Senin, 21 Januari 2013

madinatul fadhilah Al-Farabi


BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sebagai pembangun sistem filsafat, Al-Farabi telah membaktikan diri untuk berkontemplasi dan menjauhkan diri dari dunia politik walaupun menulis karya-karya politik yang monumental. Ia meninggalkan risalah penting. Filsafatnya menjadi acuan pemikiran ilmiah bagi dunia Barat dan Timur. Lama sepeninggalannya Al-Farabi masih tetap hidup di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan politik Islam.
Meski tidak terlibat langsung dalam dunia perpolitikan, kontribusi pemikirannya dengan menulis buku politik untuk merekonstruksi sistem politik,  cukup berpengaruh bagi pembaharuan sistem politik dalam kehidupan ketatanegaraan. Pembaruan itu menurutnya hanya dapat berhasil bila berakar kokoh dalam fondasi filsafat.
Julukan sebagai Guru Kedua (muallim tsani), yang disematkan kepada Al-Farabi membuktikan bahwa kapasitas keilmuan yang dimilikinya sungguh luar biasa. Kontribusinya bagi perkembangan berbagai bidang keilmuan membuat ia masih dikenang hingga sekarang, baik di dunia Islam sendiri mau di Barat. Teori-teori yang ia kembangkan menjadi modal bagi perkembangan peradaban pada masa selanjutnya.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Singkat Al-Farabi
Ia adalah Abu Nasr Muhammad al-Farabi lahir di Wasij, suatu desa di Farab (Transoxania) tepatnya Turkistan pada tahun 870 M.[1] Al-Farabi dalam sumber-sumber Islam lebih akrab dikenal sebagai Abu Nasr.[2] Ia berasal dari keturunan Persia. Ayahnya Muhammad Auzlagh adalah seorang Panglima Perang Persia yang kemudiaan menetap di Damsyik dan Ibunya berasal dari Turki. Oleh karena itu ia biasa disebut orang Persia atau orang Turki.[3]
Kendatipun Al Farabi adalah seorang tokoh terkemuka dikalangan para filosof Muslim, namun informasi tentang dirinya sangatlah terbatas. Ia tidak merekam liku-liku kehidupannya begitu juga para muridnya. Menurut beberapa Literatur, Al-Farabi dalam usia 40 tahun meninggalkan negerinya untuk menuju ke Baghdad, pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan pada masanya untuk belajar antara lain pada Abu Bisyr bin Mattius seorang kristen, beliau belajar tentang ilmu logika dan filsafat serta belajar Kaidah-kaidah bahasa Arab kepada Abu Bakar Al Saraj.[4] Selama berada di Baghdad ia memusatkan perhatiannya kepada ilmu logika. Nampaknya pada waktu pertama datang di Baghdad hanya sedikit saja bahasa Arab yang telah dikuasainya. la sendiri mengatakan bahwa belajar ilmu nahwu (tata bahasa Arab) pada Abu Bakar As-Saraj sebab imbalan pelajaran logika yang diberikan oleh Al-Farabi kepadanya.[5]
B.     Negara Utama (Madinatul Fadhilah) menurut Al-Farabi
1.      Asal Usul Negara
            Kehidupan dalam Islam berdimensi rahmatan lil alamin. Untuk mencapai tingkat yang mulia itu, Tuhan memberi manusia beragam aturan. Aturan itu bersifat vertikal dan horizontal. Mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan manusia. Dalam hubungannya dengan sesama manusia, Tuhan telah memberikan kaidah-kaidah berkenaan dengan hak dan kewajiban seseorang terhadap masyarakat, dan hak serta kewajiban masyarakat terhadap diri seseorang. Inilah yang disebut dengan urusan kenegaraan.[6]
            Menurut Al-Farabi, sifat keistimewaan manusia yang terkenal suka bergaul (homo socious) adalah pendorong yang pertarna terjadinya rnasyarakat. Manusia berkurnpul satu lama lain adalah untuk saling mernenuhi kebutuhan hidup rnereka di dalarn suatu masyarakat kota (Community of the city) yang kernudian menirnbulkan adanya negara. Suatu rnasyarakat kota menurut Al-Farabi, harus terdiri dari penduduk yang bersatu hati yang di dalarnnya rnemenuhi segala kebutuhan hidupnya terjarnin. Masyarakat itu rnerupakan suatu tubuh yang seluruhnya merasakan senang atau susah apabila salah satu anggota rnasyarakat rnerasakan hal yang demikian itu. Penderitaan sakit yang ditanggung oleh seorang anggotanya haruslah menjadi penderitaan seluruh tubuh rnasyarakat. Begitu pula sebaliknya, kesenangan yang dirasakan oleh seorang anggota masyarakat, haruslah dinikmati oleh masyarakat seluruhnya. Bukan derita atau senang yang dirasakan perseorangan, tetapi seluruh rnasyarakat yang dijalari oleh jiwa yang satu dengan timbulnya perasaan yang merata. Setiap orang haruslah rnenyadari akan perlunya kerjasarna yang teratur. Masing-masing harus berdiri pada posisinya, bekerja dan rnenghasilkan sesuatu menurut kepandaiannya, dengan suatu kesadaran bahwa apa yang dihasilkannya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, yang tentunya akan diganti dengan hasil pekerjaan anggota masyarakat lainnya untuk rnernenuhi kebutuhannya. Menurut Al-Farabi tidaklah sempurna kebahagian suatu masyarakat, kalau pekerjaaan tidak terbagi rata kepada masing-masing anggotanya menurut kepandaiannya dengan semangat kerjasarna yang baik. Disinilah Al-Farabi baru sarnpai kepada perlunya mendirikan negara untuk rnengatur rnasyarakat rnanusia itu. Masyarakat itu harus rnernpunyai seorang Pemirnpin, yang terarnbil dari anggotanya juga, yang bertugas dan berwenang mengatur dan rnernbagi segala hasil-hasil untuk rnernenuhi segala kebutuhan anggotanya.[7]
2.      Konsep Tentang Masyarakat
            Al-Farabi mungkin adalah pemikir pertama yang berpendapat bahwa manusia tidak sama satu sama lain, yang disebakan oleh beberapa faktor, antara lain faktor iklim dan lingkungan tempat mereka hidup serta faktor makanan. Menurutnya, faktor-faktor tersebut akan berpengaruh terhadap pola pikir, perilaku, dan adat kebiasaan. Jadi, Al-Farabi berbeda dengan Plato yang menyatakan kesatuan, persamaan dan keseragaman manusia.[8]
            Selanjutnya, Al-Farabi membagi masyarakat kedalam dua kelompok, yaitu kelompok masyarakat yang sempurna dan tidak sempurna. Masyarakat yang sempurna dibagi lagi menjadi tiga macam:
a)      Masyarakat Sempurna Besar, yaitu gabungan banyak bangsa yang sepakat untuk bergabung dan saling membantu serta kerja sama.
b)      Masyarakat Sempurna Sedang, yaitu masyarakat yang terdiri dari satu bangsa yang menghuni satu wilayah dari bumi ini.
c)      Masyarakat Sempurna Kecil, yaitu masyarakat yang terdiri dari para penghuni satu kota.
            Jadi, konsep tentang pembagian kelompok masyarakat ini diibaratkan seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, Negara Nasional, dan Negara Kota yang berlaku pada masyarakat modern. Adapun masyarakat yang tidak sempurna digolongkan dalam kehidupan sosial di tingkat desa, kampung, lorong, dan keluarga. Ketiga kelompok sosial ini dianggap tidak sempurna oleh Al-Farabi dikarenakan mereka belum mampu untuk berswasembada dan mandiri dalam memenuhi kebutuhan para warganya, baik kebutuhan ekonomi, sosial, budaya, maupun spiritual.[9]

3.      Pemimpin Dalam Sebuah Negara
            Atas dasar pembagian kelompok masyarakat seperti yang disebutkan diatas, maka Al-Farabi berpendapat bahwa tidak semua orang dapat memimpin sebuah Negara, hanya orang-orang tertentu yang dapat menjabatnya. Orang yang dimaskud adalah orang yang berada pada kelas tertinggi dan yang paling sempurna yang berhak memimpin warga-warga yang kelas dibawahnya. Kepala Negara seharusnya diadakan terlebih dahulu, kemudian dibentuk bagian-bagian atau rakyatnya. Hanya seorang pemimpinlah yang menentukan wewenang, tugas, kewajiban serta martabat atau kedudukan masing-masing Warga Negara. Jika ada Warga Negara yang tidak baik, maka kepala Negara harus mampu menghilangkan ketidakbaikan itu. Kemudian, Al-Farabi menentukan kriteria bagi seorang pemimpin Negara, yaitu lengkap anggota badannya, baik daya ingatnya, tinggi kecerdasannya, pandai mengemukakan pendapat dan mudah dipahami, cinta pendidikan dan mengajar, tidak rakus dan loba terhadap makanan, minuman dan wanita, cinta kejujuran dan benci kebohongan, berjiwa besar dan berbudi luhur, tidak mementingkan kekayaan dan kesenangan duniawi lainnya, cinta keadilan dan menjauhi perbuatan keji dan teguh pendirian terhadap apa-apa yang harus dikerjakannya. Disamping syarat-syarat tersebut, Al-Farabi juga menambahkan syarat-syarat lain yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yakni pemimpin harus mampu naik pada akal fa’al (akal aktif) yang darinya wahyu dan ilham dapat diambil. Persayaratan ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus mampu mendidik dan menarik umatnya kepada jalan yang benar menju kebahagiaan dunia dan akhirat.[10]
4.      Tujuan Negara
            Al-Farabi mencita-citakan sebuah konsep Negara Madinatul Fadhilah (Negara Utama) dimana pemimpinnya adalah Nabi atau filosof. Konsepnya terilhami oleh Madinah, sebagai ibukota pertama negara Islam yang dipimpin langsung oleh Rasulullah Muhammad,SAW. Al-Farabi selalu mengacu pada Madinah yang dulu dipimpin Nabi Muhammad SAW sebagai konsepsi filsafat politiknya. Menurutnya, tujuan dari negara utama adalah membimbing para warga negara untuk mencapai Tuhan. Menjadikannya masyarakat madani yang berdasarkan pada ketauhidan. Dimana Tuhan menjadi inspirasi dan dasar dari segala tindakan masyarakat. Caranya adalah menghubungkan manusia dengan aqal fa’al seerat mungkin. Orang yang berhasil mengidentifikasi daya pikirnya sesuai dengan aqal fa’al layak menjadi pemimpin Negara. Ia harus melepas ikatan dengan badannya untuk menyamai aqal fa’al. Setelah itu, ia harus membimbing warganya supaya mencapai Tuhan.
            Setelah bersatu dengan aqal fa’al seorang kepala negara masih harus menyatukan diri ke dalam kesatuan yang lebih mulia. Yaitu mengalir kembali ke atas melalui masing-masing akal terpisah sampai akhirnya mencapai kesatuan dengan Yang Pertama alias Wajib Al-Wujud. Kesatuan yang mulia ini oleh Al-Farabi disebut ittisal yang menjamin transendensi Tuhan, dan selanjutnya ittihad yang berarti kesatuan mistik dalam tasawuf. Puncak tertinggi ini hanya bisa dicapai sesudah maut badaniyah dan terjadi perpindahan ke kehidupan abadi.[11]
5.      Negara Yang Utama
            Konsep negara yang dicita-citakan Al-Farabi adalah Negara Utama. Yaitu Negara dengan tujuan terbaik untuk memberi perlindungan dan mencapai kesempurnaan, serta terpenuhinya kebutuhan jiwa-raga warganya yang akan mengantarnya pada kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat.
            Negara utama mengandaikan kerjasama dan pembagian kerja (job description) sesuai bidang yang dibutuhkan. Nampaknya Al-Farabi terinspirasi hadist Nabi “Engkau yang paling tahu tentang urusan duniamu”. Dan sebuah hadist lainnya “Jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah waktu kehancurannya.” Menurut Al-Farabi, keamanan adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan demi menunjang pembagian kerja dalam Negara Utama. Perlindungan diri meliputi perlindungan dari bahaya binatang buas, bahaya bencana alam, serangan dari kelompok lain, dan kesewenang-wenangan antar anggota sendiri (oleh yang kuat kepada yang lemah). Menurut Al-Farabi, keamanan dapat menjamin kehidupan warganya dan mengantar mereka pada kesempurnaan. Pencapaian kesempurnaan menjamin tercapainya kebahagiaan sejati bagi jiwa.
            Dalam Negara Utama tidak ada tempat untuk saling berlomba, bersaing demi memenuhi nafsu pribadi secara individualistis. Dalam Negara Utama tidak ada tempat bagi sistem monopoli oleh satu golongan tertentu atau kapitalisme. Semua harus menyerahkan diri untuk suatu kerjasama demi mencapai kebahagiaan bersama baik material maupun spiritual yang berdasarkan Ketauhidan. Inilah salah satu tujuan Negara Utama. Dan karena didirikan dengan segenap kesadaran warganya, mereka berusaha mengejar maksud dan tujuan dari didirikannya suatu Negara Utama. Diantara syarat-syarat yang paling penting bagi sebuah Negara Utama, adalah Negara harus rasional. Artinya, warga negara yang membentuk negara harus memiliki kecerdasan akal yang bisa digunakan untuk menggali rahasia alam. Rasionalitas adalah cita-cita Al-Farabi yang menurutnya harus wujud dalam Negara Utama. Al-Farabi sangat menganjurkan penggunaan akal demi mencapai kebahagiaan seluruh Warga Negara. Al-Farabi juga tidak menolak kemewahan yang merupakan hasil dari kecerdasan dan pengembangan ilmu pengetahuan.[12]

6.      Jenis-Jenis Negara Lain
            Al-Farabi mengelompokkan jenis-jenis negara berdasarkan ideologi yang dianutnya. Ideologi yang benar dianut oleh Negara Utama. Ideologi yang salah dianut oleh negara-negara sebagai berikut:

a)      Negara  yang bodoh (ignorant).
            Dalam negara bodoh, warga negara dan pemimpin pemerintahan tidak pernah tahu tentang keutamaan-keutamaan hidup dan arti kebahagiaan sejati. Mereka hidup begitu saja menikmati apa yang ada dan hanya sibuk mengusahakan pemenuhan kebutuhan dan keinginannya. Mereka bekerja keras dengan orientasi sekedar mendapatkan makanan, minuman, pakaian dan pemenuhan akan kebutuhan seksual. Intinya, negara bodoh adalah negara yang penuh dengan kesia-siaan hidup. Para pemimpin dan Warga Negara mengalami kerusakan moral yang parah. Mereka menginginkan kebebasan mutlak (democratic city) supaya dapat melakukan apa saja yang mereka inginkan tanpa ada lembaga hukum yang berhak  menghalanginya.
b)      Negara Jahat (the wicked city).
            Negara jahat adalah suatu negara dimana warga negaranya memiliki pengetahuan tentang keutamaan hidup sebagaimana warga di Negara Utama, tapi tindakan dan cara hidup mereka seperti warga di negara bodoh. Mereka mempunyai cita-cita dan kebijaksanaan luhur tapi tidak diimplementasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
c)      Negara yang mengalami kemerosotan (deliberately change).
            Menurut Al-Farabi, negara yang mengalami kemerosotan adalah Negara Utama yang terus menerus mengalami godaan demi godaan dan terlena dengan godaan-godaan tersebut. Kepercayaan menjadi sia-sia dan niat kebenaran menjadi cita-cita belaka tanpa realisasi. Maka, yang terjadi kemudian adalah kemerosotan moral yang memicu kejatuhan demi kejatuhan. Pemimpin negara merosot moralnya menjadi seorang penipu besar, warga negaranya melakukan tindakan yang berlawanan dengan yang dilakukan warga negara di Negara Utama.
d)      Negara Sesat (the erring city).
            Negara sesat menurut Al-Farabi adalah gambaran masyarakat yang masih berpegang pada pandangan-pandangan lama. Mereka belum tahu akan adanya pandangan baru dalam memahami kehidupan manusia dan penghargaan baru terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Mereka keliru dalam upaya mencapai kebahagiaan baik sekarang maupun nanti di kehidupan sesudah mati. Kekeliruan disebabkan ketidaktahuan. Ketidaktahuan berawal dari ketidakmampuan untuk tahu. Mereka ditiru oleh pemimpinnya yang mengaku berasal dari keturunan dewa-dewa dan harus ditaati secara mutlak dan absolut segala perintahnya.[13]








BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            Al-Farabi adalah pemikir besar Islam yang berjasa besar membawa kebangkitan peradaban Islam. Al-Farabi membentangkan jalan intelektualisme dalam Islam. Melalui kajian filsafatnya, Al-Farabi membuat sintesis antara wahyu dan filsafat sehingga keduanya tidak saling bertentangan. Proyek filosofis Al-Farabi adalah penekanan yang sangat kuat terhadap rasionalitas dan ketakwaan yang harus dimiliki oleh setiap Warga Negara. Al-Farabi meyakini bahwa kehidupan rohani dan kehidupan manusia selalu bertemu dan berhubungan.
            Gagasan filsafat politik Al-Farabi memang nampak sangat idealis atau bahkan utopis jika ditinjau dari perspektif politik modern. Tapi apa yang dijabarkan Al-Farabi sesungguhnya hanyalah kepanjangan dari Al-Qur’an dan hadist Nabi itu sendiri. Tidak heran jika di zaman yang penuh dengan dekadensi moral dan kecendrungan adanya politik ‘menghalalkan segala cara pada hari ini, ide filsafat politik Al-Farabi menjadi sulit dibumikan. Ini adalah tugas cendekiawan muslim dan umat Islam secara keseluruhan untuk membuktikan gagasan Al-Farabi sejauh sesuai dengan konteks kehidupan politik hari ini, bahwa Islam, bisa diaplikasikan dalam kehidupan perpolitikan dan kenegaraan. Bahwa Islam dapat membawa suatu masyarakat menuju kehidupan yang sejahtera baik lahir maupun batin, di dunia maupun di akherat.
            Dengan Demikian,  mewujudkan sebuah Negara dengan konsep Madinatul Fadhilah adalah sesuatu yang mugkin saja terjadi,  karena telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Meskipun untuk mewujudkannya harus melalui perjuangan panjang yang tiada henti-hentinya dan disesuaikan dengan konteks kekinian. Dalam Al-Quran sudah dijelaskan bahwa “Sesungguhnya dalam diri rasulullah terdapat teladan yang baik,[14] yang bisa dijadikan pedoman bagi seluruh umat manusia.
Wallahu A’lam.












Daftar Pustaka
Ahmad, Zainal Abidin Negara Utama (Madinatul Fadhilah), (Jakarta : PT Kinta, 1968.
Azhar, Muahammad Filsafat Politik: Perbandingan Antara Islam dan Barat, Jakarta: Raja Garfindo Persada, 1997.
Bakker, JWM, Sejarah Filsafat dalam Islam, Yogyakarta : Kanisius, 1986.
Bakar, Osman, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu, Bandung: Mizan,1997.
Natsir, M, Capita Selecta 1 : Arti Agama dalam Negara, (Jakarta : Yayasan Bulan Bintang Abadi. 2008.
Nasution, Harun, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1973.
Sidik, Abdullah, Islam dan Filsafat, (Jakarta : Triputra Masa, 1984), 89.
Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta: Rineka Cipta2004.
Syadzali, Munawir, Islam Dan Tata Negara: Sejarah Dan Pemikirannya, Jakarta: UI-Press, 1993.
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2007.


[1]  Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1973), 26.
[2] Osman Bakar, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu, (Bandung: Mizan,1997), 26.
[3] Abdullah Sidik, Islam dan Filsafat, (Jakarta : Triputra Masa, 1984), 89.
[4] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2007), 66.
[5] Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta2004), 30.
[6] M. Natsir, Capita Selecta 1 : Arti Agama dalam Negara, (Jakarta : Yayasan Bulan Bintang Abadi. 2008), 532-533
[7]  Zainal Abidin Ahmad, Negara Utama (Madinatul Fadhilah), (Jakarta : PT Kinta, 1968), 13
[8] Munawir Syadzali, Islam Dan Tata Negara: Sejarah Dan Pemikirannya, (Jakarta: UI-Press, 1993), 51
[9] Munawir Syadzali, Islam Dan Tata …, 51-52
[10] Muahmmad Azahar,  Filsafat Politik: Perbandingan Antara Islam dan Barat, (Jakarta: Raja Garfindo Persada, 1997), 81
[11] Bakker, JWM, Sejarah Filsafat dalam Islam, (Yogyakarta : Kanisius, 1986), 39
[12] Y. Rumanto, Gagasan Filsafat Politik Al-Farabi, Jurnal Filsafat Driyarkara Edisi XXVI No. 2,
[13] Y. Rumanto, Gagasan Filsafat Politik… 42
[14] QS. Al-Ahdzab : 21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar