adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, yang tentunya akan diganti dengan
hasil pekerjaan anggota masyarakat lainnya untuk rnernenuhi kebutuhannya.
Menurut Al-Farabi tidaklah sempurna kebahagian suatu masyarakat, kalau
pekerjaaan tidak terbagi rata kepada masing-masing anggotanya menurut
kepandaiannya dengan semangat kerjasarna yang baik. Disinilah Al-Farabi baru
sarnpai kepada perlunya mendirikan negara untuk rnengatur rnasyarakat rnanusia
itu. Masyarakat itu harus rnernpunyai seorang Pemirnpin, yang terarnbil dari
anggotanya juga, yang bertugas dan berwenang mengatur dan rnernbagi segala
hasil-hasil untuk rnernenuhi segala kebutuhan anggotanya.[7]
2.
Konsep Tentang Masyarakat
Al-Farabi mungkin
adalah pemikir pertama yang berpendapat bahwa manusia tidak sama satu sama
lain, yang disebakan oleh beberapa faktor, antara lain faktor iklim dan
lingkungan tempat mereka hidup serta faktor makanan. Menurutnya, faktor-faktor
tersebut akan berpengaruh terhadap pola pikir, perilaku, dan adat kebiasaan.
Jadi, Al-Farabi berbeda dengan Plato yang menyatakan kesatuan, persamaan dan
keseragaman manusia.[8]
Selanjutnya,
Al-Farabi membagi masyarakat kedalam dua kelompok, yaitu kelompok masyarakat
yang sempurna dan tidak sempurna. Masyarakat yang sempurna dibagi lagi menjadi
tiga macam:
a)
Masyarakat Sempurna Besar, yaitu gabungan banyak bangsa yang sepakat untuk bergabung dan
saling membantu serta kerja sama.
b)
Masyarakat Sempurna Sedang, yaitu masyarakat yang terdiri dari satu bangsa yang menghuni satu
wilayah dari bumi ini.
c)
Masyarakat Sempurna Kecil, yaitu masyarakat yang terdiri dari para penghuni satu kota.
Jadi, konsep
tentang pembagian kelompok masyarakat ini diibaratkan seperti Perserikatan
Bangsa-Bangsa, Negara Nasional, dan Negara Kota yang berlaku pada masyarakat
modern. Adapun masyarakat yang tidak sempurna digolongkan dalam kehidupan
sosial di tingkat desa, kampung, lorong, dan keluarga. Ketiga kelompok sosial
ini dianggap tidak sempurna oleh Al-Farabi dikarenakan mereka belum mampu untuk
berswasembada dan mandiri dalam memenuhi kebutuhan para warganya, baik
kebutuhan ekonomi, sosial, budaya, maupun spiritual.[9]
3.
Pemimpin Dalam Sebuah Negara
Atas dasar
pembagian kelompok masyarakat seperti yang disebutkan diatas, maka Al-Farabi
berpendapat bahwa tidak semua orang dapat memimpin sebuah Negara, hanya orang-orang
tertentu yang dapat menjabatnya. Orang yang dimaskud adalah orang yang berada
pada kelas tertinggi dan yang paling sempurna yang berhak memimpin warga-warga
yang kelas dibawahnya. Kepala Negara seharusnya diadakan terlebih dahulu,
kemudian dibentuk bagian-bagian atau rakyatnya. Hanya seorang pemimpinlah yang
menentukan wewenang, tugas, kewajiban serta martabat atau kedudukan
masing-masing Warga Negara. Jika ada Warga Negara yang tidak baik, maka kepala
Negara harus mampu menghilangkan ketidakbaikan itu. Kemudian, Al-Farabi
menentukan kriteria bagi seorang pemimpin Negara, yaitu lengkap anggota
badannya, baik daya ingatnya, tinggi kecerdasannya, pandai mengemukakan
pendapat dan mudah dipahami, cinta pendidikan dan mengajar, tidak rakus dan
loba terhadap makanan, minuman dan wanita, cinta kejujuran dan benci
kebohongan, berjiwa besar dan berbudi luhur, tidak mementingkan kekayaan dan
kesenangan duniawi lainnya, cinta keadilan dan menjauhi perbuatan keji dan
teguh pendirian terhadap apa-apa yang harus dikerjakannya. Disamping
syarat-syarat tersebut, Al-Farabi juga menambahkan syarat-syarat lain yang
harus dimiliki oleh seorang pemimpin yakni pemimpin harus mampu naik pada akal
fa’al (akal aktif) yang darinya wahyu dan ilham dapat diambil. Persayaratan
ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus mampu mendidik dan menarik umatnya
kepada jalan yang benar menju kebahagiaan dunia dan akhirat.[10]
4.
Tujuan Negara
Al-Farabi mencita-citakan sebuah
konsep Negara Madinatul Fadhilah (Negara Utama) dimana pemimpinnya
adalah Nabi atau filosof. Konsepnya terilhami oleh Madinah, sebagai ibukota
pertama negara Islam yang dipimpin langsung oleh Rasulullah Muhammad,SAW.
Al-Farabi selalu mengacu pada Madinah yang dulu dipimpin Nabi Muhammad SAW
sebagai konsepsi filsafat politiknya. Menurutnya,
tujuan dari negara utama adalah membimbing para warga negara untuk mencapai
Tuhan. Menjadikannya masyarakat madani yang berdasarkan pada ketauhidan.
Dimana Tuhan menjadi inspirasi dan dasar dari segala tindakan masyarakat.
Caranya adalah menghubungkan manusia dengan aqal fa’al seerat
mungkin. Orang yang berhasil mengidentifikasi daya pikirnya sesuai dengan aqal
fa’al layak menjadi pemimpin Negara. Ia harus melepas ikatan dengan
badannya untuk menyamai aqal fa’al. Setelah itu, ia harus
membimbing warganya supaya mencapai Tuhan.
Setelah bersatu
dengan aqal fa’al seorang kepala negara masih harus menyatukan
diri ke dalam kesatuan yang lebih mulia. Yaitu mengalir kembali ke atas melalui
masing-masing akal terpisah sampai akhirnya mencapai kesatuan dengan Yang
Pertama alias Wajib Al-Wujud. Kesatuan yang mulia ini oleh
Al-Farabi disebut ittisal yang menjamin transendensi Tuhan,
dan selanjutnya ittihad yang berarti kesatuan mistik dalam
tasawuf. Puncak tertinggi ini hanya bisa dicapai sesudah maut
badaniyah dan terjadi perpindahan ke kehidupan abadi.[11]
5.
Negara Yang
Utama
Konsep negara yang dicita-citakan
Al-Farabi adalah Negara Utama. Yaitu Negara dengan tujuan terbaik untuk memberi
perlindungan dan mencapai kesempurnaan, serta terpenuhinya kebutuhan jiwa-raga
warganya yang akan mengantarnya pada kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat.
Negara utama mengandaikan kerjasama
dan pembagian kerja (job description) sesuai bidang yang dibutuhkan.
Nampaknya Al-Farabi terinspirasi hadist Nabi “Engkau yang paling tahu
tentang urusan duniamu”. Dan sebuah hadist lainnya “Jika suatu
urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah waktu kehancurannya.” Menurut
Al-Farabi, keamanan adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan demi
menunjang pembagian kerja dalam Negara Utama. Perlindungan diri meliputi
perlindungan dari bahaya binatang buas, bahaya bencana alam, serangan dari
kelompok lain, dan kesewenang-wenangan antar anggota sendiri (oleh yang kuat
kepada yang lemah). Menurut Al-Farabi, keamanan dapat menjamin kehidupan
warganya dan mengantar mereka pada kesempurnaan. Pencapaian kesempurnaan
menjamin tercapainya kebahagiaan sejati bagi jiwa.
Dalam Negara Utama tidak ada tempat
untuk saling berlomba, bersaing demi memenuhi nafsu pribadi secara
individualistis. Dalam Negara Utama tidak ada tempat bagi sistem monopoli oleh
satu golongan tertentu atau kapitalisme. Semua harus menyerahkan diri untuk
suatu kerjasama demi mencapai kebahagiaan bersama baik material maupun
spiritual yang berdasarkan Ketauhidan. Inilah salah satu tujuan Negara Utama. Dan
karena didirikan dengan segenap kesadaran warganya, mereka berusaha mengejar
maksud dan tujuan dari didirikannya suatu Negara Utama. Diantara syarat-syarat
yang paling penting bagi sebuah Negara Utama, adalah Negara harus rasional. Artinya,
warga negara yang membentuk negara harus memiliki kecerdasan akal yang bisa
digunakan untuk menggali rahasia alam. Rasionalitas adalah cita-cita Al-Farabi
yang menurutnya harus wujud dalam Negara Utama. Al-Farabi sangat menganjurkan
penggunaan akal demi mencapai kebahagiaan seluruh Warga Negara. Al-Farabi juga
tidak menolak kemewahan yang merupakan hasil dari kecerdasan dan pengembangan
ilmu pengetahuan.[12]
6.
Jenis-Jenis
Negara Lain
Al-Farabi mengelompokkan jenis-jenis
negara berdasarkan ideologi yang dianutnya. Ideologi yang benar dianut oleh Negara
Utama. Ideologi yang salah dianut oleh negara-negara sebagai berikut:
a)
Negara yang bodoh (ignorant).
Dalam negara bodoh, warga negara dan
pemimpin pemerintahan tidak pernah tahu tentang keutamaan-keutamaan hidup dan
arti kebahagiaan sejati. Mereka hidup begitu saja menikmati apa yang ada dan
hanya sibuk mengusahakan pemenuhan kebutuhan dan keinginannya. Mereka bekerja
keras dengan orientasi sekedar mendapatkan makanan, minuman, pakaian dan
pemenuhan akan kebutuhan seksual. Intinya, negara bodoh adalah negara yang
penuh dengan kesia-siaan hidup. Para pemimpin dan Warga Negara mengalami
kerusakan moral yang parah. Mereka menginginkan kebebasan mutlak (democratic
city) supaya dapat melakukan apa saja yang mereka inginkan tanpa ada
lembaga hukum yang berhak menghalanginya.
b)
Negara Jahat (the
wicked city).
Negara jahat adalah suatu negara
dimana warga negaranya memiliki pengetahuan tentang keutamaan hidup sebagaimana
warga di Negara Utama, tapi tindakan dan cara hidup mereka seperti warga di
negara bodoh. Mereka mempunyai cita-cita dan kebijaksanaan luhur tapi tidak
diimplementasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
c)
Negara yang
mengalami kemerosotan (deliberately change).
Menurut Al-Farabi, negara yang
mengalami kemerosotan adalah Negara Utama yang terus menerus mengalami godaan
demi godaan dan terlena dengan godaan-godaan tersebut. Kepercayaan menjadi
sia-sia dan niat kebenaran menjadi cita-cita belaka tanpa realisasi. Maka, yang
terjadi kemudian adalah kemerosotan moral yang memicu kejatuhan demi kejatuhan.
Pemimpin negara merosot moralnya menjadi seorang penipu besar, warga negaranya
melakukan tindakan yang berlawanan dengan yang dilakukan warga negara di Negara
Utama.
d)
Negara Sesat (the
erring city).
Negara sesat menurut Al-Farabi
adalah gambaran masyarakat yang masih berpegang pada pandangan-pandangan lama.
Mereka belum tahu akan adanya pandangan baru dalam memahami kehidupan manusia
dan penghargaan baru terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Mereka keliru dalam
upaya mencapai kebahagiaan baik sekarang maupun nanti di kehidupan sesudah
mati. Kekeliruan disebabkan ketidaktahuan. Ketidaktahuan berawal dari
ketidakmampuan untuk tahu. Mereka ditiru oleh pemimpinnya yang mengaku berasal
dari keturunan dewa-dewa dan harus ditaati secara mutlak dan absolut segala
perintahnya.[13]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Al-Farabi adalah pemikir besar Islam
yang berjasa besar membawa kebangkitan peradaban Islam. Al-Farabi membentangkan
jalan intelektualisme dalam Islam. Melalui kajian filsafatnya, Al-Farabi membuat
sintesis antara wahyu dan filsafat sehingga keduanya tidak saling bertentangan.
Proyek filosofis Al-Farabi adalah penekanan yang sangat kuat terhadap
rasionalitas dan ketakwaan yang harus dimiliki oleh setiap Warga Negara.
Al-Farabi meyakini bahwa kehidupan rohani dan kehidupan manusia selalu bertemu
dan berhubungan.
Gagasan filsafat politik Al-Farabi
memang nampak sangat idealis atau bahkan utopis jika ditinjau dari
perspektif politik modern. Tapi apa yang dijabarkan Al-Farabi sesungguhnya
hanyalah kepanjangan dari Al-Qur’an dan hadist Nabi itu sendiri. Tidak heran
jika di zaman yang penuh dengan dekadensi moral dan kecendrungan adanya politik
‘menghalalkan segala cara pada hari ini, ide filsafat politik Al-Farabi menjadi
sulit dibumikan. Ini adalah tugas cendekiawan muslim dan umat Islam secara
keseluruhan untuk membuktikan gagasan Al-Farabi sejauh sesuai dengan konteks
kehidupan politik hari ini, bahwa Islam, bisa diaplikasikan dalam kehidupan
perpolitikan dan kenegaraan. Bahwa Islam dapat membawa suatu masyarakat menuju
kehidupan yang sejahtera baik lahir maupun batin, di dunia maupun di akherat.
Dengan
Demikian, mewujudkan sebuah Negara dengan konsep Madinatul
Fadhilah adalah sesuatu yang mugkin saja terjadi, karena telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad
SAW. Meskipun untuk mewujudkannya harus melalui perjuangan panjang yang tiada
henti-hentinya dan disesuaikan dengan konteks kekinian. Dalam Al-Quran sudah
dijelaskan bahwa “Sesungguhnya dalam diri rasulullah terdapat teladan
yang baik,[14]
yang bisa dijadikan pedoman bagi seluruh umat manusia.
Wallahu A’lam.
Daftar Pustaka
Ahmad,
Zainal Abidin Negara Utama (Madinatul Fadhilah), (Jakarta : PT Kinta,
1968.
Azhar,
Muahammad Filsafat Politik: Perbandingan Antara Islam dan Barat, Jakarta:
Raja Garfindo Persada, 1997.
Bakker,
JWM, Sejarah Filsafat dalam Islam, Yogyakarta : Kanisius, 1986.
Bakar,
Osman, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu, Bandung:
Mizan,1997.
Natsir,
M, Capita Selecta 1 : Arti Agama dalam Negara, (Jakarta : Yayasan Bulan
Bintang Abadi. 2008.
Nasution,
Harun, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang,
1973.
Sidik,
Abdullah, Islam dan Filsafat, (Jakarta : Triputra Masa, 1984), 89.
Sudarsono,
Filsafat Islam, Jakarta: Rineka Cipta2004.
Syadzali,
Munawir, Islam Dan Tata Negara: Sejarah Dan Pemikirannya, Jakarta:
UI-Press, 1993.
Zar,
Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2007.
[1] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme
dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1973), 26.
[2]
Osman Bakar, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu,
(Bandung: Mizan,1997), 26.
[3]
Abdullah Sidik, Islam dan Filsafat, (Jakarta : Triputra Masa, 1984), 89.
[4]
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2007), 66.
[5]
Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta2004), 30.
[6] M.
Natsir, Capita Selecta 1 : Arti Agama dalam Negara, (Jakarta : Yayasan
Bulan Bintang Abadi. 2008), 532-533
[7] Zainal Abidin Ahmad, Negara Utama
(Madinatul Fadhilah), (Jakarta : PT Kinta, 1968), 13
[8]
Munawir Syadzali, Islam Dan Tata Negara: Sejarah Dan Pemikirannya,
(Jakarta: UI-Press, 1993), 51
[9]
Munawir Syadzali, Islam Dan Tata …, 51-52
[10]
Muahmmad Azahar, Filsafat Politik:
Perbandingan Antara Islam dan Barat, (Jakarta: Raja Garfindo Persada,
1997), 81
[11]
Bakker, JWM, Sejarah Filsafat dalam Islam, (Yogyakarta : Kanisius,
1986), 39
[12] Y.
Rumanto, Gagasan Filsafat Politik Al-Farabi, Jurnal Filsafat Driyarkara
Edisi XXVI No. 2,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar